Jodoh dicari ✖️
Jodoh dijebak ✔️
Demi membatalkan perjodohan yang diatur Ayahnya, Ivy menjebak laki-laki di sebuah club malam untuk tidur dengannya. Apapun caranya, meski bagi orang lain di luar nalar, tetap ia lakukan karena tak ingin seperti kakaknya, yang menjadi korban perjodohan dan sekarang mengalami KDRT.
Saat acara penentuan tanggal pernikahan, dia letakkan testpack garis dua di atas meja yang langsung membuat semua orang syok. ivy berhasil membatalkan pernikahan tersebut sekaligus membuat Ayahnya malu. Namun rencana yang ia fikir berhasil tersebut, ternyata tak seratus persen berhasil, ia dipaksa menikah dengan ayah janin dalam kandungan yang ternyata anak konglomerat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16
Yasa dan Ivy melanjutkan langkah menuju dapur. Sebelum masuk, Yasa lebih dulu menyalakan lampu, lalu menunjuk kursi yang ada disana, meminta Ivy duduk.
Yasa membuka magigcom, tapi ternyata kosong, tak ada nasi. "Makan roti gak papa kan?" menoleh pada Ivy. Melihat wanita itu mengangguk, ia lalu mengambil roti gandum dan nutela, membawanya ke meja di depan Ivy.
"Makasih." Seperti orang yang kelaparan, Ivy segera membuka bungkus roti, mengambil dua buah lalu mengolesinya dengan coklat.
Melihat cara Ivy makan, Yasa sampai geleng-gelang. Sepertinya wanita itu pingsan bukan karena ada masalah dengan kandungannya, tapi karena kelaparan. "Berapa hari gak makan?" sindirnya.
Ivy yang sedang mengunyah, auto berhenti. Ia tersenyum absurd, menoleh ke arah lain, menyembunyikan wajahnya yang merah padam, malu. Sepertinya, ia terlalu rakus.
"Mau gue buatin sandwich isi telur gak?"
Tawaran itu, sontak membuat Ivy kembali menghadap Yasa, mengangguk cepat.
Yasa beranjak dari duduknya, mengambil dua buah telur, timun dan tomat dari dalam kulkas.
Meski hanya terlihat dari belakang, Ivy kagum melihat bagaimana cara Yasa membuka cangkang telur, juga saat mengocoknya, terlihat tidak kaku sama sekali. Bagaimana tidak kagum, dia saja yang perempuan, tidak bisa memasak, kalah dengan Yasa.
Sebelum menuang telur ke atas teflon yang panas, Yasa lebih dulu ia mengambil dua buah roti di depan Ivy. "Kenapa?" mengernyit melihat cara Ivy menatapnya.
"Ternyata, lo bisa masak ya."
"Biasa aja kali," Yasa tersenyum kecut. "Gue gak bisa masak, tapi kalau cuma goreng telur, itu gampang. Gak usah kagum, apalagi berekspektasi tinggi. Kalau disuruh masak rawon, soto, atau gulai, ya gak bisa, mentok bisanya nasi goreng."
"Itu sudah keren sih."
Yasa garuk-garuk kepala, "Biasa aja kali. Adik bontot gue yang umur 10 tahun, juga bisa kalau cuma dadar telur." Geleng-geleng, lalu kembali ke depan kompor. Ivy terlalu lebay memujinya.
Setelah memanaskan teflon, Yasa menuang telur yang sudah di kocok ke atasnya, meletakkan dua buah roti bersebelahan lalu membaliknya. Menambahkan potongan tipis tomat dan timur ke atas telur, lalu menuangkan saus dan mayo. Melipat jadi satu kedua roti tersebut, dan...jadi deh. Cara ini, ia pelajari dari internet, dan selalu jadi menu andalannya saat tiba-tiba kelaparan.
Aromanya yang sedap, membuat Ivy sampai menghirupnya beberapa kali saat Yasa meletakkan sandwich tersebut ke hadapannya. Saat ia mencicipi rasanya, matanya langsung membulat sempurna. "Sumpah, ini enak banget."
Yasa hanya senyum sambil geleng-geleng.
"Lo gak makan? Atau, ini buat berdua, gue potong kalau gitu."
"Gak usah, buat lo aja. Gue udah kenyang cuma dari liat cara lo makan."
Ivy tersenyum kecut, kembali menggigit sandwichnya. "Gue emang belum makan seharian ini."
