Hancurnya Dunia Aluna Aluna Seraphine, atau yang akrab dipanggil Luna, hanyalah seorang siswi SMA yang ingin hidup tenang. Namun, fisiknya yang dianggap "di bawah standar", rambut kusut, kacamata tebal, dan tubuh berisi, menjadikannya target empuk perundungan. Puncaknya adalah saat Luna memberanikan diri menyatakan cinta pada Reihan Dirgantara, sang kapten basket idola sekolah. Di depan ratusan siswa, Reihan membuang kado Luna ke tempat sampah dan tertawa sinis. "Sadar diri, Luna. Pacaran sama kamu itu aib buat reputasiku," ucapnya telak. Hari itu, Luna dipermalukan dengan siraman tepung dan air, sementara videonya viral dengan judul "Si Cupu yang Gak Tahu Diri." Luna hancur, dan ia bersumpah tidak akan pernah kembali menjadi orang yang sama.
Akankah Luna bisa membalaskan semua dendam itu? Nantikan keseruan Luna...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 : PEMBERONTAKAN SANG AHLI WARIS
Kamar mewah di lantai atas mansion Seraphine itu kini tak ubahnya sebuah sel isolasi yang sangat indah. Dinding-dindingnya yang dilapisi kain sutra mahal seolah-olah bergerak menyempit, menghimpit napas Aluna. Di atas meja rias, mahkota kecil bertahta berlian yang kemarin ia banggakan kini tampak seperti tumpukan besi tua yang berkarat.
Luna duduk di tepi tempat tidur, matanya sembab namun tatapannya kosong. Dokumen dari Valerie tentang ibunya masih tergeletak di lantai, berhamburan seperti kepingan puzzle yang baru saja menghancurkan gambaran hidupnya.
“Madam Celine yang menandatanganinya... Madam Celine yang membuang Ibu.”
Kalimat itu terus berputar di kepalanya seperti kaset rusak. Selama ini ia mengira ia adalah korban dari Paman Hendra dan Reihan, namun kenyataan pahitnya adalah ia hanyalah bidak dalam permainan catur besar seorang wanita tua yang ia panggil "Nenek".
Luna berdiri, berjalan menuju pintu kamar dan mencoba memutar kenopnya.
Klik.
Terkunci. Dari luar.
"Xavier! Buka pintunya!" Luna memukul pintu kayu jati yang kokoh itu dengan tangan kosong. "Xavier! Aku tahu kamu di sana! Buka!"
Tidak ada jawaban suara, namun ia bisa mendengar napas berat di balik pintu. Xavier ada di sana, berdiri sebagai algojo sekaligus penjaga. Pria yang selama ini ia percayai sebagai satu-satunya pelindung, ternyata adalah rantai yang paling kuat yang mengikatnya pada kehendak Madam Celine.
"Xavier, tolong..." suara Luna melemah, berubah menjadi bisikan parau. "Jangan biarkan aku membusuk di sini seperti Ibu. Aku mohon..."
Di balik pintu, Xavier memejamkan mata, tangannya mengepal hingga buku jarinya memutih. Setiap pukulan Luna pada pintu itu terasa seperti hantaman pada jantungnya. Namun, ia memiliki sumpah setia pada Madam Celine, sebuah sumpah yang juga ia ambil demi keselamatan Luna.
"Maafkan saya, Nona," suara Xavier terdengar dingin, namun jika didengar lebih jeli, ada getaran kepedihan di sana. "Ini demi keamanan Anda. Valerie sedang gila di luar sana. Jika Anda keluar tanpa pengawasan, saya tidak bisa menjamin Anda akan kembali dengan nyawa."
Luna tertawa getir, tawa yang penuh dengan racun. "Keamanan? Atau kalian takut aku akan membongkar semua busuknya keluarga ini ke publik? Kalian bukan melindungiku, Xavier. Kalian melindungi nama Seraphine!"
Luna berbalik, menatap jendela besar yang menghadap ke taman. Ia tahu, ia tidak bisa tinggal diam. Jika ia menyerah sekarang, ia akan benar-benar menjadi "Seraphine" yang diinginkan Madam—sebuah boneka tanpa jiwa yang hanya tahu cara membalas dendam sesuai instruksi.
Tiga jam berlalu. Suasana mansion semakin sunyi seiring dengan turunnya malam. Luna tidak menyentuh makanan yang diantarkan oleh pelayan melalui celah pintu. Ia justru sibuk membongkar lemari pakaiannya.
