“Yang hidup akan ditumbuk menjadi pil, yang mati akan dipaksa bangkit oleh alkimia. Bila dunia ingin langit bersih kembali, maka kitab itu harus dikubur lebih dalam dari jiwa manusia…”
Di dunia tempat para kultivator mencari kekuatan abadi, seorang budak menemukan warisan terlarang — Kitab Alkimia Surgawi.
Dengan tubuh yang lemah tanpa aliran Qi dan jiwa yang hancur, ia menapaki jalan darah dan api untuk menantang surga.
Dari budak hina menuju tahta seorang Dewa Alkemis sekaligus Maharaja abadi, kisahnya bukanlah tentang keadilan… melainkan tentang harga dari kekuatan sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nugraha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 : Kitab yang Berbisik Dalam Kegelapan
Situasi di perkemahan semakin menegangkan. Pengawas He perlahan berjalan mendekati tubuh Bao Chun, lalu mengambil botol kecil yang tergeletak di dekatnya. Ia kemudian membuka tutupnya lalu mencoba menghirup isinya, setelah itu ia langsung mengamati tubuh Bao Chun yang mulai membiru dengan luka melepuh di beberapa bagian.
“Ini bukan racun biasa, melainkan sejenis ramuan untuk luka bakar. Tapi jika diminum, akan membakar organ dalam dan menjadi racun yang mematikan.” gumamnya pelan.
Pengawas He kemudian terdiam sesaat. Ia tak menyangka ada seseorang yang mampu meracik ramuan seperti ini. Bahkan di Sekte Langit Beracun sendiri pun hanya para kultivator yang telah mencapai Tahap Pemurnian Tubuh yang mampu membuat racikan serupa.
Matanya kemudian mengarah ke kerumunan budak.
“Siapa pemilik botol ini?”
Mendengar perkataan Pengawas He tiba tiba kerumunan budak menjadi hening. Tak ada satu pun dari mereka yang bersuara maupun menjawab.
Di antara kerumunan, Tie Ba yang baru saja kembali dari pekerjaannya sempat ragu untuk membuka suara. Ia mungkin tahu bahwa botol itu pasti milik Li Yao. Tapi bayangan Li Yao yang membuatnya terluka waktu itu membuatnya berpikir ulang untuk berbicara dan bahkan tidak berani untuk berbicara.
Pengawas He mengerutkan keningnya, situasi ini mengingatkannya pada kejadian beberapa waktu yang lalu saat Mo Huo tiba-tiba keracunan dan mati mendadak. Bahkan tetua sekte pun tak bisa menemukan pelakunya.
Ia menghela napas pendek lalu mengangkat tangannya.
“Karena tak ada yang mengaku, maka aku anggap saja kejadian ini selesai.”
Ia lalu melirik dua penjaga di sampingnya.
“Bawa mayat Bao Chun dan lemparkan ke jurang.”
Tanpa banyak bicara, kedua penjaga itu segera menyeret tubuh Bao Chun yang kaku dan mulai membusuk. Sementara itu Pengawas He kembali menatap para budak dengan mata tajam.
“Dan kalian semua bubar lah sekarang!”
Para budak yang berkerumun segera membubarkan diri dan kembali ke tenda mereka masing-masing dalam diam.
Li Yao kembali ke tendanya dengan langkah cepat dan gelisah. Begitu masuk, ia segera menuju tempat penyimpanan botol ramuannya yang sempat tertinggal di tendanya. Tangannya bergerak cepat memeriksa setiap botol botol itu, dan akhirnya Ia bisa menghela napas lega, karena semuanya masih ada, kecuali botol kecil..
"Sepertinya semua ini harus kupindahkan ke tempat rahasia itu..." pikirnya.
Setelah memastikan ramuan ramuannya masih aman, ia pun kembali berbaring. Tubuhnya sangat lelah. Tak butuh waktu lama matanya terpejam dan ia tertidur.
Namun beberapa jam kemudian tubuhnya menggigil hebat. Bukan karena sakit tapi karena suatu energi asing bergetar dalam dirinya.
Energi itu berasal dari liontin di lehernya yang ia temukan di lorong bawah tanah.
Li Yao belum menyadari hal itu. Ia hanya tahu tubuhnya terasa panas dan dadanya sesak, tiba-tiba...
...ia terseret ke dalam alam mimpi yang tak biasa. Sebuah kesadaran lain yang mengambil alih pikirannya.
Dalam mimpi itu, ia berdiri kembali di lorong bawah tanah yang sebelumnya sempat ia kunjungi. Di hadapannya, altar batu bersinar samar. Saat ia menyentuh dinding altar simbol alkimia mulai bercahaya lembut. Napas Li Yao menjadi berat dan pandangannya mulai kabur.
Tiba-tiba, sebuah suara menggema dalam pikirannya:
“Ingatan pertama akan terbuka.”
Seketika itu juga rasa sakit luar biasa menghantam kepalanya seperti kenangan seseorang yang bukan miliknya dipaksakan masuk ke dalam otaknya. Li Yao gemetar hebat.
Ia mencoba berusaha keras membuka mata dalam mimpi itu, pada saat dia melihat sekelilingnya dia menemukan dirinya berdiri di ruang tanpa batas. Bukan lagi di lorong bawah tanah, melainkan tempat kosong yang gelap… hanya ada cahaya ungu pekat di kejauhan.
Di depannya, melayang sebuah kitab hitam yang terikat rantai. Dengan rasa penasaran dan kesakitan yang bercampur aduk, ia mengulurkan tangan dan menyentuhnya.
Saat jari-jarinya menyentuh permukaan kitab, rantai pertama patah. Sebuah halaman terbuka perlahan, dan di halaman itu sebuah peta yang tampaknya menunjukan arah dari tempatnya sekarang, menuju lokasi tersembunyi yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Li Yao menatap peta itu lama.