Yasa otomatis melotot. "Yakin?"
Ivy mengangguk.
"Jaga janin yang masih dalam kandungan aja, lo gak bisa, kayak gitu mau sok-sok an ngebesarin anak sendirian," ia tersenyum kecut sambil geleng-geleng. "Sekarang, tolong jawab pertanyaan gue dengan jujur. Sebenarnya, yang lo kandung anak siapa? Anak gue, atau bukan?"
Ivy reflek menunduk, menatap perutnya yang masih rata. "Kalau gue bilang anak lo, apa lo akan percaya? Apa lo akan membatalkan tes DNA besok?"
"Masalah ini bukan hanya antara kita berdua Vy, tapi menyangkut dua keluarga. Gue mungkin aja percaya, tapi orang tua gue? Apa mereka akan percaya gitu aja?" ia menggeleng. "Orang tua gue, bukan orang seperti itu, terutama bokap gue. Dia gak akan pernah percaya sesuatu, kalau gak ada buktinya."
"Jadi, tes DNA harus tetap dilakukan?"
Yasa mengangguk, "Dan harusnya, lo gak takut kalau elo gak bohong."
"Gue gak takut kok," sangkal Ivy. "Gue cuma... ngerasa jika sebenarnya, hal itu gak perlu dilakukan."
Yasa berdecak palan, "Jadi lo masih ngotot mau membesarkan anak itu sendirian?"
"Apa kalau terbukti ini anak lo, lo akan nikahin gue?"
Yasa terdiam beberapa saat, menikah di usia muda tak pernah terlintas di kepalanya, tapi kalau seperti ini, apa bisa ia menghindar. "Iya."
"Yakin iya, gak terpaksa?" Ivy tersenyum miring.
"Ya kalau ditanya terpaksa atau enggak, ya jelas terpaksa. Tapi bagaimana pun, anak dalam kandungan lo butuh bapak."
Ivy tersenyum kecut. "Jadi, nikah cuma buat jadi bapak, bukan jadi suami?"
"Ya, ya maksud gue jadi suami juga, kan otomatis."
"Terpaksa?"
Yasa berdecak pelan, "Udahlah, pertanyaan lo muter mulu."
"Menurut lo, tujuan nikah itu apa sih?"
"Ya ibadah."
"Ibadah gak musti harus nikah kali," Ivy tersenyum. "Sholat juga ibadah, puasa, zakat, sedekah. Masih banyak ibadah lainnya."
"Menikah itu, ibadah terpanjang, salah satu penyempurna ibadah juga."
"Tujuannya?"
"Tuh kan, lo itu muter mulu kalau nanya," Yasa berdecak kesal.
"Menurut lo, nikah tujuannya untuk bahagia gak sih?"
"Ya iyalah."
"Berarti kalau gak yakin bakal bahagia, kenapa harus nikah? Emang pernikahan bisa menjamin, kalau kita bakal bahagia melebihi saat single? Sementara yang gue lihat, kebayakan orang justru lebih menderita setelah nikah," Ivy tersenyum getir. "Alm. nyokap gue, Kakak gue, bahkan beberapa teman gue, gak bahagia saat menikah, lalu, apa gue juga harus mengambil jalan seperti mereka?"
"Main lo kurang jauh aja. Buktinya nyokap gue, Abang gue, dan beberapa orang yang gue kenal, bahagia kok dengan pernikahan mereka. Cara lo mandang pernikahan yang salah disini. Lo hanya melihat dari sisi negatifnya saja, tanpa pernah lo mandang dari sisi positifnya," Yasa berdiri, memundurkan kursi lalu melangkah menuju dispenser untuk mengambil air. Setelah satu gelas penuh, ia membawanya pada Ivy. "Udah malem, mending segera tidur. Soal pernikahan, kita bahas setelah hasil tes DNA keluar."
Ivy menatap Yasa, tersenyum simpul. "Ini anak lo. Gue yakin 100 persen meski tanpa tes DNA, karena gue hanya pernah tidur sama lo. Gue emang pernah jadi murahan, dengan menjebak lo, tapi percayalah, gue gak semurahan yang ada di fikiran lo. Makasih buat sandwichnya, ini enak banget," menunjukkan sandwich yang masih tersisa sedikit di tangannya. "Selamat malam." Ia meninggalkan dapur, kembali ke kamar tamu.
yg jahat bapaknya ivy
sakit hati nya sampai kesini lo el