Ia mencari pakaian lamanya. Pakaian yang ia kenakan saat pertama kali Xavier menjemputnya. Sebuah jaket lusuh dan celana jeans yang sudah pudar warnanya. Saat ia mengenakannya, ia merasa seperti kembali menjadi "Luna si Cupu", namun kali ini dengan otak yang sudah ditempa oleh Zurich.
"Kalau mereka menganggapku sebagai predator, maka aku akan menjadi predator yang paling licik," gumamnya.
Luna berjalan ke arah balkon. Ia mengamati posisi para penjaga di taman bawah. Xavier biasanya melakukan pergantian giliran pada pukul 02.00 pagi. Itu adalah jendela waktu lima menit di mana perhatian semua orang akan terbagi.
Luna mengeluarkan sebuah alat kecil dari balik bantalnya—sebuah jamming device mini yang pernah ia curi dari tas kerja Xavier saat latihan di Zurich. Ia tahu cara kerjanya. Alat ini bisa mematikan sensor gerak dan kamera pengawas dalam radius sepuluh meter selama tiga puluh detik.
"Satu kesempatan," bisiknya pada diri sendiri.
Tepat pukul 01.55, Luna melihat Xavier berjalan menjauh dari pintu kamarnya menuju pos komando di lantai bawah. Luna segera bereaksi. Ia mengikat sprei tempat tidur menjadi tali yang kuat, menyambungkannya dengan gorden sutra yang panjang.
Tangannya yang halus kini terasa kasar saat menggenggam kain tersebut. Ia tidak peduli. Ia memanjat pagar balkon, merasakan angin malam Jakarta yang lembap menerpa wajahnya. Dengan gerakan yang lincah, hasil latihan fisik yang menyiksa dari Xavier, Luna meluncur turun ke arah bayang-bayang pohon besar di bawah.
Jlep.
Ia mendarat di atas rumput dengan suara yang sangat minim. Ia segera mengaktifkan alat jammer-nya. Lampu kamera pengawas di dekatnya berkedip merah lalu mati.
Luna berlari menembus kegelapan, melewati labirin taman yang dulu ia anggap indah, namun kini terasa seperti jebakan maut. Ia tidak menuju gerbang utama. Ia menuju sebuah pintu kecil di area dapur yang biasanya digunakan untuk pembuangan sampah.
Ia berhasil keluar ke jalan raya. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, ia berdiri di jalanan tanpa pengawalan limusin, tanpa Xavier di sampingnya, dan tanpa pengawasan Madam Celine.
Namun, ia tahu, kebebasan ini berumur pendek. Xavier akan segera menyadari hilangnya Luna dalam hitungan menit.
Luna berlari menuju lampu-lampu kota yang terang, mencoba menghilang di antara kerumunan orang di pasar malam yang tak jauh dari sana. Ia butuh telepon umum atau warnet yang tidak bisa dilacak oleh sistem Seraphine.
Ia masuk ke sebuah gang sempit, jantungnya berdegup kencang hingga telinganya berdenging. Tiba-tiba, sebuah mobil sedan tua berhenti di depannya. Pintu terbuka, dan sesosok pria yang sangat ia kenali keluar dari sana.
"Butuh tumpangan, Luna?"
Itu adalah Kevin. Mantan anggota geng Reihan yang dulu ikut merundungnya. Namun kali ini, Kevin tidak tampak angkuh. Wajahnya penuh luka lebam, dan matanya memancarkan keputusasaan yang sama dengan Luna.
"Kevin? Apa yang kamu lakukan di sini?" Luna mundur, tangannya secara insting mencari senjata yang tidak ia bawa.
"Valerie membuangku setelah dia mendapatkan apa yang dia mau dari laptopku," Kevin bicara dengan cepat, suaranya gemetar. "Dia mencoba membunuhku karena aku tahu terlalu banyak tentang rencana dia untuk menjebakmu besok di sekolah. Aku tidak punya tempat pergi, Luna. Aku tahu kamu melarikan diri dari mansion itu. Aku sudah mengintai sejak sore."
Luna menatap Kevin dengan curiga. "Kenapa aku harus percaya padamu?"
