Nayla, seorang ibu tunggal (single mother) yang berjuang menghidupi anak semata wayangnya, Nando, dan neneknya, tanpa sengaja menolong seorang wanita kaya yang kecopetan. Wanita itu ternyata adalah ibu dari Adit, seorang pengusaha sukses yang dingin namun penyayang keluarga. Pertemuan itu membuka jalan takdir yang mempertemukan dua dunia berbeda, namun masa lalu Nayla dan status sosial menjadi penghalang cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Adaptasi dan Sandiwara
Hari pertama bekerja.
Nayla merasa seperti murid baru di sekolah elit. Ia tiba di Rahardian Tower tiga puluh menit lebih awal dari jadwal masuk jam 8 pagi. Penampilannya masih sama seperti saat wawancara—kemeja putih dan celana bahan hitam—karena ia belum sempat membeli baju kerja baru. Gajinya baru akan turun bulan depan, dan uang pesangon (jika bisa disebut begitu) dari Pak Joko tidaklah seberapa.
Setelah melapor ke resepsionis dan mendapatkan ID Card sementara, Nayla naik ke lantai 15.
Jantungnya berdebar saat pintu kaca otomatis terbuka, menampilkan hamparan ruang kerja open space yang modern. Karpet tebal meredam suara langkah kaki. Deretan kubikel rapi dengan komputer layar lebar, telepon canggih, dan tanaman hias kecil di setiap meja. Wangi kopi arabica dan pengharum ruangan vanilla menguar lembut.
Jauh sekali bedanya dengan kantor lamanya yang berbau debu kardus dan keringat sopir truk.
"Selamat pagi, Bu Nayla," sapa Bu Siska dari HRD yang menyambutnya. "Selamat bergabung. Mari saya antar ke meja Ibu."
Nayla dibawa ke sebuah kubikel di dekat jendela besar. Pemandangannya langsung ke gedung-gedung pencakar langit tetangga.
"Ini meja Ibu. Komputer dan email sudah disiapkan oleh IT. Password sementara ada di kertas ini. Tugas utama Ibu melapor langsung ke Pak Broto, tapi untuk operasional harian, Ibu akan satu tim dengan Mbak Vina dan Mas Rian," jelas Bu Siska.
Bu Siska melambaikan tangan pada dua orang di kubikel sebelah. "Vina, Rian, kenalkan ini Nayla, Senior Admin baru kalian."
Rian, pria muda berkacamata, tersenyum ramah dan menyalami Nayla. "Halo, Mbak Nay. Wah, akhirnya ada temen bantuin input data. Pusing aku megang sendirian."
Namun, wanita di sebelahnya—Vina—hanya menoleh sekilas tanpa berdiri. Vina sangat stylish. Rambutnya di-blow sempurna, kukunya dimanikur cantik, dan ada tas brand mewah di atas mejanya.
"Hai," sapa Vina singkat, matanya memindai penampilan Nayla dari ujung rambut ke ujung kaki dengan tatapan menilai yang tajam. "Lulusan mana?"
"Saya dari Universitas Negeri Jakarta, Mbak," jawab Nayla sopan.
Vina mengangkat alisnya sedikit, lalu kembali menatap layar komputernya. "Oh. Lokal ya. Kirain lulusan luar kayak standar biasanya. Ya udah, semoga betah deh. Di sini kerjanya cepet lho, nggak bisa lelet."
Nayla tersenyum tipis, menelan sambutan dingin itu. "Mohon bimbingannya ya, Mbak Vina."
"Kerja sendiri-sendiri aja, Mbak. Saya juga sibuk," ketus Vina.
Bu Siska yang melihat interaksi itu hanya berdeham canggung. "Ya sudah, Bu Nayla silakan setup dulu. Nanti jam 10 ada briefing sama Pak Broto."
