NovelToon NovelToon
Dewa Pedang Asura

Dewa Pedang Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Tiandi

Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.

Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.

Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saga 9: Bisikan di Lautan Darah : Janji yang Diselimuti Amarah

Gelap.

Tidak ada langit, tidak ada bumi, tidak ada suara selain detak jantung yang bergetar di ruang tanpa ujung. Liang Chen tidak tahu apakah ia sedang tidur, mati, atau terjebak di antara keduanya.

Udara di sekitarnya seperti kabut hitam yang mengalir perlahan, berat dan dingin, mengisi paru-parunya tanpa memberinya napas. Ia mencoba menggerakkan jarinya, tetapi tubuhnya tak lagi menjawab.

Kemudian, dari jauh, muncul titik cahaya samar, bukan putih, tetapi merah, seperti bara api di dalam kabut. Cahaya itu berdenyut seirama dengan jantungnya, setiap detakan seperti suara palu di dalam dada. Di antara getaran itu, ia mendengar sesuatu: gemerincing halus, seperti logam yang diseret di atas batu.

“Di mana aku…” suaranya tidak keluar. Hanya getaran di dalam pikirannya sendiri. Tapi dunia seolah mendengarnya. Kabut di sekelilingnya bergerak, berubah menjadi pusaran perlahan.

Lalu ia melihat sesuatu.

Dari dalam pusaran itu, muncul wajah, wajah ayahnya, tersenyum seperti di pagi hari yang tenang, tangan yang kuat terulur untuk mengangkatnya dari tanah. “Chen’er, lihat, hari ini kau hampir bisa memecahkan batu dengan palu.” Suara itu lembut, penuh kasih, membuat dada Liang Chen sesak. Ia ingin menjawab, ingin berlari ke arahnya.

Namun dalam sekejap, wajah itu berubah. Senyum itu retak seperti kaca, mata ayahnya memerah, tubuhnya pecah menjadi debu dan api. Darah meledak dari ruang hampa, menetes dari langit yang tak terlihat. Liang Chen menjerit, tetapi jeritannya tenggelam di dalam air.

Lalu ibunya muncul. Rambutnya yang dulu hitam kini kusut, wajahnya ditutupi abu. Ia berlutut di hadapan Liang Chen, membawa mangkuk kayu di tangannya. “Chen’er… makanlah,” katanya lembut, tapi suaranya bergema seribu kali, memantul dari segala arah.

Liang Chen meraih tangannya, namun jari-jari ibu itu perlahan mencair seperti lilin, berubah menjadi darah. Cairan merah itu menetes ke tanah yang tidak ada, membentuk genangan.

Ia menatap ke bawah, dan mendapati dirinya berdiri di atas lautan darah. Setiap langkah menimbulkan riak, setiap riak membawa wajah-wajah orang desa yang ia kenal: paman pembuat arit, anak kecil yang suka berlari di tepi sungai,

wanita tua yang sering membawakan kue. Semua wajah itu menatapnya, dengan mata kosong dan bibir terbuka, mengeluarkan bisikan yang sama.

“Hiduplah…”

“Hiduplah…”

Suara itu bergema terus, berubah dari lembut menjadi sumbang, dari sumbang menjadi jeritan. Liang Chen menutup telinganya, tapi suara itu menembus kulit, menembus tulang, mengalir ke dalam pikirannya.

Ia berlutut, menunduk ke permukaan darah, dan melihat bayangannya sendiri. Namun bayangan itu tidak seperti dirinya, mata di pantulannya berwarna merah, berputar perlahan seperti pusaran.

Dari bayangan itu, suara baru muncul. Dalam, berat, dan kuno. Tidak seperti manusia.

“Kau mendengar mereka, bukan?” Suaranya tidak berasal dari luar, melainkan dari dalam dada Liang Chen sendiri. “Mereka berkata padamu untuk hidup. Tapi apakah kau tahu apa artinya hidup?”

Liang Chen mengangkat kepala, tetapi sekelilingnya tetap gelap. Suara itu tertawa, rendah dan panjang, seperti logam yang beradu.

“Hidup adalah perlawanan terhadap mati. Dan kau sudah mati sekali, bocah kecil.”

Ia mencoba menolak, berteriak, tapi darah dari laut itu naik, melingkari tubuhnya seperti rantai. Suara itu terus berbicara.

“Kau menolak kekuatan Langit, dan Langit menolakmu. Dunia fana menertawakan kelemahanmu. Sekarang mereka semua mati. Dan siapa yang tersisa?”

Liang Chen menunduk. Di dalam genangan darah itu, ia melihat refleksi ibunya lagi, kali ini dengan mata kosong dan bibir terkatup rapat. Ia ingin menjawab, tapi suaranya tidak bisa keluar.