“Apakah… ini petunjuk?”
Saat Li Yao hendak mengambil seluruh kitab hitam itu, tiba-tiba cahaya terang meledak dari permukaannya. Saking terangnya, matanya tak mampu melihat apa pun dan ruang di sekitarnya berubah menjadi putih menyilaukan. Ia mengangkat tangannya berusaha melindungi matanya.
Ketika cahaya itu akhirnya memudar, Li Yao menyadari dirinya telah kembali berada di lorong bawah tanah tepat di depan altar batu.
Tanpa ia sadari, di dunia nyata tubuhnya menggeliat pelan dan terbangun dari tidurnya, Ia menarik napas panjang dan tanpa disadari keringat dingin membasahi leher dan punggungnya. Langit di luar tambang sudah mulai terang dan fajar hampir menyingsing.
Ia kemudian duduk sejenak, masih mencoba memproses apa yang baru saja dialaminya.
“Sebenarnya kitab apa itu? Sepertinya, itu bukan sekadar mimpi. Mungkin itu adalah sebuah petunjuk, aku harus mencari tahunya lebih jauh.”
Dengan wajah masih lesu karena baru terbangun, Li Yao lalu bangkit perlahan. Ia mengambil air di tempayan kecil di luar tenda, membasuh wajahnya untuk menghilangkan sisa-sisa mimpi aneh itu.
Tak lama kemudian, ia berjalan menuju tambang seperti biasa, melanjutkan kembali rutinitasnya yang keras dan melelahkan.
Malam harinya setelah seharian menambang batu roh, Li Yao menyelinap keluar dengan membawa seluruh barang berharganya termasuk peninggalan Kakek Qiao dan bahan-bahan ramuan.
Ia melangkah diam-diam menuju lorong bawah tanah tempat yang kini menjadi rahasia terbesar dalam hidupnya.
Lorong bawah tanah itu kini telah menjadi tempat yang akrab bagi Li Yao. Setiap sudut, setiap ukiran di dinding, bahkan bau jamur dan tanah lembap, seolah olah menyambutnya seperti sahabatnya.
Malam ini Li Yao menyalakan lentera tua yang ada di ruangan ini, Cahaya dari lentera itu menyebar ke seluruh ruangan, menari nari dan membentuk bayangan yang bergerak seperti roh.
Ia kemudian menaruh lentera itu di atas meja batu, lalu membuka kantong kain lusuh miliknya.
Satu per satu, bahan-bahan diletakkan dengan hati-hati: Akar Naga Hitam kering, Rumput Abu Mati yang mengeluarkan aroma hangus, Serbuk Batu Hijau yang memancarkan kilau lembut, dan yang terakhir, jamur Tulang berwarna keabu-abuan dengan garis-garis ungu.
Li Yao duduk bersila, lalu membuka kembali catatan dari Kakek Qiao. Tulisan tangan yang nyaris pudar itu kini menjadi penuntunnya. Ia menatap satu kalimat di bagian atas:
“Ramuan sejati bukan hanya untuk menyembuhkan. Tapi untuk mengubah nasib.”
Tangannya mulai bergerak. Ia menyalakan api kecil dari tungku tanah liat buatan sendiri di pojok ruangan. Bejana tanah liat yang ia temukan di altar sebelumnya sudah dibersihkan dan kini berdiri di atas api.
Ia memulai dengan Akar Naga Hitam. Ia meremasnya perlahan, meneteskan air dari rumput beku untuk melunakkan seratnya, lalu memasukkannya ke dalam bejana. Uap tipis naik dan aroma tajam memenuhi udara.
Selanjutnya, Rumput Abu Mati. Ia membakarnya lebih dulu sampai berubah menjadi abu putih, lalu mencampurkannya dengan serbuk Batu Hijau. Campuran itu ia taburkan perlahan ke dalam cairan mendidih.
Saat semua bahan sudah menyatu, ia meneteskan dua tetes darah dari jari telunjuknya, ini adalah sebuah proses yang diajarkan Kakek Qiao sebagai penentu ‘ikatan roh’ dalam ramuan.
Uap dari ramuan itu mulai berubah warna, dari bening menjadi hijau keruh, lalu berkilau keemasan sejenak sebelum meredup.
Li Yao mengawasi setiap perubahan dengan napas tertahan. Cairan itu tidak meledak, malah mulai berdenyut pelan seperti makhluk hidup.
“Ini berbeda dari sebelumnya…” gumamnya.
Setelah beberapa saat, ramuan itu berhenti mendidih. Ia menuangkannya ke dalam botol kecil yang dibawanya. Warna cairan itu kini seperti giok kehijauan, hangat saat disentuh, tapi menyimpan kekuatan yang sulit dijelaskan.
Li Yao menggenggam botol itu erat-erat. Entah kenapa, ia merasa bahwa ramuan ini lebih dari sekadar penguat tubuh. Ada sesuatu di dalamnya, sesuatu yang seolah menyambut keberadaannya.
Ia menatap api tungku yang mulai meredup.
"Ini adalah kali pertamaku membuat ramuan di dalam ruangan ini, dan ternyata hasilnya jauh lebih sempurna."
“Mungkin, ini adalah langkah pertamaku untuk keluar dari dunia budak,” katanya pelan.
Malam itu, Li Yao tidak langsung kembali ke tenda. Ia duduk lama di lorong bawah tanah menatap lambang-lambang kuno di dinding, seketika ada getaran halus di dadanya yang mulai hangat kembali.
Suara dalam hatinya berbisik.
"Langkahmu baru dimulai, jangan berhenti."