NovelToon NovelToon
Kisah Nyata - Harga Sebuah Kesetiaan

Kisah Nyata - Harga Sebuah Kesetiaan

Status: sedang berlangsung
Genre:Menikah Karena Anak / Beda Usia / Kontras Takdir / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Sad ending / Janda
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25: Pernikahan Tanpa Berkah

Hari pernikahan.

Tidak ada dekorasi. Tidak ada tenda. Tidak ada musik. Hanya akad nikah sederhana di rumah Tini—ruang tamu sempit dengan kursi kayu tua dan lantai semen retak.

Penghulu duduk di kursi depan, membuka kitab kuning lusuh. Di sampingnya, dua saksi—tetangga yang diminta tolong karena tidak ada keluarga lain yang datang. Bapak Tini duduk di pojok dengan wajah datar—tidak ada senyum, tidak ada kebahagiaan. Hanya tatapan kosong seorang ayah yang sudah pasrah.

Tini duduk di sebelah Dewanga—mengenakan kebaya sederhana warna putih yang sudah pudar. Tidak ada riasan. Tidak ada senyum. Hanya wajah datar yang terlihat... lelah.

Rini duduk di belakang, sendirian. Agung tidak bisa datang—ia harus kerja. Jadi Rini datang sendiri, duduk dengan tangan terlipat di pangkuan, mata menatap kosong ke depan. Ada air mata yang menggenang tapi tidak jatuh.

Penghulu mulai membaca doa. Suaranya monoton, cepat—seolah ini hanya rutinitas yang harus diselesaikan.

"Apakah Saudara Dewanga bersedia menerima Saudari Tini sebagai istri dengan mas kawin..."

Dewanga mendengar suara itu samar—seperti datang dari kejauhan. Jantungnya berdegup cepat. Tangannya dingin. Dadanya sesak.

Ia melirik Tini sekilas. Wanita itu menatap lurus ke depan—tidak ada kehangatan, tidak ada cinta. Hanya... transaksi.

"Saya terima nikahnya Tini binti..." Dewanga mengucapkan ijab dengan suara bergetar.

"Sah." Penghulu menutup kitabnya.

Dan selesai.

Tidak ada tepuk tangan. Tidak ada salam. Hanya hening yang canggung.

Tini langsung berdiri, berjalan ke kamarnya tanpa menoleh pada Dewanga. Tidak ada senyum. Tidak ada ucapan terima kasih. Tidak ada apa-apa.

Penghulu dan saksi segera pamit—mereka dibayar, lalu pergi.

Dewanga duduk sendirian di ruang tamu, menatap kosong ke lantai.

Rini menghampiri, duduk di sebelah anaknya. Ia meraih tangan Dewanga, menggenggamnya erat.

"Dewa... Ibu mau ngomong sesuatu."

Dewanga menoleh. Wajah ibunya penuh kekhawatiran.

"Tinggal sama Ibu aja, Dewa. Bawa Tini dan Eka ke rumah Ibu. Biar Ibu bisa bantuin kamu. Biar kalian gak sendirian."

Dewanga belum sempat menjawab, Tini sudah keluar dari kamar dengan wajah dingin.

"Gak usah. Kita tinggal di sini aja. Ini rumah gua. Rumah warisan Mama gua. Dewa tinggal di sini."

Rini menatap Tini dengan pandangan yang sulit dijelaskan. "Tapi Tin, kalau kalian tinggal sama Ibu, Ibu bisa—"

"Ibu gak usah ikut campur. Ini urusan rumah tangga kami. Kami udah dewasa. Kami bisa urus sendiri."

Nada Tini tajam. Dingin. Final.

Rini terdiam. Ia menatap Dewanga—berharap anaknya akan bicara, akan membela, akan mengambil keputusan.

Tapi Dewanga hanya diam.

Ia menatap lantai, menunduk dalam-dalam. Bibirnya terbuka sebentar, ingin bicara, tapi tidak ada suara yang keluar.

"Dewa..." Rini berbisik pelan. "Kamu... kamu mau tinggal di sini?"

Dewanga mengangguk pelan—gerakan kecil yang hampir tidak terlihat.

Rini merasakan dadanya sesak. Ia melihat anaknya—anaknya yang dulu kuat, yang dulu berani, yang dulu bekerja keras tanpa mengeluh—kini duduk dengan tubuh membungkuk, tidak berani menatap mata ibunya, tidak berani mengambil keputusan.

"Baiklah..." Rini berdiri perlahan. Suaranya bergetar. "Kalau itu keputusan kalian... Ibu hormati."

Ia menatap Dewanga lama—berharap anaknya akan berubah pikiran. Tapi Dewanga tetap diam.

Rini berjalan menuju pintu dengan langkah gontai. Sebelum keluar, ia menoleh sekilas.

"Dewa... kalau ada apa-apa... pulang. Rumah Ibu selalu terbuka buat kamu."

Lalu ia pergi.

Dewanga mendengar suara langkah ibunya yang semakin menjauh. Ia ingin berlari mengejar, ingin memeluk ibunya, ingin bilang *"Maafin aku, Bu. Aku salah."*

Tapi tubuhnya tidak bergerak.

Ia hanya duduk di sana—seperti patung yang kehilangan nyawa.

Tini berdiri di ambang pintu kamar, menatap Dewanga dengan tatapan datar. "Udah. Sekarang lo pindahin barang-barang lo ke kamar. Gua cape. Gua mau istirahat."

Lalu ia masuk kamar, menutup pintu.

Dewanga duduk sendirian di ruang tamu rumah yang bukan miliknya.

Ia menatap sekeliling—dinding cat kusam, lantai retak, atap bocor di satu sudut, foto almarhum ibu Tini yang tergantung miring di dinding.

Ini bukan rumah.

Ini penjara.

Dan ia baru saja mengunci dirinya sendiri di dalamnya.

***

Malam itu, Rini pulang ke rumahnya sendirian.

Ia duduk di teras, menatap langit gelap tanpa bintang.

Air matanya jatuh—tidak bersuara, hanya mengalir deras membasahi pipinya.

"Ya Allah..." bisiknya parau. "Anak hamba... anak hamba udah masuk ke jalan yang salah... hamba gak bisa ngelakuin apa-apa lagi... Ya Allah... tolong jaga dia... tolong jangan biarkan dia terlalu menderita... hamba mohon..."

Ia sujud di sajadah lusuh—menangis sepanjang malam, berdoa untuk anak yang sudah ia lepaskan pada takdir yang keliru.

Dan di rumah Tini, Dewanga berbaring di kasur sempit—menatap langit-langit yang gelap.

Tidak ada kehangatan. Tidak ada cinta. Tidak ada harapan.

Hanya dingin.

Dan untuk pertama kalinya sejak menikah—ia merasa lebih sendirian daripada sebelumnya.

1
Chanikya Fathima Endrajat
umur adeknya 20, dewa 22, telah bekerja 5 th sejak umur 17. wkt dewa kls 9, adiknya msh SD. setidaknya selisih umur mereka 3 th.
Seroja_layu
Astagfirullah nyebut Bu Nyebut
Dri Andri: nyata nya gitu kak
total 1 replies
Chanikya Fathima Endrajat
umur dewangga membingungkan, ketika ingin melamar anis umurnya br 19th, ketika falshback 10th yll, dewa sdh kls 9 (SMP) tdk mungkin umurnya wkt itu 9th kan thor
Dri Andri: ya saya salah maaf yaa...
karena kisah nya kisah nyata jadi saking takut salah pada alur intinya
alur di minta sama
peran, tempat di minta di random
maaf ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!