"Satu detik di sini adalah satu tahun di dunia nyata. Beranikah kamu pulang saat semua orang sudah melupakan namamu?"
Bram tidak pernah menyangka bahwa tugas penyelamatan di koordinat terlarang akan menjadi penjara abadi baginya. Di Alas Mayit, kompas tidak lagi menunjuk utara, melainkan menunjuk pada dosa-dosa yang disembunyikan setiap manusia.
Setiap langkah adalah pertaruhan nyawa, dan setiap napas adalah sesajen bagi penghuni hutan yang lapar. Bram harus memilih: membusuk menjadi bagian dari tanah terkutuk ini, atau menukar ingatan masa kecilnya demi satu jalan keluar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Awph, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Kepala di atas gerbang tulang
Baskara melihat sosok ayahnya berdiri di puncak gerbang tulang sambil memegang sebuah kepala manusia yang masih meneteskan darah. Darah kental itu jatuh membasahi tumpukan tulang rusuk yang menjadi pondasi gerbang hingga menimbulkan suara desisan seperti air yang menyentuh besi panas.
Pria itu menatap Baskara dengan mata yang bersinar kuning redup di balik kabut merah yang menyelimuti seluruh area tersebut. Ia mengangkat kepala yang dipegangnya tinggi-tinggi seolah sedang memamerkan hasil buruannya kepada seluruh penghuni hutan yang haus akan nyawa.
Baskara merasa lututnya lemas saat mengenali wajah pada kepala yang dipenggal tersebut adalah wajah miliknya sendiri di masa depan. Ia melihat ekspresi ketakutan yang membeku secara abadi pada wajah mati itu dengan mata yang terbelalak lebar dan lidah yang menjulur keluar.
"Ayah, apa yang telah terjadi padamu? Kenapa kamu memegang kepalaku seolah-olah aku adalah musuhmu?" tanya Baskara dengan suara yang hampir menghilang.
Pria di atas gerbang itu tidak menjawab dengan kata-kata melainkan melempar kepala tersebut tepat ke arah kaki Baskara yang sedang gemetar hebat. Kepala itu menggelinding di atas tanah yang becek dan berhenti dengan posisi menatap langsung ke arah mata Baskara secara berulang-ulang.
"Jangan menyentuh benda itu, Baskara! Itu adalah tipu daya dari sang penguasa gerbang untuk memancingmu keluar dari garis perlindungan!" teriak Komandan sambil menarik bahu Baskara dengan kencang.
Baskara tersentak saat menyadari bahwa kakinya sudah hampir melangkah keluar dari lingkaran bubuk putih yang sebelumnya ditaburkan oleh Komandan. Ia melihat tanah di luar lingkaran mulai bergerak-gerak secara terus-menerus seolah ada ribuan tangan yang siap menariknya masuk ke dalam kerak bumi.
Ayahnya di atas gerbang mulai tertawa melengking hingga membuat burung-burung gagak bermata satu beterbangan keluar dari balik tumpukan tulang. Tawa itu terdengar sangat menyakitkan bagi telinga manusia karena mengandung frekuensi yang bisa memecahkan gendang telinga dalam sekejap saja.
"Hanya seorang pengecut yang bersembunyi di balik mantra kuno yang sudah mulai membusuk ini," ejek sosok ayah Baskara dengan nada yang sangat meremehkan.
Baskara mengepalkan tangannya hingga kuku-kukunya menusuk telapak tangan yang baru saja dijahit hingga mengeluarkan cahaya keemasan yang menyilaukan. Ia merasakan amarah yang luar biasa mulai membakar setiap sel di dalam tubuhnya dan memberikan kekuatan baru yang sangat beringas.
Ia melepaskan diri dari pegangan Komandan dan berdiri tegak menantang sosok yang menggunakan wajah orang tuanya tersebut di tengah kegelapan malam. Udara di sekeliling Baskara mendadak menjadi sangat panas hingga daun-daun kering di bawah kakinya mulai terbakar menjadi abu hitam yang terbang tidak beraturan.
"Keluarkan ayahku yang asli dari dalam dirimu, mahluk menjijikkan yang tidak memiliki harga diri!" bentak Baskara sambil mengangkat belati perak miliknya.
Sosok di atas gerbang itu mendadak diam dan melompat turun dengan gerakan yang sangat halus seperti sehelai bulu yang jatuh tertiup angin. Ia mendarat tepat di depan Baskara tanpa menimbulkan suara sedikit pun meski kakinya menginjak tumpukan tulang yang sangat rapuh secara berulang-ulang.
Arini tiba-tiba muncul dari balik punggung sosok tersebut dengan wajah yang sudah kembali terjahit namun kali ini jahitannya menggunakan benang emas. Ia memegang sebuah cermin yang permukaannya terus mengeluarkan asap hitam yang sangat pekat serta berbau amis seperti darah yang sudah lama membusuk.
