Kelahiran Senja Putri Baskara bukanlah awal, melainkan akhir.
Awalnya, ia adalah janin yang dikandung ibunya, janin yang membawa badai-badai kehadirannya merenggut nyawa kakak laki-lakinya, Fajar Putra Baskara, menghancurkan bisnis keluarga, dan melenyapkan kebahagiaan sang ibu. Sejak hari pertama dirinya hadir, Senja adalah bayangan yang dicap sebagai pembawa sial.
Satu-satunya cahaya di hidupnya adalah sang ayah. Pria yang memanggilnya 'Putri' dan melindunginya dari tatapan tajam dunia. Namun, saat Senja beranjak dewasa, cahaya itu pun padam.
Ditinggalkan sendirian dengan beban masa lalu dan kebencian seorang ibu, Senja harus berjuang meyakinkan dunia (dan dirinya sendiri) bahwa ia pantas mendapatkan kebahagiaan.
Apakah hati yang terluka sedalam ini bisa menemukan pelabuhan terakhir, ataukah ia ditakdirkan untuk selamanya menjadi Anak pembawa sial? ataukah ia akan menemukan Pelabuhan Terakhir untuk menyembuhkan luka dan membawanya pada kebahagiaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kegelapan malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9
Sudah hampir dua bulan Senja resmi menjadi istri Damar. Sesi-sesi konseling dengan Dr. Alya telah berjalan baik, membuat beban masa lalu Senja perlahan terangkat. Ia tak lagi gemetar saat mendengar suara keras. Keberaniannya kini tidak hanya ia salurkan untuk fotografi, tetapi juga untuk hidupnya sebagai istri.
Senja tahu, Damar telah menunda haknya sebagai suami demi penyembuhannya. Malam ini, ia memutuskan untuk membalas kesetiaan itu.
Pukul tiga sore, Senja mengangkat ponselnya dan menghubungi kantor Damar.
"Halo, Damar?"
"Ya, Senja? Ada apa? Kau baik-baik saja?" tanya Damar, terdengar sedikit terkejut.
"Aku baik-baik saja. Aku hanya... ingin bertanya. Apakah malam ini kau akan lembur, atau ada jadwal pulang terlambat?" tanya Senja, suaranya sedikit bergetar, berusaha membuatnya terdengar seperti pertanyaan biasa.
Damar diam sebentar. Ia pasti menangkap nada lain dalam suara Senja. "Tidak, aku tidak ada rencana lembur. Ada apa, Sayang?"
"Bagus. Bisakah kau... usahakan pulang tepat waktu? Ada hal yang ingin kubicarakan saat kita sudah di rumah."
"Tentu saja. Aku akan meninggalkan pekerjaanku di sini segera setelah jam kantor berakhir. Aku akan pulang tepat waktu," janji Damar, nadanya kini penuh antisipasi dan kelembutan.
Setelah menutup telepon, Senja segera bergegas keluar. Ia tahu ia harus menyiapkan malam istimewa. Senja membeli lilin beraroma lembut, bunga sederhana, dan, yang paling sulit, ia melangkah ke toko pakaian dalam.
Memilih lingerie terasa seperti tugas yang paling memalukan. Senja, yang terbiasa menutupi setiap inci tubuhnya karena trauma, kini harus memilih pakaian yang paling terbuka. Ia melihat dirinya di depan cermin, mengenakan salah satu lingerie berwarna merah marun. Wajahnya memerah, tubuhnya kaku karena malu yang luar biasa.
"Ini bukan untuk menuruti nafsu, ini untuk membalas kesetiaannya" bisik Senja pada dirinya sendiri. "Damar pantas mendapatkan ini. Dia sudah menungguku sembuh tanpa menuntut apa pun."
Keinginan untuk menunjukkan rasa terima kasih dan cinta akhirnya mengalahkan rasa malu yang berakar dari trauma. Ia membeli lingerie itu, menyadari bahwa tindakan ini adalah pernyataan cinta paling nyata yang bisa ia berikan.
Pukul tujuh malam, lilin beraroma vanilla menyala, dan kamar dimandikan cahaya remang yang hangat. Senja menunggu di tepi ranjang.
Pintu terbuka, dan Damar masuk. Ia terpaku melihat siluet Senja yang sangat seksi menurutnya di tengah cahaya lilin.
"Senja? Ada apa ini?" tanya Damar, suaranya serak sedang mencoba menahan gairah yang perlahan muncul.
