Ongoing
Lady Anastasia Zylph, seorang gadis muda yang dulu polos dan mudah dipercaya, bangkit kembali dari kematian yang direncanakan oleh saudaranya sendiri. Dengan kekuatan magis kehidupan yang baru muncul, Anastasia memutuskan untuk meninggalkan keluarganya yang jahat dan memulai hidup sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9.
Salju turun lebih deras dari malam-malam sebelumnya. Langit kelabu membentang di atas kastil Silas, memantulkan cahaya pucat dari ribuan kepingan es yang menari di udara. Anastasia berdiri di balkon kamar yang cukup dingin, memandangi lembah beku yang membentang sejauh matanya memandang.
Sudah tiga hari sejak malam di mana Aloric memperingatkannya tentang kekuatan sihir kehidupan. Tiga hari sejak ia mulai menyadari bahwa setiap napas yang ia berikan pada orang lain… perlahan mencuri sebagian dari hidupnya sendiri.
Tangannya yang halus terulur, menampung butiran salju. Ia menatapnya membeku di telapak tangannya. “Indah… tapi juga mematikan,” bisiknya lirih. Sama seperti dirinya sekarang. “Lady Anastasia,” suara pelan terdengar dari balik pintu.
Seorang pelayan muda, Lyra, menunduk dengan gugup. “Duke memintamu ke ruang pertemuan sekarang.” Anastasia menoleh. “Sekarang?”
“Ya, Nona. sepertinya ada tamu dari ibukota.” Raut wajah Anastasia menegang. Tamu dari ibukota berarti… dari istana.
Ruang pertemuan utama kastil Silas sangat luas dan berlapis dengan batu hitam, diterangi oleh cahaya lilin yang menetes perlahan. Di ujung ruangan berdiri Aloric, mengenakan seragam pertempuran berwarna abu pekat, rambut hitamnya sedikit berantakan tapi tetap gagah dan dingin.
Di depannya duduk dua orang lelaki berpakaian kerajaan salah satunya menggunakan lambang kaisar di dadanya. Saat Anastasia masuk, semua kepala menoleh menatap dirinya. Langkahnya terdengar sangat lembut di lantai batu. “Siapa wanita itu?” salah satu utusan bertanya dengan nada dingin.
Aloric menoleh dengan tatapan yang bisa membekukan laut. “Tamu pribadi ku tidak memerlukan izin untuk hadir di ruangan ini.” ucapan Silas membuat kedua lelaki itu menelan ludah. Namun yang satu masih mencoba tersenyum sopan. “Yang Mulia Duke, Kaisar mengirim pesan. Putri Agung Theodora… akan tiba di Utara dalam lima hari ke depan.”
Anastasia menegang tangannya mengepal dan bergetar. Theodora? Nama itu membuat darahnya dingin seketika. Ia menunduk, menyembunyikan ekspresinya. Tapi Aloric memperhatikan perubahan kecil itu. “kenapa?” tanya Aloric datar kepada utusan istana.
“Untuk meninjau pasukan perbatasan, sekaligus menegaskan kembali… pertunangan Anda, Yang Mulia.” Ruangan seketika terasa lebih sempit dari biasanya . Pertunangan, kata itu seperti pisau di antara mereka. “hmm...baik” ucap Aloric akhirnya. “Katakan pada Kaisar bahwa aku akan menyambutnya.”
Para utusan menunduk, kemudian pamit meninggalkan ruangan tersebut. Begitu pintu menutup, hanya suara api di perapian yang tersisa disana. Anastasia menatap lantai, berusaha menahan hatinya yang berdebar aneh. Theodora… saudaraku yang membunuhku.
Ia hidup kembali untuk menjauh darinya, tapi takdir justru membawanya tepat ke jalannya lagi. “Kau terlihat pucat,” suara berat itu memecah keheningan. Anastasia mengangkat kepala. “emm tidak.”
Aloric berjalan perlahan mendekat. “apa kau mengenalnya?” Pertanyaan itu menusuk seperti bilah es dingin. Anastasia memaksakan senyum kecil. “ tentu saja bukankah semua orang juga mengenal Putri Theodora.”
“hmm mungkin. Tapi reaksimu bukan reaksi rakyat biasa.” Ia terdiam. Lalu mengalihkan pandangan ke jendela. “Dia… wanita yang cantik.” ucap Anastasia. Aloric memperhatikannya lama. “Ya. Tapi kecantikan tidak selalu berarti cahaya.”
