"Kehilangan terbesar adalah kehilangan yang terjadi lagi setelah kehilangan yang sebelumnya. Karena itu menandakan kita selalu kehilangan lagi, lagi dan lagi."
Season : I ....
જ⁀➴୨ৎ જ⁀➴
“Kamu udah nyerah satu tahun yang lalu!” gertak Ernest.
“Itu dulu, sekarang beda!” Kakiku pun mengetuk lantai, dan kami berdiri saling berhadapan.
“Terserah! Aku enggak mau harga diriku kamu injak-injak!”
“Kamu masih sayang sama aku kan, Ernest?”
Dia enggak berkedip sedikitpun. “Tandatangani aja suratnya, Lavinia!!!”
“Gimana kalau kita buat kesepakatan?”
“Enggak ada kesepakatan. Tandatangani!!”
“Mama kasih aku dua bulan di sini. Aku janji, dua bulan lagi ... apa pun yang terjadi ... mau ingatan aku pulih atau enggak ... kalau kamu masih pingin cerai, aku bakal tandatangani! Tapi please ba—”
“Udah, lah!! Aku jemput kamu jam sembilan, Sabtu pagi!” dengusnya sambil membanting pintu.
Aku ambil surat cerai itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Aku enggak akan tanda tangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I. Liquor Lounge
...୨ৎ E R N E S T જ⁀➴...
Hari ini kita lagi nongkrong di Bar-nya kakakku, Liquor Lounge. Mereka semua sedang membicarakan nama bir mereka yang baru, dengan nama Lavinia.
"Namanya Lavinia Takes Flight," kata si Leo sambil taruh lima gelas kecil di depan Lavinia.
Lavinia melirikku, terus bertanya ke Leo, "Maksudnya, kamu mau kasih nama aku ke salah satu bir ini?"
Aku langsung geleng-geleng. "Sialan, kalian tega amat, sih."
Leo langsung menyeringai. "Apaan, sih kamu ngomong apaan?"
"Lavinia Takes Flight, itu artinya ... dia meninggalkan kota? Berarti dia bakalan pergi dong!"
Leo tersenyum makin lebar. "Lah, goblok. Itu maksudnya bir Flight, tahu! Ada lima rasa."
Aku langsung menunduk, malu sendiri.
Lavinia memperhatikanku, keningnya berkerut. "Ya ampun."
Leo melanjutkan, "Pokoknya kita udah minta tukang buat bikin papan nama kayu di tempat bir-nya."
Lavinia langsung taruh tangan di dada, menyeringai ke arahku terus ke mereka. "Aww ... so sweet banget!"
Dia peluk mereka berdua.
"Ini bakal jadi hits di musim liburan ini," kata Leo sambil menunjuk gelas pertama. "Kamu cobain Razzle Dazzle, Naked Digger, Melting Heart, Limp Donkey, sama No Stout For You."
Aku tersenyum, "Mereka tuh sengaja bikin bir musiman, biar bisa bereksperimen terus."
"Padahal tadinya mau dinamain Mind-Eraser, tapi ya enggak jadi. Terus karena Lavinia mau nyobain satu-satu, kita dapet ide, deh," kata Silas.
"Eh, tapi sebenarnya Marlin yang punya ide duluan," sela Leo.
Silas melotot. Aku merasa dia mau bicara sesuatu, tapi tertahan. Kalau Leo main api sama Marlin, bisa perang dunia ketiga. Inggrid yang bakal bawa golok.
"Aku suka yang ini!" kata Lavinia sambil menyeruput Melting Heart.
"Itu punya aku sama Rosemary," kata Silas, tersenyum.
"Bukan! Itu bir untuk kuat duet di atas ranjang," protes Leo.
"Ya tapi aku yang bikin buat dia!"
Mereka berdua langsung ribut.
Aku cuma tersenyum, "Mereka tuh enggak pernah capek debat soal bir." Aku lihat gelas Melting Heart di tangan Lavinia. "Itu best seller tahun lalu."
"Aku suka rasa aprikotnya," kata Lavinia setelah minum.
Aku langsung condong, menciumnya. "Eh, aku kepikiran sesuatu, sini deh ..." Aku mulai obrolan yang selama ini membebani kepalaku. "Kita harusnya ngomongin masa depan, sih."
Dia memutar badannya saat kutarik dia duduk di pojokan, agak jauh dari pelanggan lain.
"Masa depan kayak gimana?"
"Ya kamu masih tinggal sama aku. Nama kamu juga masih pakai nama keluarga aku. Minggu depan udah dua bulan sejak kita bikin kesepakatan itu."
Aku ingat momen di mana waktu dia menolak untuk menandatangani surat cerai. Sudah sejauh itu kita berlalu.