"Karena kita berdua adalah sampah di mata mereka sekarang!" Kevin berteriak frustrasi. "Dengarkan aku. Valerie tidak hanya ingin menghancurkan reputasimu. Dia sudah menyuap oknum kepolisian untuk menangkapmu atas tuduhan pembunuhan berencana terhadap ayahnya sendiri jika kamu datang ke acara kelulusan besok. Dia punya bukti palsu yang sangat kuat."
Luna tertegun. Valerie jauh lebih berbahaya dari yang ia duga.
"Bawa aku ke tempat persembunyianmu," perintah Luna. "Dan tunjukkan padaku semua yang kamu tahu tentang dokumen palsu itu."
Luna masuk ke dalam mobil Kevin. Saat mobil itu melaju, dari kejauhan ia melihat iring-iringan SUV hitam milik Xavier melesat ke arah pasar malam. Mereka sudah mulai mengejarnya.
Luna menatap Kevin dari samping. Ia tahu ini adalah taruhan yang berbahaya. Bekerja sama dengan mantan musuh untuk melawan keluarga sendiri. Namun di dunia yang penuh dengan pengkhianatan ini, musuh dari musuhnya adalah satu-satunya "teman" yang ia miliki.
"Xavier... Madam Celine..." Luna mengepalkan tangannya. "Kalian pikir bisa mengurung badai? Besok, aku akan menunjukkan pada kalian apa yang terjadi saat badai itu meledak di depan wajah kalian semua."
Mobil tua Kevin melaju membelah jalanan tikus Jakarta yang sempit dan berbau sampah. Aluna duduk di kursi penumpang, tangannya mencengkeram erat pegangan pintu yang sudah goyang. Setiap kali lampu sorot mobil lain lewat, ia secara refleks merunduk, takut jika itu adalah SUV hitam milik Xavier.
"Ke mana kamu membawaku?" tanya Luna dengan nada dingin yang tidak menyembunyikan kecurigaannya.
"Sebuah warnet tua di pinggiran Jakarta Barat. Lantai duanya adalah gudang server ilegal milik teman-temanku," jawab Kevin tanpa menoleh. "Xavier jenius, Luna. Sistem Seraphine bisa melacak sinyal ponsel, plat nomor, bahkan pengenalan wajah di kamera jalanan protokol. Tapi mereka tidak punya akses ke kabel-kabel bawah tanah yang dikelola preman siber."
Saat mereka sampai, Luna disambut oleh aroma rokok dan sirkuit listrik yang panas. Ruangan itu dipenuhi dengan monitor tua yang berkedip-kedip menampilkan barisan kode hijau. Kevin segera duduk di depan salah satu komputer dan jemarinya menari di atas keyboard.
"Lihat ini," Kevin menggeser sebuah layar ke arah Luna. "Ini adalah berkas yang Valerie siapkan untuk besok. Dia meretas laporan kesehatan ayahmu sebelum meninggal dan mengubahnya seolah-olah kamu memberikan dosis obat yang salah secara sengaja. Ada saksi palsu, perawat yang sudah dia suap yang siap bersumpah di depan publik."
Luna menatap layar itu dengan mata yang berkilat marah. "Dia ingin menjadikanku pembunuh ayahku sendiri? Setelah dia menghancurkan ibuku, sekarang dia ingin menghapus namaku dari muka bumi?"
"Bukan cuma itu," Kevin menekan tombol enter. "Valerie tahu Xavier mencintaimu, Luna. Dia sengaja membiarkan Xavier menjagamu agar saat kamu 'jatuh', Xavier juga ikut hancur karena dianggap gagal melindungi atau bahkan dianggap sebagai komplotanmu. Valerie ingin menyapu bersih semua orang yang setia pada Madam Celine."
Luna tertegun. Kata-kata "Xavier mencintaimu" menghantam dadanya lebih keras daripada ancaman penjara. Ia teringat tatapan Xavier di Zurich, perlindungan tanpa pamrihnya selama ini... Apakah semua itu cinta, atau hanya tugas? Dan jika itu cinta, mengapa Xavier tega mengurungnya semalam?
Di tempat lain, di markas komando mansion Seraphine, suasana mencekam menyelimuti ruangan. Xavier berdiri di depan monitor besar yang menampilkan peta GPS kota. Tangannya yang terbalut perban tipis mencengkeram meja hingga retak.
"Tiga puluh menit, dan kalian belum menemukannya?!" suara Xavier menggelegar, membuat para staf keamanan menunduk ketakutan.