Kata-kata itu seperti gema di hati Anastasia Ia menelan ludah. “Duke… mengapa kau masih mempertahankan pertunangan itu?” tanya Anastasia
“Karena aku tidak punya pilihan.” Nada suaranya rendah, nyaris getir. “Keluargaku hidup untuk melindungi perbatasan, bukan untuk bermain politik. Jika Kaisar berkata aku harus menikahi putrinya, maka aku akan melakukannya.”
“Tapi kau tidak mencintainya.” Kata itu keluar tanpa ia sadari. Aloric menatapnya lama, dalam, seolah menimbang apakah harus jujur. “Aku tidak mengenal cinta.”
Jawaban itu sederhana, tapi menusuk. Anastasia menunduk, menutupi rasa nyeri yang tak seharusnya ia rasakan. Ia mengubah topik, suaranya pelan namun tegas. “Putri Theodora bukan orang yang mudah dihadapi. Kau harus berhati-hati.”
Kening Aloric berkerut. “Kau berkata seperti mengenalnya dengan baik.” Anastasia menatap mata hitam itu sangat tajam, tapi penuh rasa ingin tahu. Dan untuk pertama kalinya, ia berbohong dengan tatapan lurus.“Aku hanya pernah mendengar rumor.”
“Rumor?”
“Bahwa di balik senyumannya, ada tangan yang dilumuri darah.” Aloric tak menjawab. Tapi sorot matanya berubah sedikit lebih tajam, sedikit lebih berhati-hati.
Sore itu, ketika langit mulai gelap, Anastasia berjalan menyusuri lorong batu kastil sendirian. Ia berusaha menenangkan pikirannya, tapi langkah-langkahnya justru membawanya ke tempat yang tak asing.
Ruang latihan prajurit. Dari kejauhan, suara baja beradu terdengar berat. Aloric sedang berlatih, hanya ditemani prajurit senior. Pedangnya berkilat setiap kali menebas udara, kekuatannya begitu besar hingga salju di lantai beterbangan. “Duke, istirahatlah! Tubuhmu belum pulih!” seru seorang ksatria.
“Aku baik-baik saja.” Dan dengan satu ayunan keras, pedangnya menebas tiang kayu setebal lengan manusia hingga terbelah dua. Anastasia berdiri di ambang pintu, terpaku. Pria itu… benar-benar monster yang diciptakan oleh perang dan dingin. Namun dalam gerakannya, ia melihat sesuatu yang lain sebuah beban. Kesepian yang terlalu lama disembunyikan di balik kekuatan. Aloric menghentikan latihan ketika menyadari kehadirannya. “Kau melihatnya?”
“Melihat apa?”
“Bahwa kekuatan ini bukan berkat, tapi kutukan.” Anastasia melangkah mendekat, suaranya lembut tapi tajam. “Kau menyebutnya kutukan karena kau tak pernah menggunakannya untuk melindungi dirimu sendiri.” Aloric menatapnya, bibirnya membentuk senyum tipis yang pahit. “Kau banyak bicara untuk seseorang yang baru tiga hari di kastil ini.”
“Dan kau terlalu menyedihkan untuk seorang Duke.” Tatapan mereka bertemu dua jiwa yang sama-sama hancur tapi keras kepala. Hening panjang. Lalu tiba-tiba, suara terompet dari menara penjaga memecah udara. “Ancaman di gerbang utara!”
Prajurit berlarian. Salju terguncang oleh derap kaki. Aloric segera mengenakan mantel hitamnya, wajahnya berubah serius. Anastasia menahan lengan bajunya. “Kau belum sepenuhnya sembuh—”
“Aku tidak bisa duduk diam saat perbatasanku diserang.” Ia menatapnya tajam, lalu menambahkan dengan suara rendah “Jika aku tidak kembali sebelum fajar… kau tahu apa yang harus kau lakukan.”
“Apa maksudmu?”
“Jangan gunakan sihirmu, apapun yang terjadi.” Lalu ia pergi, meninggalkan jejak salju di belakangnya. Anastasia berdiri di sana, hatinya membeku oleh ketakutan yang aneh. Di luar, langit merah darah mulai menyala di balik badai salju. Sementara di kejauhan sebuah bayangan gelap melangkah dari balik kabut, membawa bendera hitam kerajaan pusat. Pertanda sebuah perang… bukan hanya dari musuh luar. Tapi dari dalam istana itu sendiri.