“Tidak ada yang tersisa,” lanjut suara itu, lembut namun mematikan. “Kau sendiri. Kau, darahmu, dan aku.”

Suara itu berhenti sejenak, lalu berubah menjadi bisikan yang lebih lembut. “Aku sudah menunggu. Aku adalah kekuatan yang lahir dari perlawanan.

Aku adalah amarah yang tidak bisa diredam. Aku adalah pedang yang tak akan berkarat.”

Lautan darah di bawah Liang Chen mulai bergolak. Gelombang merah naik, menelan tubuhnya perlahan.

Ia mencoba berenang, tapi setiap gerakan menariknya lebih dalam. Darah itu dingin, tapi di bawahnya, ada panas, panas yang memanggilnya pulang.

“Datanglah,” kata suara itu. “Kita akan hidup. Bukan dengan cahaya, tapi dengan darah.”

Liang Chen menutup matanya, tenggelam.

Liang Chen jatuh tanpa henti, tapi tidak ada dasar di bawahnya. Lautan darah yang menelannya kini berubah menjadi langit terbalik, dan dari langit itu, hujan merah turun deras, mengucur tanpa arah.

Tubuhnya berputar di antara dua dunia, antara kesadaran dan kehampaan, antara manusia dan sesuatu yang belum punya nama.

Suara itu kembali, kali ini lebih dekat, seolah berbicara tepat di telinganya. “Kau mencintai mereka,” katanya perlahan. “Kau mencintai kedamaian itu. Tapi kedamaian telah menelantarkanmu.”

Liang Chen menatap kegelapan di depan matanya. “Aku hanya ingin hidup damai,” katanya lirih. “Aku hanya ingin melindungi mereka.”

“Tapi mereka mati,” suara itu menjawab cepat, menembus hatinya seperti belati. “Mereka mati, karena kau tidak cukup kuat. Kau punya tangan, tapi tangan itu tak mampu menggenggam pedang Langit. Dunia ini tidak menyisakan tempat untuk orang baik.”

Setiap kata menimbulkan gelombang di dalam pikirannya, menciptakan riak merah di sekitar tubuhnya. Di kejauhan, ia melihat bayangan Elder Sekte Raja Naga Berdarah berdiri di atas lautan darah, dengan tangan yang meneteskan hitam.

Elder itu tertawa. Tawa itu memecah udara, membuat Liang Chen menutup telinganya, tapi suara itu tetap masuk.

“Lihatlah musuhmu,” kata Bisikan itu. “Ia berjalan di dunia nyata, menghisap darah orang tuamu dari tanah ini. Kau ingin menunggu Langit menurunkan keadilan? Langit tidak pernah turun. Langit hanya menatap dari jauh.”

Liang Chen menggigit bibirnya hingga berdarah. “Aku… aku tidak ingin membunuh siapa pun.”

Suara itu terdiam sejenak, lalu tertawa, panjang, keras, dan getir. “Tidak ingin membunuh? Kau sudah hidup di dunia yang dibangun dari pembunuhan.

Dari tetes pertama darah yang jatuh di dunia ini, semua kekuatan terlahir dari kematian. Kau ingin mengubahnya? Kau tidak bisa.”

Bayangan di sekitar Liang Chen mulai berubah. Ia tidak lagi berada di lautan darah. Sekarang ia berdiri di padang hitam yang retak, dengan gunung-gunung menjulang di kejauhan.

Langit di atasnya berwarna merah gelap, berputar seperti pusaran raksasa. Di tengah pusaran itu, mata merah raksasa terbuka, memandang ke bawah.

Liang Chen merasakan lututnya melemah. Pemandangan itu menindihnya, membuat dadanya sesak. Tapi ia tetap menatap balik. “Siapa kau sebenarnya?”

Suara itu bergema dari segala arah, namun kini terdengar manusiawi, hampir lembut. “Aku adalah sisa dari mereka yang tak diakui. Aku adalah jeritan pertama para dewa yang dibuang. Aku adalah api di dalam darahmu, Liang Chen. Aku adalah Asura, dan aku telah menunggumu.”

Nama itu mengguncang langit batinnya. Liang Chen menatap tangan kanannya. Urat-uratnya menyala merah samar, seperti bara di bawah kulit. Suhu di sekelilingnya meningkat. Ia bisa mendengar suara gemeretak dari dalam tulangnya sendiri, seolah sesuatu sedang bangkit.

Asura berbicara lagi. “Dunia ini adalah belenggu. Jalan Panjang Umur yang mereka agungkan hanyalah rantai yang mengikat jiwa agar tunduk. Aku bisa membebaskanmu. Tapi kau harus menerima dirimu yang sebenarnya. Kau harus melepaskan amarahmu.”