Senja berdiri, meraih tangan Damar. "Aku menelponmu hari ini karena aku ingin kau tahu, aku sudah siap, Damar," kata Senja, menatap mata suaminya dengan penuh tekad. "Aku tidak ingin kau tidur di sofa lagi. Aku tidak ingin ada lagi yang tertunda di antara kita."
Damar memegang bahu Senja, matanya penuh air mata haru. "Kau tidak harus melakukan ini. Aku akan menunggu—"
"Aku ingin," potong Senja, kini lebih tegas. "Aku ingin melakukan ini karena aku mencintaimu, dan karena aku ingin menunjukkan betapa bersyukurnya aku. Kau menunggu, kau melindungi, kau membiayai penyembuhanku. Aku menyerahkan diriku seutuhnya, Damar. Bukan sebagai kewajiban, tapi sebagai istri yang mencintaimu."
Damar menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha untuk menahan gairahnya ia tidak ingin terburu-buru, ia mematikan lilin, menyisakan hanya cahaya kecil di sudut.
"Terima kasih, Sayang," bisik Damar.
Ia mencium Senja dengan kelembutan, namun kini ada gairah yang lama ia tahan. Senja membalas ciuman itu, tidak lagi kaku, tetapi menunjukkan kerelaan yang jujur.
Saat mereka berbaring, Damar memastikan setiap sentuhannya memberikan rasa aman, bukan ketakutan.
"Kau sangat indah," bisik Damar, suaranya berat, sambil membelai pipi Senja.
"Aku takut..." bisik Senja, meskipun matanya menunjukkan kepercayaan.
"Jangan takut," jawab Damar lembut. "Lihat aku. Aku tidak akan menyakitimu. Kau di sini bersamaku. Hanya ada kita, di rumah ini. Kau nyaman?"
Senja mengangguk, memeluk Damar lebih erat. "Aku nyaman. Aku percaya padamu."
Momen keintiman itu menjadi klimaks dari proses pengobatan Senja. Setiap sentuhan yang awalnya terasa asing, kini menjadi konfirmasi bahwa tubuhnya adalah miliknya, dan ia aman dalam pelukan suaminya.
"Aku mencintaimu Damar" desah Senja, suaranya qpenuh gairah.
"Aku mencintaimu lebih dari itu," balas Damar, suaranya sarat gairah. "Aku sudah menunggumu, Sayang. Kau benar-benar layak mendapatkan kebahagiaan ini."
Keintiman malam itu ditandai oleh kelembutan, kesabaran, dan percakapan ringan yang terus memastikan kenyamanan Senja. Bagi Damar, ini adalah malam kemenangan moral dan cinta. Bagi Senja, ini adalah akhir dari trauma, dan babak baru yang penuh kepercayaan.
Pagi harinya, Senja terbangun dalam pelukan Damar. Ia tidak hanya merasa aman, tetapi juga damai dan utuh.
"Selamat pagi, Istriku yang paling berani," bisik Damar, mencium keningnya.
"Selamat pagi, Suamiku," balas Senja.
"Malam tadi adalah hadiah terindah, Senja," kata Damar tulus. "Aku berjanji padamu: Apapun yang terjadi ke depannya, ancaman Paramita, masalah utang, atau cobaan, aku akan selalu berada di sisimu. Kita hadapi semua bersama. Kau sudah tidak sendiri lagi, kau milikku, seutuhnya."
Senja membalas pelukannya, memejamkan mata. "Aku juga berjanji. Aku akan setia seutuhnya padamu, Damar. Terima kasih sudah menungguku pulang."
"sama-sama sayang, bagaimana kalau kita mengulang yang semalam rasanya aku belum puas menikmati milikmu itu sayang" ujar Damar yang sudah menidih Senja dan menyembunyikan kepalanya di leher Senja.
Damar berusaha untuk membangkitkan gairah Senja dan mengulang adegan semalam. Damar membuat banyak tanda cinta di leher sang istri
"ah.. " tanpa sadar ternyata suara indah itu lolos dari mulut Senja dia sangat menikmati permainan Damar.
hingga akhirnya pagi itu mereka mengulang lagi adegan ninaninu di atas ranjang, dan mungkin di kamar mandi....
(skip adegan ninaninu bayangin sendiri atau lakuin sendiri dengan pasangan halal kalian masing-masing ya)
Damar dan Senja menatap masa depan sebagai pasangan yang benar-benar utuh, siap menghadapi tantangan yang pasti akan datang.