"Seseorang menggunakan perangkat jammer militer, Tuan. Sinyal Nona Aluna hilang tepat di area pasar malam," lapor salah satu operator.
Madam Celine masuk ke ruangan dengan langkah lambat namun berat. Suara ketukan tongkat peraknya terdengar seperti lonceng kematian. "Dia melarikan diri darimu, Xavier. Itu berarti kamu sudah kehilangan kendali atas dirinya."
Xavier berbalik, matanya merah. "Nona Aluna sedang emosional, Madam. Anda memberitahunya tentang ibunya di saat yang salah. Dia merasa dikhianati."
"Aku tidak memberitahunya untuk membuatnya sedih," sahut Madam Celine dingin. "Aku ingin dia tahu bahwa di dunia ini, tidak ada perlindungan yang gratis. Sekarang, pilihannya hanya dua: Kamu menemukannya sebelum Valerie melakukannya, atau aku akan mengirim tim pembersih yang tidak akan peduli apakah dia pulang dalam keadaan hidup atau mati."
Xavier tersentak. Ia tahu "tim pembersih" Madam adalah unit tanpa belas kasihan. Tanpa sepatah kata pun, Xavier menyambar kunci motor dan senjatanya. Ia melesat keluar mansion dengan motor sport hitamnya, membelah malam dengan kecepatan yang melampaui logika.
Ia tidak mencari di jalanan utama. Ia mulai berpikir seperti Luna. Ke mana seorang kelinci akan lari jika ia tahu serigala mengejarnya? Ke tempat yang paling kotor, paling gelap, dan paling tidak terduga.
Xavier memacu motornya ke arah Jakarta Barat. Instingnya mengatakan bahwa Luna tidak sendirian. Ada seseorang yang membantu Luna meretas protokol keamanannya dan orang itu hanya bisa satu orang, Kevin.
Kembali ke gudang server, Luna sedang mengamati data yang disajikan Kevin. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.
"Kevin, kenapa kamu membantuku?" tanya Luna tiba-tiba. "Bulan lalu kamu adalah orang yang tertawa paling keras saat aku disiram air toilet. Sekarang kamu mempertaruhkan nyawa melindungiku dari Valerie. Apa maumu? Uang? Posisi?"
Kevin berhenti mengetik. Ia menunduk, menatap pantulan dirinya di layar monitor yang retak. "Bulan lalu aku adalah pengecut, Luna. Aku pikir mengikuti Reihan akan membuatku aman. Tapi setelah melihat bagaimana Valerie membuang Reihan seperti sampah dan mencoba melenyapkanku hanya karena aku tahu rahasianya... aku sadar."
Kevin menoleh ke arah Luna, matanya tampak tulus untuk pertama kalinya. "Aku tidak butuh uangmu. Aku hanya ingin melihat orang-orang itu hancur. Aku ingin membuktikan bahwa 'sampah' seperti kita bisa membakar istana mereka."
Tiba-tiba, suara deru mesin motor yang sangat keras terdengar dari depan gedung. Suara itu berhenti dengan suara decitan ban yang tajam.
"Dia di sini," bisik Luna. Jantungnya berdegup kencang. Ia mengenali suara mesin itu. Itu adalah motor Xavier.
"Luna! Keluar!" suara Xavier terdengar menggema dari lantai bawah, penuh dengan kepedihan dan amarah. "Jangan percayai Kevin! Dia bekerja untuk Valerie!"
Luna menatap Kevin dengan tatapan maut. "Apakah itu benar?"
"TIDAK! Dia memfitnahku agar kamu kembali padanya!" teriak Kevin panik. "Luna, kalau kamu keluar sekarang, Madam Celine akan mengurungmu selamanya atau bahkan melakukan hal yang lebih buruk pada Bibimu sebagai jaminan!"
DUAAKK!
Pintu lantai dua ditendang hingga hancur. Xavier berdiri di sana, napasnya tersengal, pakaiannya basah oleh keringat dan debu jalanan. Senjatanya terhunus, tapi matanya hanya menatap Luna dengan permohonan yang dalam.
"Nona, tolong... ikut saya pulang," ucap Xavier parau. "Kevin baru saja menerima transfer dana dari rekening rahasia Valerie sepuluh menit yang lalu. Dia memancing Anda ke sini agar Valerie bisa mengirimkan lokasi ini ke polisi."
Luna berdiri di antara dua pria itu. Di tangan kiri ada Kevin yang memegang data bukti kejahatan Valerie, dan di tangan kanan ada Xavier yang selalu melindunginya namun juga telah mengurungnya.