Nayla duduk di kursi kerjanya yang empuk dan ergonomis. Ia mengelus meja kerjanya yang bersih. Ia tidak akan membiarkan sikap sinis satu orang merusak hari bahagianya. Ia di sini untuk bekerja, untuk Nando, untuk Nenek. Bukan untuk mencari teman arisan.
Pukul 12.00 siang. Waktunya istirahat.
Nayla menolak ajakan Rian untuk makan di kantin karena ia membawa bekal dari rumah—nasi goreng buatan Nenek. Ia berniat makan di pantry saja untuk menghemat uang.
Saat ia sedang menyeduh teh gratis yang disediakan kantor di pantry, ponselnya bergetar.
Mas Adit:
Gimana hari pertama? Lancar? Saya lagi di lantai 15 nih, ngecek AC sentral. Ketemu di pantry bentar?
Nayla kaget sekaligus senang. Ia segera membalas: Boleh Mas, saya emang lagi di pantry.
Tak lama kemudian, pintu pantry terbuka. Adit masuk.
Pria itu tidak memakai jas mahalnya. Ia hanya mengenakan kemeja yang lengan panjangnya digulung hingga siku, dan dasinya sudah dilepas. Kartu identitasnya ia masukkan ke dalam saku kemeja, sehingga talinya tidak terlihat. Ia berusaha terlihat sesantai mungkin, seperti staf biasa.
"Mas Adit!" sapa Nayla ceria. "Lagi tugas di sini?"
Adit mengangguk, mengambil gelas kertas dan pura-pura mengambil air dari dispenser. "Iya, biasa. Kontrol rutin. Gimana? Udah dapet meja?"
"Udah, Mas. Bagus banget mejanya. Kursinya empuk, bisa muter-muter," Nayla tertawa kecil. "Cuma ya... ada temen sebelah yang agak judes dikit. Tapi nggak apa-apa lah."
Adit mengerutkan kening. "Siapa? Yang namanya Vina?"
Nayla terkejut. "Loh, Mas Adit tau?"
Adit gelagapan. Sebagai CEO, dia hapal karakter staf-stafnya dari laporan HRD. Vina memang dikenal kompeten tapi punya attitude buruk. "Ah... ya tau lah. Kan saya pengawas umum, sering denger gosip anak-anak sini."
"Hebat ya Mas Adit, kenal semua orang," puji Nayla polos. "Eh, Mas udah makan? Saya bawa bekal nasi goreng kebanyakan nih. Nenek masak semangat banget tadi pagi. Mas mau nyicip?"
Adit menatap kotak bekal plastik Nayla yang sederhana. Di rumahnya, ia biasa makan steak wagyu atau salmon untuk makan siang. Tapi tawaran nasi goreng itu terlihat jauh lebih menggoda.
"Boleh. Kebetulan saya laper banget, belum sempet turun ke kantin," bohong Adit. Padahal sekretaris pribadinya sudah menyiapkan makan siang sehat di ruangannya di lantai 40.
Mereka duduk berdua di meja bundar kecil di sudut pantry. Nayla membagi nasi gorengnya ke tutup kotak makan untuk Adit.
"Enak, Nay," komentar Adit jujur setelah suapan pertama. "Gurihnya pas."
"Iya dong, resep rahasia Nenek," Nayla tersenyum bangga. "Oiya Mas, katanya mau minta traktir kopi kantin? Nanti ya kalau udah gajian. Sekarang cuma bisa traktir teh celup kantor gratisan ini dulu."
Adit tertawa renyah. Tawa yang lepas, tanpa beban citra wibawa yang biasa ia pikul. "Teh celup ini juga udah cukup kok. Yang penting temen ngobrolnya."
Wajah Nayla bersemu merah mendengar gombalan tipis itu.
Tiba-tiba, pintu pantry terbuka. Seorang petugas Office Boy (OB) tua masuk membawa lap pel.
Mata OB itu membelalak saat melihat siapa yang duduk makan nasi goreng di pojok. Ia mengenal jelas wajah itu. Wajah pemilik gedung ini.
