Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.
Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Umar menarik napas panjang, matanya menatap lurus ke Citra yang berdiri di depannya dengan wajah penuh harap.
"Citra," suaranya berat, seperti tertahan di tenggorokan.
"Aku... sudah punya Nay jauh sebelum kamu mengungkapkan perasaanmu." Tangannya mengepal, rasa bersalah dan sesak memenuhi dadanya.
"Maaf, aku nggak bisa terima kamu jadi calon istriku."
Di balik kata-kata itu, pikirannya berkecamuk, mencari celah keluar dari situasi yang membuatnya merasa terpojok. Hatinya pun terluka, menyakitkan melihat tulusnya cinta Citra yang harus dia tolak.
Sementara itu, di pagi yang mulai terik, Citra melangkah pelan, mencoba menahan Umar yang ingin buru-buru menjemput Nay dari rumah Airin. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh, dan Nay pasti sudah menunggu lama. Tapi Umar masih terdiam, cemas beradu dengan rasa enggan meninggalkan Citra yang tampak rapuh.
"Apa aku cuma jadi boneka yang harus menurut perasaan orang lain?" gumam Umar, suaranya tercekat di dalam hati.
"Kenapa aku harus menanggung ini sendiri? Apakah Citra benar-benar nggak ngerti aku punya Nay dan tanggung jawab buat dia?" Wajahnya menegang, ragu dan sedih berbaur jadi satu.
Airin, yang tinggal bersama Nay, pagi itu sudah bergegas menghadiri undangan pernikahan sahabatnya, meninggalkan Nay sendirian di rumah. Umar menarik napas panjang, merasakan berat tanggung jawab sebagai ayah. Ia tak ingin mengecewakan Nay, tapi jalan keluar dari masalah ini terasa jauh dan tak terjangkau.
Di sisi lain, Citra menatap Umar dengan mata berbinar penuh harap.
"Tapi aku yakin kamu menyukai aku, Mas Umar! Apa aku kalah cantik dibanding Nay kamu itu?" suaranya sedikit bergetar, tapi dia tetap melangkah mendekat.
"Kan kita sudah dijodohkan sejak kecil. Sekarang saatnya kita lebih dekat."
Hatinya bergetar, yakin Umar tak akan menolak. Ia tahu, janji orang tua mereka bukan sekadar kata-kata. Namun, Citra memicingkan mata, mencoba menyelami apa sebenarnya yang tersimpan dalam pandangan Umar.
Citra menatap Umar dari kejauhan, matanya mengerut penuh tanya.
"Apa dia benar-benar suka Nay seperti yang dia bilang ke aku? Mana mungkin dia nggak lihat aku lebih cantik dari Nay," gumamnya pelan, dada berdebar campur aduk kecewa dan penasaran. Tangannya mengepal perlahan, seolah ingin memaksa Umar membuka matanya dan hatinya untuk perjodohan ini.
Sementara itu, Umar mengernyit, wajahnya kusut seperti mencoba mengurai benang kusut di pikirannya. Matanya sesekali tertunduk, kemudian menatap kosong ke depan. Ia berjuang menolak, tapi suara hati dan desakan keluarga seperti mengekang langkahnya.
"Apakah aku harus terima perjodohan ini dan meninggalkan Nay?" pikirnya dalam diam, jantungnya berdegup tidak karuan.
Diam-diam, ia menahan napas, menelan kegalauan yang bergemuruh. Dalam remang rasa ragu itu, Umar mencari-cari celah untuk menepis beban perjodohan yang terasa begitu berat, tapi jawabannya belum juga datang.
Umar menarik napas panjang, matanya sesekali menatap ke arah Citra, tapi ragu tak kunjung hilang dari wajahnya.
"Citra, tolong, coba pahami perasaanku," suaranya bergetar, seolah sedang menahan beban yang terlalu berat.
"Awalnya aku kira ini cuma gurauan orang tua kita, cuma lelucon biasa." Ia menggeleng pelan, bibirnya mengeras.
"Tapi sekarang, perjodohan ini malah jadi nyata… dan aku merasa terjebak." Dia memandang ke lantai sebentar, lalu menatap Citra lagi dengan mata yang penuh pergulatan.
"Di dalam hatiku terus bertanya, ‘Apa memang tak ada jalan keluar? Bisakah aku mengakhiri semua ini?’" Umar mengerutkan kening, jarinya menggenggam kuat ujung bajunya sendiri.
"Aku ingin bebas, tapi entah bagaimana, rasa itu tersisih antara keinginan orang tua dan apa yang aku mau."
Sementara itu, Citra berdiri diam, dadanya berdebar, tak bisa menahan diri untuk membandingkan dirinya dengan Nay yang selalu tampak begitu mudah mendapatkan perhatian Umar. Sebuah rasa cemburu halus tapi menusuk menyelinap ke hati. Mata Citra melembut, mencoba mencari celah di balik penolakan Umar, berharap ada ruang untuk mereka berdua.
Citra menatap Mas Umar dengan mata yang hampir menyala. “Jelas, aku wanita yang lebih segalanya, Mas. Aku bakal jadi dokter, bisa bantu Mas cari uang. Hidup kita nanti pasti jauh lebih baik daripada kalau Mas pilih Nay, yang cuma guru honorer.” Bibirnya mengerut, sambil menyelipkan, “Lagipula, aku dari keluarga kaya, sedangkan Nay, asal-usulnya saja enggak jelas.”