"Pilihlah salah satu dari kami untuk menjadi pemandu jalanmu menuju jantung hutan ini, wahai keturunan pengkhianat," ucap Arini dengan suara yang sangat lembut namun mematikan.
Baskara menoleh ke arah Komandan yang kini tampak sangat pucat dan mulai mengeluarkan keringat darah dari seluruh pori-pori kulit wajahnya yang keriput. Ia menyadari bahwa Komandan juga sedang bertarung melawan pengaruh gaib yang mencoba untuk menghancurkan kewarasan jiwanya dari dalam secara terus-menerus.
"Jangan percaya pada mereka berdua, Baskara! Mereka hanyalah manifestasi dari dosa-dosa masa lalumu yang ingin menjebakmu selamanya!" perintah Komandan dengan napas yang mulai tersenggal-senggal.
Baskara berdiri di tengah-tengah tiga orang yang semuanya memiliki peran penting dalam hidupnya namun kini tampak seperti musuh yang sangat berbahaya. Ia melihat ke arah jam pasir raksasa di atas gerbang dan menyadari bahwa pasir perak di dalamnya sudah hampir habis sepenuhnya.
Ia mengangkat belati peraknya dan menyayat lengan kirinya sendiri hingga darah segarnya membasahi permukaan senjata tersebut dengan sangat merata. Kekuatan hangat dari belati perak itu meledak keluar dan membentuk sebuah gelombang cahaya yang menghantam ketiga sosok di hadapannya secara bersamaan.
Sosok ayahnya terlempar ke arah gerbang tulang sementara Arini menghilang menjadi asap hitam yang terbawa angin malam yang menderu kencang. Komandan terjatuh berlutut sambil memuntahkan cairan hitam yang di dalamnya terdapat ribuan ulat tanah yang masih hidup dan menggeliat secara terus-menerus.
"Maafkan aku, Komandan, tapi aku harus mencari jalan keluar dari kegilaan ini dengan caraku sendiri tanpa bantuan siapa pun lagi!" seru Baskara sambil berlari menuju gerbang tulang.
Baskara memanjat tumpukan tulang rusuk manusia itu dengan sangat cepat meskipun kuku-kukunya mulai terlepas karena tajamnya ujung tulang yang ia pegang. Ia merasakan bisikan-bisikan gaib dari para pemilik tulang tersebut yang mencoba untuk menjatuhkan mentalnya agar ia menyerah pada keadaan yang sangat pahit ini.
Di puncak gerbang, ia menemukan sebuah kunci perak yang tertanam di dalam lubang mata salah satu tengkorak yang menjadi pusat pondasi bangunan tersebut. Ia segera mengambil kunci itu dan memasukkannya ke dalam jahitan di telapak tangan kanannya yang sejak tadi terus berdenyut secara berulang-ulang.
Cahaya keemasan di tangannya meledak menjadi sangat terang hingga menghancurkan seluruh kabut merah yang menutupi pandangan matanya selama ini. Baskara melihat sebuah jalan setapak yang terbuat dari pasir putih bersih yang memanjang menuju ke arah lembah yang sangat dalam dan sangat sunyi.
Ia melompat turun dari gerbang dan mulai berlari mengikuti jalan pasir putih tersebut tanpa menoleh ke belakang sedikit pun ke arah kengerian yang ia tinggalkan. Namun, setiap langkah yang ia ambil membuat jalan pasir di belakangnya runtuh menjadi jurang gelap yang tidak memiliki dasar sama sekali secara terus-menerus.
Baskara melihat sosok ayahnya kembali muncul di kejauhan namun kali ini ayahnya sedang melambai-lambaikan tangan dengan wajah yang tampak sangat sedih. Ia tidak lagi memegang kepala manusia melainkan memegang sebuah buku catatan kecil yang sangat Baskara kenali sebagai buku harian milik ibunya.
"Jangan pergi ke lembah itu, Baskara! Di sana adalah tempat di mana semua janji akan diingkari dan semua cinta akan berubah menjadi benci!" teriak ayahnya dari kejauhan.
Baskara mengabaikan peringatan itu karena ia sudah tidak tahu lagi mana yang merupakan kenyataan dan mana yang merupakan fatamorgana dari hutan yang licik ini. Ia terus berlari hingga mencapai pinggiran lembah tengkorak putih yang pemandangannya membuat seluruh tubuhnya membeku seketika karena rasa takjub sekaligus ngeri.
Lembah itu dipenuhi oleh ribuan mahluk halus yang sedang berbaris rapi dengan memakai pakaian kebesaran seperti para bangsawan dari jaman kerajaan kuno. Di tengah lembah terdapat sebuah istana yang terbuat dari kristal hitam yang terus memancarkan aura kematian yang sangat kuat ke segala arah mata angin.
Baskara merasakan sebuah tangan besar yang sangat berbulu mulai mencengkeram pundaknya dari arah belakang dengan kekuatan yang sangat luar biasa kencang.