Siapa yang berbohong? Siapa yang benar-benar berdiri di pihaknya?
"Cukup!" teriak Luna. Ia mengambil belati kecil yang selalu ia simpan di balik jaketnya. "Jangan ada yang mendekat! Aku tidak akan kembali ke mansion itu, dan aku tidak akan menjadi bidak Valerie!"
Tepat saat itu, sirene polisi terdengar mengepung gedung tersebut. Lampu biru-merah berkedip masuk melalui celah-celah jendela.
"Luna, lihat!" Kevin menunjuk ke arah luar. "Polisi itu... itu bukan polisi yayasan! Itu tim khusus yang dibawa Valerie! Xavier yang membawa mereka ke sini!"
Xavier terbelalak. "Bukan! Aku datang sendiri!"
Luna menatap kedua pria itu dengan air mata yang mengalir. Ia merasa benar-benar sendirian di dunia yang penuh tipu daya ini. "Kalian semua... sama saja."
Lampu sirene biru dan merah menari-nari di dinding gudang server yang kusam, menciptakan bayangan yang mengerikan di wajah Aluna. Di depannya, dua pria yang memegang kunci nasibnya saling menatap dengan penuh kebencian. Xavier dengan senjatanya yang masih terarah pada Kevin, dan Kevin yang bersembunyi di balik tumpukan monitor sambil memegang hard drive berisi data krusial.
"Luna, dengerin gue!" Kevin berteriak, suaranya parau karena panik. "Lihat di bawah! Itu bukan polisi biasa! Itu unit taktis yang sering dipake keluarga Seraphine buat 'beresin' masalah. Xavier manggil mereka buat jemput lo paksa!"
"BOHONG!" Xavier meraung, suaranya pecah oleh emosi yang jarang ia tunjukkan. "Nona, saya datang sendirian! Saya meretas sinyal motor saya sendiri supaya tidak bisa dilacak oleh pusat. Tim yang di bawah itu adalah tim Valerie yang menyamar!"
Luna menatap kedua pria itu bergantian. Jantungnya berdegup begitu kencang hingga ia merasa bisa pingsan kapan saja. Siapa yang harus ia percayai? Pria yang pernah merundungnya namun kini memberinya bukti kejahatan Valerie, atau pria yang selama ini melindunginya namun baru saja mengurungnya dalam penjara emas?
"CUKUP!" Luna berteriak, suaranya menggema di ruangan sempit itu. Ia mengarahkan belati kecilnya ke arah lehernya sendiri. "Kalau salah satu dari kalian maju selangkah lagi, aku akan mengakhiri semua ini sekarang juga! Aku capek jadi rebutan kalian semua!"
Xavier membeku. Tangannya yang memegang senjata gemetar. "Nona... tolong... jangan..."
"Xavier," Luna menatap tajam pria di depannya. "Katakan sejujurnya. Apakah Madam Celine menyuruhmu membawaku kembali hidup atau mati?"
Xavier terdiam cukup lama. Matanya yang tajam kini tampak berkaca-kaca. "Madam memerintahkan saya untuk mengamankan Anda. Beliau bilang... jika Anda menolak, saya harus menggunakan 'cara apa pun'. Tapi Nona, saya tidak akan pernah menyakiti Anda. Saya mengurung Anda karena saya tahu Valerie sudah menyiapkan jebakan ini!"
PART 8: Pengkhianatan Terakhir
Tiba-tiba, suara pintu bawah yang didobrak paksa terdengar. Langkah-langkah sepatu bot militer menaiki tangga dengan cepat.
"Mereka di sini!" Kevin berteriak. Ia segera melemparkan hard drive itu ke arah Luna. "Luna, ambil ini! Lari lewat jendela belakang! Di sana ada motor cadanganku!"
Namun, sebelum Luna sempat menangkapnya, sebuah tembakan meletus.
DORRR!
Bukan Xavier yang menembak. Peluru itu datang dari arah jendela samping yang pecah. Seorang penembak jitu dari gedung seberang telah membidik mereka. Bahu Kevin tertembak, membuatnya tersungkur sambil mengerang kesakitan. Hard drive itu terjatuh dan terlempar ke arah kaki Xavier.
Xavier segera merunduk, mencoba melindungi Luna dengan tubuhnya. "TIARAP!"
