Arumi menikah dengan pria yang tidak pernah memberikan cinta dan kasih sayang padanya, pria yang selalu merasa tak pernah cukup memiliki dirinya. Kesepian dan kesunyian adalah hal biasa bagi Arumi selama satu tahun pernikahannya.
Raka— suami Arumi itu hanya menganggap pernikahan mereka hanya sekedar formalitas semata dan bersifat sementara. Hal ini semakin membuat Arumi menjadi seorang istri yang kesepian dan tidak pernah bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 : Kekhawatiran
Arumi mengirimkan beberapa pesan pada Raka lantaran sudah jam 2 pagi suaminya masih belum pulang, berkali-kali dia melakukan panggilan namun selalu ditolak oleh Raka.
Arumi : Kamu di mana? Udah jam segini kenapa belum pulang? Aku hubungi mama sama papa kamu tapi mereka bilang kamu gak ada di rumah mereka.
Pesan itu hanya dibaca oleh Raka tanpa ada niat untuk membalasnya. Bertubi-tubi pesan dari Arumi yang masuk dan tetap saja tak diambil pusing oleh pria itu.
Raka menonaktifkan ponselnya dan kembali fokus menatap layar televisi bersama dengan Nadira. Sudah hampir pagi begini, dia masih enggan untuk tidur karena masih ingin terus berdua dengan Nadira.
“Seru ya kalau menonton ditemani begini, rasanya ada sesuatu yang menghangat di sini,” ujar Raka sambil menunjuk ke hatinya.
“Memang kamu sama Mbak Arumi gak pernah nonton bareng?” Raka menggeleng pelan.
“Kan aku sudah sering bilang, habis makan malam, dia akan tidur. Ya perut dia kenyang kan bawaannya ngantuk terus. Sementara aku selalu tidur dengan perut kosong.” Nadira mengusap pelan lengan Raka.
“Sabar ya Mas, aku akan coba bantu kamu biar bisa lepas dari Mbak Arumi.” Raka tersenyum sembari mengusap pelan rambut Nadira.
Mereka kembali menonton hingga film yang diputar selesai, Nadira menggeliat begitu pula dengan Raka.
“Kamu tidur di kamar tamu aja ya, Mas. Aku ngantuk banget pengen tidur,” keluh Nadira yang kembali meregangkan tubuhnya.
“Aku tidur di sofa aja, gak enak kalau harus tidur di dalam kamar. Apalagi kamu di sini tinggal sendiri, kalau ada orang tua kamu sih masih oke.” Nadira mengangguk karena memang orang tuanya sudah kembali ke luar negeri dua hari yang lalu. Nadira memutuskan untuk menetap di Indonesia sambil meneruskan bisnis keluarganya.
“Aku ambilin selimut sama bantal dulu ya, bentar.” Nadira bergegas ke kamar tamu dan mengambil semua yang menurutnya bisa membuat Raka nyaman.
Setelah memastikan Raka tidur dengan nyaman dengan bantal, guling, dan selimut. Nadira hendak pergi ke kamarnya namun tangannya ditahan oleh Raka.
“Ada apa Mas?” tanya Nadira pelan.
“Temani Mas tidur ya, paling tidak sampai terlelap saja.” Nadira tampak berpikir sejenak lalu mengangguk setuju.
Nadira duduk di lantai sembari mengusap kepala Raka yang katanya sedikit pusing. Tak ada perbincangan yang berlebihan, justru semua hanya sentuhan ringan dan sebuah perhatian kecil saja. Nadira yang tidak kuat menahan kantuk akhirnya merebahkan kepalanya ke sofa.
“Tidur di sini saja, pegal badan kamu nanti,” titah Raka yang meminta Nadira tidur di sampingnya. Sofa itu cukup besar yang mana muat untuk dua orang dewasa jika tiduran.
Nadira yang sudah mengantuk berat setuju lalu pindah tidur di samping Raka. Jadilah mereka tidur dengan satu bantal dan satu selimut. Raka bisa merasakan hangatnya tubuh Nadira di balik selimut itu, dia mengambil posisi nyaman dengan memeluk Nadira.
“Nyaman sekali ya Mas tidur begini, aku berasa kayak jadi istrinya kamu.” Nadira berbisik yang membuat Raka tersenyum.
“Tidur saja kalau kamu memang nyaman, aku senang kalau kamu begini, Dira,” balas Raka yang semakin mempererat pelukannya, Nadira memutar posisi menghadap Raka lalu menatap lamat-lamat wajah pria itu.
“Kamu tampan sekali Mas Raka. Andai saja waktu itu aku gak kuliah di luar negri ya, mungkin yang bakalan lamar aku adalah aku.”
“Kamu belum terlambat kok, kalau mau melamar ya bilang saja.” Nadira terkekeh kecil lalu membenamkan wajahnya di leher Raka dengan nyaman.
