Penasaran dengan cerita nya lansung aja yuk kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12: Gema di Lorong Studio
Setelah keriuhan peragaan busana yang emosional itu berakhir, studio Arini kembali menjadi tempat yang sunyi. Para tamu telah pulang membawa kekaguman, dan berita tentang penangkapan Adrian mulai merangkak naik di portal berita daring. Namun, bagi Arini, kemenangan ini terasa hambar. Keberhasilan menghancurkan seseorang yang pernah ia cintai ternyata tidak otomatis menjahit lubang di hatinya. Ada rasa kosong yang tertinggal, seperti kain yang sudah kehilangan serat aslinya.
Arini duduk di kursi kerjanya, menatap sepotong kain perca yang tersisa di meja. Tangannya yang biasa lincah kini terasa berat. Tiba-tiba, pintu studionya terbuka perlahan. Bukan Rendra, bukan pula asistennya.
"Aku sudah menduga kau akan ada di sini, Arini," sebuah suara bariton yang dalam memecah keheningan.
Arini tersentak. Ia mengenali suara itu. Suara yang sudah tidak ia dengar selama hampir tujuh tahun. Ia mendongak dan menemukan sosok pria berdiri di ambang pintu dengan balutan jaket kulit hitam yang sedikit pudar. Namanya adalah Damar, mantan kekasih Arini sebelum ia terjebak dalam pesona palsu Adrian.
"Damar? Sedang apa kau di sini?" tanya Arini, suaranya sedikit bergetar karena terkejut.
Damar melangkah masuk, matanya menyapu deretan gaun di manekin dengan penuh penghargaan. "Aku melihat berita. Aku tahu kau sedang dalam badai, dan aku baru saja mendarat dari Paris kemarin. Aku merasa harus melihat dengan mataku sendiri apakah 'Arini yang tangguh' itu masih ada."
Arini menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kembali ketenangannya. "Seperti yang kau lihat, aku masih bernapas. Aku baru saja mengirim suamiku ke penjara. Bukan waktu yang tepat untuk kunjungan nostalgia, Damar."
Damar berjalan mendekati gaun dengan jahitan benang hitam di dada yang tadi dipamerkan Arini. Ia menyentuh permukaannya dengan lembut. "Kau selalu menggunakan rasa sakit untuk membuat sesuatu yang indah. Dulu saat kita putus, kau membuat koleksi musim dingin yang paling sedih yang pernah kulihat. Dan sekarang, kau melakukan hal yang sama pada bajingan itu."
"Dia bukan sekadar bajingan, Damar. Dia pengkhianat yang mencoba menghancurkan hidupku," Arini berdiri, wajahnya mengeras. "Dan aku tidak butuh kasihan darimu atau dari siapa pun."
"Aku tidak datang untuk mengasihanimu," potong Damar cepat. Ia menatap Arini lurus-lurus. "Aku datang untuk memperingatimu. Aku masih bekerja di jaringan tekstil Eropa, dan aku mendengar kabar bahwa Maya tidak bersembunyi. Dia sedang mencoba menjual pola desain terbarumu yang belum rilis kepada perusahaan sainganmu di luar negeri. Dia ingin menghancurkanmu secara finansial sebelum kau sempat bangkit sepenuhnya."
Arini tertegun. Ia mengira Maya sudah habis, sudah lari ketakutan. Namun ternyata, wanita itu adalah parasit yang lebih ulet dari yang ia bayangkan. Kesalahan Arini adalah menganggap pengkhianat akan berhenti ketika mereka terluka; nyatanya, mereka justru menjadi lebih berbahaya saat merasa terdesak.
"Kenapa kau memberitahuku?" tanya Arini penuh curiga.
Damar tersenyum tipis, sebuah senyuman yang dulu pernah membuat Arini merasa aman. "Karena meskipun kita sudah lama berakhir, aku benci melihat sebuah mahakarya dirusak oleh tangan-tangan kotor. Kau adalah desainer terbaik yang pernah kukenal, Arini. Jangan biarkan benang khianat mereka menjeratmu dua kali."
Damar meninggalkan kartu namanya di atas meja dan berjalan keluar, meninggalkan Arini dalam pusaran pikiran baru. Luka lama dengan Damar seolah terbuka kembali, bergesekan dengan luka baru yang diciptakan Adrian.
Arini mengepalkan tangannya. Ia tidak punya waktu untuk urusan asmara atau kenangan masa lalu. Jika Maya mencoba mencuri karyanya, maka Arini harus bertindak lebih cepat. Ia harus menjahit jebakan baru—kali ini bukan untuk perasaan, tapi untuk melindungi seluruh kerajaan bisnis yang ia bangun dengan darah dan air mata.
"Kau ingin bermain dengan pola desainku, Maya?" bisik Arini pada ruangan yang kosong. "Akan kupastikan kau terjepit di antara jahitan yang kau buat sendiri."
Arini segera meraih ponselnya dan menghubungi Rendra. Permainan ini belum berakhir. Jika Adrian adalah benang yang sudah ia potong, maka Maya adalah jarum patah yang masih tertinggal di dalam kain, dan Arini harus mencabutnya sekarang juga sebelum infeksi itu menyebar ke seluruh hidupnya.