"Kayaknya udah waktunya mikirin masa depan, anggap aja memori kamu enggak kembali."
Dia memutar-mutar gelas di tatakan. "Kalau kembali gimana?"
"Ya kita hadapin bareng. Toh kita udah beda sekarang. Kita obrolin ... jalanin. Aku cuma pingin kita bangun kehidupan sama-sama lagi."
"Kamu suka anak kecil enggak?" Mata dia membulat, tapi ada senyum kecil juga.
Aku tersenyum. Dalam hati sih, aku iri juga melihat Krisna sama anaknya setiap kali bertemu.
"Belum pingin banget, sih. Aku lebih pingin kamu balik mengajar dulu. Tapi kalau emang itu yang kamu mau, kita bisa rencanain nanti."
Dia berpikir.
Aku sudah siap-siap kalau dia bilang belum siap.
"Aku mulai bosen di rumah. Makin nyoba ingat, makin frustasi. Dokter Zulhan bilang, memori itu bisa aja nggak kembali. Dan minggu lalu dia bilang, mungkin aku harus terima dan mulai jalani hidup baru."
"Jadi gimana?" Dia putar gelasnya pelan, matanya memperhatikan cairannya. "Apa yang kamu pikirin?" tanyaku.
Dia gigit bibir bawah, memperhatikanku. "Ini berarti kamu bakal pindah ke kamar kita dulu lagi?"
Aku tarik napas panjang sambil mengusap rambut. Untuk membantunya move on, aku juga harus berani. Biarpun kamar itu menyakitkan banget rasanya untukku.
"Iya."
"Bukan cuma buat tidur aja ... Baju kamu juga pindah. Barang-barang kamu juga!"
Aku mengangguk. "Oke. Aku siap."
Dia tersenyum. "Oke. Jadi kita benar-benar mulai dari nol lagi, ya?"
Aku taruh tangan di belakang lehernya, mengusapnya pelan. "Iya. Kita mulai lagi."
Aku tarik dia, cium dalam-dalam, agar semua orang di restoran melihat kita, kalau aku akhirnya berhasil kembali ke tempat yang memang harusnya jadi tempat aku.
...જ⁀➴୨ৎ જ⁀➴...
Malam ini, Lavinia sedang memasak. Aku angkut semua baju sama gantungannya, turun ke kamar kita, dan langsung menggantungkannya di lemari. Dia sudah bereskan semua kardus dan menaruhnya di lemari dekat ruang tengah.
Aku bilang ke dia kalau aku baru saja saja selesai menaruh baju ke lemari waktu mataku melirik ke arah ranjang.
Aku langsung tutup mata, tapi kenangan tentangnya malah makin jelas muncul di kepalaku.
Dulu ....
Waktu itu kita sempat pergi ke Panti jompo ke acara kelas melukis. Aku tadinya malas banget untuk pergi, tapi dia memaksa. Katanya dia sudah janji. Jadi ya, aku ikuti saja. Tapi aku merasa ada yang aneh sama dia.
Awalnya kupikir dia lagi 'datang bulan' atau mungkin capek. Soalnya dia makin sering menggandeng tanganku, masih sempat cium pipi. Bahkan, kita masih sempat berhubungan badan, walau dia terlihat lebih emosional dari biasanya.
Dan paginya .... aku bangun dan dia sudah rapi, koper sudah siap, air mata sudah menetes ke pipinya.
“Kamu kenapa?” tanyaku.
Pikiranku langsung ke hal buruk. Aku kira keluarganya kenapa-kenapa.
“Ernest, aku gak tahu harus mulai dari mana,” katanya sambil menarik koper di dekat pintu kamar. Dan jantungku langsung anjlok. Awal kalimat seperti itu, jarang banget berakhir dengan hal baik. “Aku udah enggak bahagia lagi.”
“Hah? Maksud kamu apaan?”
Dia berkedip pelan, menarik napas panjang, “Aku udah enggak bahagia sama kamu, dan aku ... mau kita pisah!”
“Kamu ... hah ... ninggalin aku?” Aku langsung singkirkan selimut, dan bengong.
Dia mengangkat tangan, memberi isyarat untuk jangan maju. “Aku udah mutusin ini. Susah juga buat aku, tapi kita nikah karena terpaksa, dan sekarang ... aku enggak mau hidup kayak gini lagi.”
Aku merasa seperti ada gada yang menghantam dadaku. Aku mati rasa. “Hidup kayak gini?”
“Kamu dan aku ... Palomino ... Aku pingin ngerasain hidup yang lebih baik lagi, dan itu gak bisa aku dapetin di sini. Aku harus pergi, Ernest.”
Aku geleng-geleng. “Kamu ngomong apaan sih, Lavinia?”