Beberapa pria berseragam taktis hitam merangsek masuk ke ruangan. Mereka tidak memakai lencana polisi resmi. Mereka adalah tentara bayaran Valerie. Pemimpin mereka melangkah maju, melepaskan helm taktisnya. Ternyata itu adalah salah satu mantan pengawal senior di mansion Madam Celine yang telah berkhianat.
"Tuan Xavier," ucap pria itu dengan senyum licik. "Madam Celine mengirim pesan. Katanya, jika Anda tidak bisa membawa Nona Aluna pulang tepat waktu, maka tugas Anda selesai. Dan kami diperintahkan untuk mengambil alih."
Xavier menatap pria itu dengan penuh kebencian. "Kalian bekerja untuk Valerie, bukan Madam!"
"Batas antara perintah Madam dan rencana Nona Valerie sudah sangat kabur belakangan ini, bukan?" sahut pria itu. Ia menodongkan senapan otomatisnya ke arah Luna. "Nona Aluna, ikut kami sekarang, atau asisten kesayangan Anda ini akan mati di tempat."
Luna menatap Xavier yang kini sudah dikepung oleh tiga orang bersenjata. Ia menyadari sesuatu yang sangat pahit: Madam Celine telah melepaskan Xavier. Madam lebih memilih bekerja sama dengan Valerie (atau setidaknya membiarkan Valerie bertindak) asalkan aset Seraphine tidak jatuh ke tangan "gadis selokan" yang mulai memberontak.
"Tunggu," ucap Luna dengan nada suara yang mendadak sangat dingin. Ia berdiri tegak, mengabaikan moncong senjata yang mengarah padanya. Ia mengambil hard drive yang ada di lantai dekat Xavier.
Ia menatap Xavier untuk terakhir kalinya. Tatapan yang penuh dengan kekecewaan namun juga perpisahan. "Kamu bilang kamu melindungiku, Xavier. Tapi ternyata, kamu hanyalah bagian dari sistem yang menghancurkan keluargaku."
"Nona, tidak..." bisik Xavier lemah.
Luna menoleh ke arah pemimpin tentara bayaran itu. "Aku akan ikut. Tapi biarkan mereka berdua hidup. Kevin tidak bersalah, dan Xavier... dia hanya menjalankan perintah nenekku yang gila itu."
Pemimpin itu tertawa. "Kesepakatan yang adil. Bawa dia!"
Dua orang pria mencengkeram lengan Luna dan menyeretnya keluar. Xavier mencoba melawan, namun ia dihantam oleh popor senapan hingga jatuh pingsan di samping Kevin yang bersimbah darah.
Saat Luna dibawa masuk ke dalam mobil van hitam di bawah, ia menatap gedung warnet tua itu untuk terakhir kali. Di dalam sakunya, ia merasakan sebuah benda kecil perangkat peretas yang diberikan Kevin tadi. Luna belum sepenuhnya kalah. Ia sengaja menyerahkan diri untuk masuk ke jantung pertahanan Valerie.
Di dalam mobil yang melaju kencang, Luna memejamkan matanya. Ia membisikkan satu janji yang sangat gelap.
"Besok adalah hari kelulusan. Besok adalah hari di mana aku akan meruntuhkan istana kalian, sepotong demi sepotong. Tidak ada lagi Seraphine, tidak ada lagi Luna. Yang tersisa hanyalah badai yang akan menyapu bersih nama kalian dari sejarah."
Di mansion utama, Madam Celine sedang menatap monitor yang menunjukkan penangkapan Luna. Ia menyesap tehnya, namun tangannya sedikit bergetar. "Maafkan aku, Aluna. Tapi Seraphine harus bertahan, meski harus mengorbankan hatimu."
Luna menyerahkan diri! Xavier tumbang dan Kevin sekarat. Apakah ini benar-benar akhir dari perlawanan Luna, ataukah ini adalah awal dari sebuah rencana bunuh diri yang mematikan? Besok adalah hari kelulusan hari di mana semua topeng akan dibuka!
🔥 LIKE jika kalian tidak menyangka Madam Celine akan sekejam ini pada Xavier dan Luna!
💬 KOMEN DI BAWAH Apa rencana Luna selanjutnya di dalam sarang musuh? Mampukah Xavier bangkit kembali untuk menebus kesalahannya?
📢 SHARE bagian ini kalau kalian sudah tidak sabar menunggu konfrontasi final!