Liang Chen terdiam lama. Dalam diam itu, ia mendengar kembali suara ibunya, lembut dan bergetar: “Hiduplah…” Dan di baliknya, suara ayahnya yang berat dan hangat: “Keteguhan.” Dua suara itu bersaing dengan suara Asura di dalam dadanya.

Ia berlutut, menutup matanya, mencengkeram rambutnya sendiri. “Aku tidak ingin menjadi iblis,” gumamnya.

“Asura bukan iblis,” jawab suara itu cepat, penuh keyakinan. “Asura adalah manusia yang berhenti menipu dirinya sendiri. Mereka yang melihat dunia tanpa tabir.”

Kata-kata itu bergema seperti mantra. Liang Chen mengangkat kepalanya. Langit merah di atasnya berdenyut, dan mata raksasa itu semakin terbuka. Cahaya merahnya menembus tubuh Liang Chen, masuk ke dalam luka di dadanya, membakar dari dalam.

Rasa sakit itu tak tertahankan. Tapi di tengah rasa sakit itu, ia melihat wajah ibunya lagi. Kali ini bukan dalam kesedihan, melainkan dalam cahaya samar yang tenang. “Chen’er… lindungilah apa pun yang tersisa.”

Suara Asura mendengus, “Dan untuk melindungi, kau harus menghancurkan.”

Liang Chen terjatuh, tubuhnya menggigil hebat. Ia memegang dadanya, di mana cahaya merah dan putih berputar seperti dua arus yang bertabrakan.

Asura mendorong lebih keras. “Kau punya pilihan,” katanya. “Menjadi abu seperti mereka, atau menjadi api yang menghanguskan semuanya.”

Liang Chen membuka matanya. Dalam kegelapan itu, pupilnya memantulkan dua warna, hitam dan merah—bercampur dalam satu garis yang berputar.

“Aku… tidak ingin api itu membakar cahaya mereka,” katanya pelan. “Tapi aku akan membiarkan api itu membakar dunia yang mengambil mereka dariku.”

Langit merah bergetar. Asura tertawa puas. “Itu sudah cukup.”

Di kejauhan, suara petir tanpa kilat mengguncang udara. Liang Chen berdiri perlahan. Tubuhnya masih fana, tapi di dalam dirinya, sesuatu mulai terbentuk: mata merah kecil berputar lambat di balik kelopak matanya.

Dunia batin Liang Chen berguncang. Langit merah yang berputar perlahan pecah seperti cermin kaca, dan seluruh pusaran darah terhisap ke satu titik di dadanya.

Suara Asura memudar menjadi gema samar, namun masih berdenyut di bawah kulitnya, seperti napas kedua yang tak bisa diusir.

Ia berdiri di padang yang kini hening. Hujan darah telah berhenti. Di bawah kakinya, tanah hitam merekah, memperlihatkan sungai merah mengalir di kedalaman, bergerak menuju sesuatu yang tak terlihat.

Ia tahu sungai itu bukan di luar dirinya. Itu adalah meridiannya yang terbuka, jalur baru yang lahir bukan dari Langit, melainkan dari kehancuran.

Ia menatap ke atas. Langit gelap mulai retak, dan cahaya putih samar menembus celahnya. Cahaya itu bukan cahaya Langit sejati, melainkan pantulan dari dunia fana. Liang Chen menarik napas panjang, lalu menutup matanya.

Saat matanya terbuka kembali, dunia batinnya lenyap.

Ia terbangun di dunia nyata, tergeletak di antara abu dan batu. Udara berbau besi, dingin, dan pekat oleh sisa pembantaian. Dari tubuhnya, uap merah kehitaman naik perlahan, memantul di cahaya fajar yang buram.

Luka di dadanya masih terbuka, tapi daging di sekitarnya sudah mulai tumbuh kembali, seolah darahnya menolak mati.

Tangan kanannya bergerak perlahan, menyentuh tanah. Tanah itu hangat, bukan karena api, tapi karena darah yang belum kering. Liang Chen mendengar sesuatu, bisikan yang datang dari dalam bumi. Bukan suara manusia, melainkan gema energi yang telah terserap ke tubuhnya.

Ia menunduk, melihat Pedang Tumpul di sebelahnya. Bilahnya gelap, dingin, tetapi di gagangnya, pola bintang berdarah yang dulu samar kini bersinar samar merah. Liang Chen meraih pedang itu. Begitu tangannya menyentuhnya, kilatan merah mengalir dari jari-jarinya ke logam tumpul itu. Pedang itu bergetar pelan, seperti hewan yang mengenali tuannya.

Ia menggenggam erat, lalu menarik napas panjang. “Kesunyian…” bisiknya, meski tidak tahu kenapa kata itu muncul di kepalanya. “Kesunyian Malam.”