"Loh! Pak A—"
Adit dengan cepat meletakkan jari telunjuk di bibirnya sambil menatap tajam ke arah OB itu. Isyarat diam yang sangat tegas.
OB itu yang sudah bekerja puluhan tahun langsung paham. Ia menunduk dalam-dalam, gemetar. "Si... siang, Pak. Maaf, saya mau bersihin wastafel."
"Silakan, Pak," jawab Adit dengan nada datar namun berwibawa.
Nayla menatap bingung interaksi itu. "Kenapa Mas? Kok Bapak OB-nya kayak takut banget sama Mas Adit? Sampe nunduk-nunduk gitu?"
Adit kembali menyendok nasi gorengnya dengan santai. "Oh, itu... Biasalah, Nay. Saya kan bagian Pengawasan. OB sering takut kalau saya laporin ada yang kotor, nanti mereka kena potong gaji. Makanya mereka segan."
"Ya ampun, Mas Adit galak ya kalau kerja?" goda Nayla. "Jangan galak-galak Mas, kasihan mereka orang kecil."
Adit tersenyum kecut. Orang kecil. Nayla selalu punya empati untuk mereka.
"Nggak galak kok. Tegas aja," elak Adit.
Mereka menghabiskan waktu istirahat dengan obrolan ringan. Adit bertanya tentang Nando, tentang sekolahnya. Nayla bercerita dengan antusias. Adit mendengarkan, menyerap setiap informasi tentang kehidupan wanita ini.
"Mas Adit sendiri gimana? Udah punya anak istri?" tanya Nayla tiba-tiba.
Adit tersedak tehnya. "Uhuk! Belum. Saya masih Single "
"Masa sih? Ganteng, kerjaan mapan, jasnya bagus-bagus. Pasti banyak yang naksir," komentar Nayla polos. "Atau seleranya ketinggian ya? Nyari model?"
Adit menatap Nayla lekat. "Nggak nyari model kok. Nyari yang tulus aja. Yang bisa diajak makan nasi goreng bekal di pantry."
Suasana mendadak hening. Tatapan Adit membuat Nayla salah tingkah. Jantungnya berdegup tidak karuan.
"Ehem... jam istirahat udah mau abis," Nayla buru-buru membereskan kotak makannya, mengalihkan isu. "Saya balik kerja dulu ya, Mas. Makasih udah nemenin makan."
"Sama-sama, Nay. Semangat kerjanya," ucap Adit.
Nayla keluar dari pantry dengan pipi yang terasa panas.
Adit tetap duduk di sana sejenak, tersenyum sendiri melihat pintu yang tertutup. Lalu ia berdiri, merapikan kemejanya, dan kembali memasang wajah dingin saat keluar berpapasan dengan OB tadi.
"Pak Ujang," panggil Adit pada OB itu.
"I-iya, Pak Presdir? Maaf saya tadi hampir..."
"Nggak apa-apa. Pak Ujang kerja yang bagus. Oiya, tolong jangan bilang siapa-siapa kalau saya makan di sini tadi. Ini rahasia kita," Adit menyelipkan selembar uang seratus ribu ke saku seragam Pak Ujang. "Buat beli rokok."
"Siap! Terima kasih banyak, Pak Presdir! Aman!" Pak Ujang berseri-seri.
Adit melangkah menuju lift VIP yang tersembunyi di balik lorong darurat, kembali menuju singgasananya di lantai 40. Sandiwaranya aman untuk hari ini. Tapi ia tahu, semakin sering ia menemui Nayla, semakin besar risiko identitasnya terbongkar.
Dan di lantai 15, Nayla kembali ke mejanya dengan semangat baru. Vina boleh sinis, pekerjaan boleh menumpuk, tapi setidaknya ia punya satu teman baik di gedung raksasa ini: Mas Adit, si staf Pengawasan Umum yang suka makan nasi goreng.
...****************...
Bersambung...
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️