Raka mengusap pelan rambut Nadira hingga gadis itu tertidur, karena merasa aman, Raka beringsut sedikit lalu meraih wajah Nadira perlahan. Dia kecup bibir gadis itu dan meresapi pelan manisnya bibir Nadira.
Perlahan mata Nadira terbuka yang membuat Raka kaget. “K-kamu belum tidur ya,” katanya terbata.
“Gak sopan banget kamu, Mas. Main cium-cium begitu.” Nadira memukul pelan dada Raka sembari memberikan rungutan kecil.
“Maaf Dira, Mas hanya merasa sayang sama kamu, maaf ya.” Nadira memainkan jemarinya di rahang tegas Raka yang membuat Raka semakin terpancing.
“Iya aku maafkan kok.”
“Kamu gak marah?” Nadira menggeleng dan memberikan senyumannya.
“Ciumanmu membuat sensasi tersendiri untukku Mas Raka.” Raka yang mendengar hal itu seakan mendapatkan sebuah harapan kecil, dia mendekatkan wajahnya kembali dan menempelkan bibirnya tepat di bibir Nadira.
Gadis 21 tahun itu terbuai dengan ciuman Raka, perlahan tapi pasti, ciuman mereka semakin dalam dan kini memainkan lidah. Tangan Raka juga sudah bergerilya di tubuh molek Nadira, yang membuat Nadira mengeluarkan desahan dan lenguhan kecil di sela ciuman mereka.
Seusai ciuman panas itu, mereka saling melemparkan senyum dan tertidur dalam pelukan masing-masing. Tak ada adegan berlebihan yang terjadi, semua hanya sebuah adegan pembuka yang kembali ditutup sebelum terjadi hal lebih jauh lagi.
...***...
Pagi menjelang, Arumi masih menunggu kepulangan suaminya tanpa tidur sedetik pun. Dia terus duduk di ruang tamu dengan lingkar mata yang mulai menghitam, kepalanya berdenyut nyeri, tenggorokannya mengering, dan perutnya kembali terasa sakit.
Arumi melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 7 pagi, ia juga memeriksa ponselnya kalau-kalau pesannya semalam dibalas oleh Raka. Harapannya pupus ketika tak ada satu pesan pun masuk ke ponselnya.
Arumi semakin khawatir karena berpikir Raka kenapa-kenapa, bisa saja pria itu kecelakaan atau bagaimana. Arumi segera mengambil kunci mobil dan melesat pergi ke rumah mertuanya— masih mengenakan pakaian tidur semalam.
Dia berharap Raka baik-baik saja dan ada di rumah orang tuanya. Arumi hanya ingin memastikan hal tersebut, tidak lebih.
Sesampainya di rumah megah Zafran, Arumi disambut ramah oleh para pelayan namun tidak oleh Zafran dan Shima yang saat ini sedang sarapan.
Shima memperhatikan penampilan Arumi dari atas sampai bawah, yang mana dia menilai kalau Arumi benar-benar tidak bisa menjaga diri, sama persis dengan apa yang pernah dikeluhkan oleh Raka pada Nadira dan Nadira menceritakan keluhan itu pada Shima.
“Ma, Pa. Apa Raka menginap di sini?” tanya Arumi dengan sopan.
“Bukannya semalam kami sudah memberitahu kalau Raka tidak ke sini. Memang ada apa dengan kalian? Kenapa Raka sampai tidak ada di rumah?” tanya Shima kembali.
“Semalam itu Raka keluar tanpa pamit, dia tidak memberitahu aku mau ke mana. Aku sudah menghubungi dia berkali-kali tapi tidak dijawab. Aku khawatir.”
“Kalau suami kamu sudah pergi begitu saja dan tidak memberi kabar, berarti dia jenuh di rumah. Apa kamu tidak mengerti juga, Arum?” Arumi terdiam mendengar perkataan Shima.
“Raka itu laki-laki, kamu tidak perlu mencemaskan dia secara berlebihan. Mungkin saja dia menginap di hotel atau apartemen. Lebih baik kamu intropeksi diri kenapa anakku tidak betah di rumah,” timpal Zafran yang membuat hati Arumi semakin teriris.
Hanya sebuah kesakitan yang Arumi dapatkan dari rumah mertuanya, dia meninggalkan rumah tersebut dengan hati terluka. Kekhawatirannya akan Raka semakin menjadi tapi dia coba menepis semua itu.
“Mungkin Raka butuh waktu sendiri,” bisiknya lalu mengendarai mobil kembali pulang ke rumah.
Kepalanya semakin terasa sakit, tengkuknya juga terasa berat seakan dihimpit beban puluhan kilo.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
sama-sama kagak gunaaa/Hammer//Joyful/
istri sah : Ngabisin duit suami
pelakor : ngabisin duit buat ngabisin nyawa istri sah/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
pelakor sakit hati : cari pembunuh bayaran 🤣🤣 gak ada harga dirinya lu Dir