Air mata mengucur lagi dari matanya, dan aku buru-buru bangun dari ranjang. Tapi dia mundur.
“Please, jangan!” Dia mundur selangkah. “Aku enggak bisa terus-terusan kayak gini, Ernest. Maaf. Ini yang terbaik.”
Dia dorong koper keluar rumah. Aku buru-buru ambil celana pendek, terus keluar kamar untuk mengejarnya. Tapi pintu depan sudah dikunci. Saat aku buka, dia sudah masuk mobil, dan tancap gas.
Aku duduk di tangga, bengong hampir sejam, menunggu dia kembali. Tapi dia enggak pernah kembali. Aku telepon ratusan kali. Enggak diangkat. Chat juga enggak dibaca.
Dan saat itu, aku sadar ... dia benar-benar pergi. Dan dia enggak akan kembali.
Sekarang ....
“Hey ... lowwww,” suara Lavinia muncul saat dia masuk kamar, memeluk pinggangku dari belakang. “Udah semua? Pindahannya udah beres?”
Dia menyandarkan pipinya ke dadaku, dan aku langsung peluk dia. Aku ingin banget bisa melupakan semuanya seperti dia, tapi aku enggak bisa.
“Makan malam udah siap,” katanya, memperhatikanku sambil mengernyit. “Kamu kenapa?”
Aku ingat kalau kita sudah sepakat untuk selalu jujur. Jadi aku bilang, “Ada alasan kenapa aku malas banget buat masuk kamar ini.”
“Kenapa?”
“Di sini ... tempat kamu bilang mau pisah dari aku.”
Dia langsung tertegun. “Oh. Ernest, kalau kamu—”
Aku langsung cium dia. “Enggak. Aku pingin bikin kenangan baru di sini. Besok pagi aku bakal lebih baik, aku yakin.”
"Kamu yakin?”
Aku mengangguk. “Iya.”
Dia duduk di pinggir ranjang. “Aku harus ngomong sesuatu.”
Aku langsung tegang dengan menyilangkan tangan. “Apa?”
“Kamu ingat malam-malam kita di Panti Jompo?” Dia gigit bibir.
“Iya.”
“Jadi, Bu Lusianah tuh tempat curhat aku dulu. Dia pernah bilang kalau aku suka banget rencanain malam-malam itu buat kamu biar bisa menggambar lagi.”
Aku lepas tangan, memelototinya. Enggak mengerti.
“Dia cerita sesuatu malam itu. Aku mikir, jangan-jangan itu salah satu alasan aku pergi. Dia juga bilang ada orang penting kenalannya dari dunia seni yang mau hubungin kamu, tapi kamu gak pernah bales. Bisa aja itu pemicunya.”
Aku agak ingat sih, kalau ada yang menelepon. Tapi waktu itu aku lagi di fase marah, jadi aku bentak dan mematikannya.
“Serius?”
Dia mengangguk. “Maaf. Aku harusnya bilang dari awal. Tapi aku pingin nyari tahu dulu. Aku nemu catetan di jurnal aku. Aku ingat kamu berhenti gambar sekitar setahun setelah kita nikah. Dan aku pikir, kamu enggak seharusnya hilangin sisi itu dari diri kamu. Makanya aku bikin acara di Wisma Sentosa. Kamu marah enggak?”
Aku buang napas dan menggeleng. “Enggak. Aku enggak marah.” Aku duduk di samping dia, pegang tangannya. “Aku kan udah bilang, gambar itu bukan mimpi yang harus aku kejar. Aku bahagia, Sayang, sumpah.”
Dia melotot. “Apa? Kamu manggil aku Sayang.”
Aku tersenyum. Aku enggak sadar tadi bicara begitu. Tapi rasanya benar.
“Kamu enggak harus ngerasa bersalah karena aku milih bertahan di sini. Aku ada di tempat yang aku mau.”
Aku elus pipinya.
“Aku harap itu bukan alasan aku ninggalin kamu dulu. Maksud aku, kenapa juga aku harus gitu?”
“Nanti aja, ya kita omongin lagi,” kataku, menundukkannya untuk rebahan. Dia nurut, naik ke ranjang, dan aku pun menyusul. Bibirku langsung menemukan bibirnya, “Waktunya ngetes kasur ini lagi.”
Tangannya menahan pipiku, mata kita pun bertemu.
“Apa yang udah aku lakuin sampai bisa dapetin kamu dua kali?”
“Kayaknya kita berdua emang lagi beruntung aja.”
Dia menarik wajahku, dan kita ... ya, menyambung lagi apa yang sempat terputus. Makan malam, sih gagal, tapi yang aku ingin santap sebenarnya memang bukan makanan. Aku ingin menyantap Lavinia.