Melodi terpaksa menerima perjodohan yang sebenarnya ditujukan untuk kakaknya. Ia dinikahkan dengan Gilang, gitaris sekaligus vokalis terkenal berusia 32 tahun—pria dingin yang menerima pernikahan itu hanya demi menepati janji lama keluarganya.
Sebelum ikut ke Jakarta, Melodi meminta sebuah perjanjian pribadi agar ia tetap bisa menjaga batas dan harga dirinya. Gilang setuju, dengan satu syarat: Melodi harus tetap berada dekat dengannya, bekerja sebagai asisten pribadinya.
Namun sesampainya di Jakarta, Melodi mendapati kenyataan pahit:
Gilang sudah memiliki seorang kekasih yang selalu berada di sisinya.
Kini Melodi hidup sebagai istri yang tak dianggap, terikat dalam pernikahan tanpa cinta, sambil menjalani hari-hari sebagai asisten bagi pria yang hatinya milik orang lain. Namun di balik dinginnya Gilang, Melodi mulai melihat sisi yang tak pernah ditunjukkan sang selebritis pada dunia—dan perasaan yang tak seharusnya tumbuh mulai muncul di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santisnt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Daleman
Melodi mengembuskan napas panjang setelah dinasihati ibunya. Dengan sangat terpaksa, ia membuka pintu lebih lebar dan membiarkan Gilang masuk ke kamarnya.
Gilang langsung masuk sambil senyum lebar, seperti baru menang lotre.
“Nah gitu dong, suami diizinin masuk kamar.”
Nada bangga banget.
Melodi melotot.
“Bodoh.”
Ia hendak lewat menuju kamar mandi, tapi Gilang langsung menghalangi pintu.
“Gue duluan.”
Melodi berhenti mendadak.
“Hah? Kenapa lo dulu?”
Gilang mengangkat tangan, menunjuk dirinya sendiri.
“Tadi kan lo udah mandi pas sampai rumah. Lah gue? Dari pagi, Mel. Dari. Pagi. Sumpah gerah banget.”
Melodi menyipitkan mata.
“Terserah gue lah mau mandi berapa kali. Apa urusannya sama lo?”
Gilang mendekat sedikit, masih dengan wajah memelas tapi menyebalkan.
“Iya tau, iya tau… gue duluan deh. Sumpah, gerah parah.”
Melodi mendecak keras, akhirnya mengalah sambil ngibrit mundur.
“Dasar…”
Gilang sudah memegang gagang pintu kamar mandi.
Ia menoleh dengan cepat.
“Dasar apa? Kok nggak dilanjutin?”
Alis terangkat, mau menang.
Melodi tersenyum tipis senyum kemenangan.
“Dasar gila. Dasar jelek.”
Setelah mengucapkannya dengan penuh kepuasan, ia langsung berbalik dan jalan pergi.
Pintu kamar mandi mengeluarkan suara klik saat Gilang menutupnya.
Melodi tidak punya niat sedikit pun menunggu Gilang selesai mandi.
Begitu pintu kamar mandi tertutup, ia langsung mengambil handuk, baju ganti, dan perlengkapan mandi travel-size yang selalu ia siapkan di tas kecil.
Tanpa suara, ia keluar kamar—lurus saja, malas lihat wajah Gilang.
Di lorong, ia bertemu ibunya yang sedang menuju dapur.
“Nak, mau mandi? Kok nggak di dalam?” tanya ibu heran.
Melodi menjawab sejujur-jujurnya, tanpa beban.
“Iya, ada Gilang.”
Ibu langsung memijit pelipis.
“Kok masih ‘Gilang’ sih, Nak? Panggil yang sopan.”
Melodi mengedip sebentar.
“Sopan itu, Buk. Namanya kan Gilang. Ya bener dong panggil Gilang.”
Ibu menghela napas panjang, setengah frustasi.
“Maksud ibu itu… kasih tambahan. Mas Gilang kek, Bang Gilang kek, atau ‘sayang’, ‘ayang’… apa gitu, Nak.”
Melodi langsung berhenti langkah.
Menatap ibunya dengan ekspresi nggak mungkin banget terjadi.
“Udahlah, Buk. Ribet. Mau mandi dulu, nanti keburu ketinggalan salat Magrib.”
Ia cepat-cepat berbalik dan masuk ke kamar mandi belakang.
Gilang keluar dari kamar mandi sambil mengencangkan handuk di pinggangnya. Rambutnya masih basah, air menetes ke lantai.
“Baju gue mana ya…” gumamnya sambil celingak-celinguk.
Ia baru sadar…
Melodi nggak ada di kamar.
“Bocil kematian kemana ya? Keluar kali…”
Ia mengedikkan bahu.
“Ngapain juga gue cari tuh bocah. Mending cari baju.”
Gilang pun membuka lemari Melodi—yang jelas bukan tempat baju dia.
Tapi karena tidak tahu aturan kamar, dia asal buka saja.
Saat tangannya menggeser pakaian Melodi, ia melihat sekilas barang-barang pribadi yang sangat bukan untuk tontonan suami baru yang tidak diundang.
“Oh ya ampun…”
Gilang langsung menutup mata sebentar, kaget campur malu tapi juga ngakak dalam hati.
Ia masih sibuk mencari baju sambil memegang pintu lemari, handuk nyaris melorot, ketika—
KREEEEK.
Pintu kamar dibuka dari luar.
Melodi masuk dengan handuk kecil di kepala, baju bersih, dan langsung membeku melihat pemandangan di depan:
Gilang.
Hanya memakai handuk.
Dan berdiri tepat di depan bagian lemari yang paling rahasia.
Melodi refleks teriak.
“YAAAAAA!!!”
Ia langsung menutup pintu kamar keras-keras.
Teriakan itu membuat Gilang loncat kecil, refleks menutup pintu lemari.
“Ngapain buka lemari gue!? Lo lihat apaan, ha!?” kata Melodi panik, wajahnya memerah antara marah dan malu.
Gilang mengangkat kedua tangan, berusaha menjelaskan.
“Nggak lihat apa-apa! Cuman baju lo doang, sumpah!”
Melodi menunjuk lemari dengan emosi.
“NGGAK USah bohong! Itu bukan tempat baju! Lo lihat daleman gue kan!? Dasar MESUM!”
Gilang makin gugup.
“Lagian cuma daleman doang, bukan barangnya langsung kan—”
“JANGAN NGAREP LU YA!”
Melodi mendekat dengan tatapan pembunuh.
“Ini kamar GUE. Privilege GUE. Lo nggak boleh sentuh, ambil, atau lihat apapun. Denger!?”
Gilang langsung mengangguk cepat.
“Yaudah iya, sorry…” rautnya kesal tapi pasrah.
“Gue buka lemari lo cuma karena cari baju gue dimana.”
Ia menunjuk dirinya… yang baru sekarang Melodi sadari hanya memakai HANDUK.
Melodi langsung refleks teriak lagi.
“AHHHHHHH!!!”
Gilang hampir jatuh saking kagetnya.
“APA SIH TERIAK MULU!?”
Melodi menunjuk Gilang dari kepala sampai pinggang.
“UDAH JELEK, GILA, MESUM, TUA!”
Dengan cepat ia memalingkan wajah, mengambil baju yang ia bawa tadi, dan KABUR keluar kamar.
Pintu ditutup keras.
Gilang berdiri mematung, bingung sendiri.
“Kenapa sih dia…?” gumamnya sambil mengelus wajah, benar-benar heran kenapa istrinya lebih galak dari singa.