Namun, kata-kata itu tiba-tiba terdengar berat di telinganya sendiri. Sebuah keraguan merayapi pikirannya. Apa dia terlalu percaya diri? Kenapa harus menjatuhkan orang lain demi mengangkat dirinya? Perlahan, rasa salah mulai menggerogoti hatinya.
Matanya mencuri pandang ke wajah Mas Umar yang mulai berubah dingin, sedikit mengernyit. Citra tersentak, sadar kata-katanya malah menimbulkan jarak, bukan kedekatan.
“Ah, kenapa aku bisa sebego ini?” gumamnya dalam hati, menyesali sikapnya yang terburu-buru dan terlalu sombong.
Umar menghela napas dalam-dalam, berusaha menekan rasa risih yang menggelayuti setiap kata Citra yang terus mengalir tanpa henti. Matanya sepet, menahan ingin membentak, tapi ia memilih diam.
“Kenapa ya, wanita seperti Citra ini selalu muncul di sekeliling gue, nguji kesabaran?” batinnya, telapak tangannya menepuk-nepuk paha sambil menahan gemas.
Tanpa menunggu lama, ia melangkah cepat menjauh, membuka pintu mobil dengan gerakan tegas. Duduk di kursi pengemudi, Umar mengangkat kepala, menatap jalan depan yang mulai lengang.
“Nay sudah lama nunggu, ya?” gumamnya sambil jari-jari di setir mengetuk-ngetuk tak sabar.
Dalam pikirannya, terbayang betapa tidak nyamannya Nay kalau terus menunggu tanpa tahu kapan akan dijemput. Di balik kaca, matanya sempat melirik ke aula tempat acara pengkaderan berlangsung. Citra tengah berdiri di depan, bersiap memberi materi pada kader-kader yang rapi duduk. Tatapan Umar melembut sekejap, tapi ia segera mengalihkan pandangan, kembali fokus pada tujuan utama hari ini.
Hatinya berbisik pelan, “Seandainya Citra bisa sedikit saja berubah, mungkin suasana acara ini tidak akan begitu kaku.” Umar menghela napas, menyadari itu bukan urusannya.
Dia menatap ke arah pintu, menunggu kedatangan Nay, gadis yang selalu menenangkan gelisah di dadanya. Sementara itu, Citra melangkah mantap menuju podium, wajahnya yang biasanya dingin terselip raut bimbang yang tak mudah disembunyikan. Di balik sorot matanya, dia bergumam lirih,
“Apa benar Mas Umar tak pernah punya rasa padaku? Pria sehebat dia pasti mudah melirik wanita lain, atau setidaknya berusaha setia pada satu hati.” Namun, sebuah keyakinan menguat di dalam dadanya,
“Kalau orang tua kami dan Mas Umar sudah sepakat soal pernikahan ini, dia pasti tak sanggup menolak.”
Tanpa ragu, Citra menarik nafas dalam dan mulai menyampaikan materi pengkaderan pagi itu, meski hatinya masih berputar dalam tanya.
Di depan para kader, mata Citra tampak kosong, tapi pikirannya berputar tak henti. Ia menelan ludah, mencoba merajut rasa yang kacau di hatinya.
“Jangan sampai salah langkah,” gumamnya dalam hati. Tapi sekaligus, ada getar harap yang sulit ia bendung. Kesempatan ini bisa jadi pintu untuk membangun sesuatu yang lebih dari sekadar perkenalan dengan Mas Umar.
Perlahan, jari-jarinya mengetuk meja, mencari kalimat yang tepat agar nanti, setelah acara pengkaderan usai, ia bisa membuka isi hati tanpa terburu-buru atau kehilangan kendali. Sementara itu, di rumah Airin, Nay duduk gelisah. Tangannya terus meremas tisu, dadanya sesak memikirkan malam sebelumnya. Umar bersama Citra, nama yang selama ini jadi bayang-bayang dalam benaknya.
Sebuah rasa ragu perlahan menggerogoti keyakinannya tentang Umar. Ia sudah tahu, tapi selama ini berusaha menepisnya demi cinta yang mereka bagi. Kini, kepercayaan itu terasa rapuh, seperti pasir yang mudah runtuh kapan saja. Nay menghela napas panjang, mencoba menenangkan hati yang berkecamuk.
Nay menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam gelombang cemburu yang menggulung di dadanya. Matanya menatap kosong ke arah ponsel yang sejak tadi tak berani dia sentuh.
“Dia pasti setia padaku, kan?” gumam Nay pelan, seolah meyakinkan dirinya sendiri. Tapi bayang-bayang Citra terus menyelinap, mengaduk-aduk perasaannya yang rapuh.
Tiba-tiba dadanya sesak, wajah Nay memerah, tangan gemetar menahan kegelisahan yang datang tanpa undangan.
“Kalau aku salah percaya, kalau Umar benar-benar bermain dengan wanita lain…” pikirnya, napasnya tersendat. Air mata mulai menggenang di ujung mata, namun ia cepat-cepat mengusapnya kasar, berusaha menepis kesedihan yang tiba-tiba mencengkram hati.