Saat namanya terucap, pedang itu memancarkan cahaya merah samar. Tidak tajam, tidak bersinar terang, tapi hidup. Liang Chen menatapnya lama, lalu menunduk. “Kita sama,” katanya pelan. “Kita berdua tumpul, tapi tidak mati.”

Langit di atasnya perlahan berubah warna. Fajar telah tiba, namun cahaya matahari yang menembus awan tampak redup dan pucat, seolah dunia pun enggan menyentuh tempat ini.

Liang Chen berdiri perlahan, tubuhnya masih gemetar. Setiap gerakan menimbulkan rasa sakit yang menembus tulang, tapi ia tidak mengeluh.

Ia memandangi desanya, atau apa yang tersisa darinya. Rumah-rumah berubah menjadi kerangka arang. Sungai yang dulu jernih kini hitam dan berbau darah. Tidak ada kehidupan. Tidak ada burung, tidak ada angin.

Tapi di tengah kesunyian itu, terdengar langkah. Ringan, pelan, tapi jelas. Liang Chen memutar tubuhnya. Dari balik kabut abu, muncul tiga bayangan.

Wajah mereka kotor, mata mereka berkilat oleh keserakahan. Preman-preman yang dulu kabur, kini kembali. Mereka membawa kantong kulit, kapak kecil, dan wajah yang penuh sinis.

“Lihat,” kata salah satunya, menunjuk Liang Chen. “Bocah itu masih di sini. Aku pikir dia sudah mati.”

Yang lain tertawa kecil. “Lihat tubuhnya… bahkan binatang pun tak akan hidup setelah itu. Tapi lihat dadanya—ada cahaya di situ. Itu pasti artefaknya.”

Langkah mereka semakin dekat. Liang Chen tidak bergerak. Ia hanya berdiri, memegangi pedang di tangannya. Matanya masih tertunduk, tapi napasnya menjadi dalam dan berat.

Preman ketiga, yang paling muda, mengangkat kapaknya tinggi-tinggi. “Kita ambil saja kepalanya dulu. Kalau dia masih hidup, biar cepat selesai.”

Saat kapak itu meluncur ke bawah, waktu seolah berhenti. Udara di sekitar Liang Chen mendadak menjadi pekat. Cahaya fajar yang redup tertelan oleh kabut merah yang tiba-tiba muncul.

Preman itu menatap ke depan, tapi apa yang ia lihat bukan lagi bocah berdarah, melainkan sosok yang berdiri diam dengan mata tertutup dan aura merah pekat yang menyelimuti tubuhnya.

Lalu, matanya terbuka.

Mata itu merah menyala, berputar perlahan, membawa pola pusaran hitam di dalamnya, Mata Asura. Tidak ada kilatan amarah di sana, hanya kehampaan yang begitu dalam hingga membuat dunia di sekitarnya tampak suram.

Dalam pantulan mata itu, preman-preman melihat lautan darah, wajah mereka sendiri tenggelam di dalamnya. Mereka ingin berteriak, tapi tenggorokan mereka membeku.

Liang Chen mengangkat kepalanya, perlahan. Tidak ada kata yang keluar dari bibirnya, tapi udara di sekitarnya bergetar. Tanah di bawah kakinya retak, dan uap merah naik semakin tinggi. Pedang di tangannya bergetar keras, mengeluarkan suara rendah, seolah ikut menahan napas.

Cahaya merah dalam matanya berputar sekali, lalu berhenti. Dalam sekejap, kabut darah yang tipis berubah menjadi pusaran, membentuk cincin di sekelilingnya.

Lautan darah yang dulu hanya hidup di pikirannya kini mulai menjalar keluar, mengubah udara menjadi berat, dan dunia di hadapannya menjadi sunyi total.

Bab berakhir pada saat Liang Chen menatap ketiga preman itu, tanpa emosi, tanpa kata.

Mata Asura berputar perlahan, seolah baru saja terbangun dari tidur panjangnya.

Dan dari kejauhan, angin membawa bisikan terakhir dari suara purba itu, lembut, namun menusuk:

“Kau sudah memilih, Liang Chen. Sekarang, biarkan dunia belajar arti dari hidupmu.”

1
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lanjutkan 👍👍👍
Nanik S
Hadir
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Tiandi: terimakasih udah mampir kak
total 1 replies
[ZH_FELRIX]™√
semangat berkarya kaka 😄
[ZH_FELRIX]™√: iyah sama sama kaka baik 😄
total 2 replies
Tiandi
Halo semuanya. Saya berharap kalian tidak merasa bosan ketika membaca Dewa Pedang Asura. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan novel berdurasi panjang, jumlah kata setiap bab yang berkisar antara 1500–2500 mungkin terasa melelahkan, terutama karena alurnya bergerak dengan ritme yang cukup tenang. Namun, gaya penyajian tersebut memang mengikuti outline dan struktur arc cerita yang telah saya rancang sejak awal.

Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.

Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!