NovelToon NovelToon
AKU SEHARUSNYA MATI DI BAB INI

AKU SEHARUSNYA MATI DI BAB INI

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Transmigrasi ke Dalam Novel / Fantasi Isekai / Menjadi NPC / Masuk ke dalam novel / Kaya Raya
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: frj_nyt

ongoing

Tian Wei Li mahasiswi miskin yang terobsesi pada satu hal sederhana: uang dan kebebasan. Hidupnya di dunia nyata cukup keras, penuh kerja paruh waktu dan malam tanpa tidur hingga sebuah kecelakaan membangunkannya di tempat yang mustahil. Ia terbangun sebagai wanita jahat dalam sebuah novel.

Seorang tokoh yang ditakdirkan mati mengenaskan di tangan Kun A Tai, CEO dingin yang menguasai dunia gelap dan dikenal sebagai tiran kejam yang jatuh cinta pada pemeran utama wanita.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

#21

Ruang rapat berada di lantai tertinggi gedung utama. Dinding kaca membentang dari lantai sampai langit-langit, memperlihatkan kota di bawah deretan gedung tinggi yang terlihat tenang dari atas, padahal Wei Li tahu betul apa yang bergerak di baliknya. Transaksi ilegal, aliran uang gelap, dan kesepakatan yang tidak pernah tertulis di kertas.

Wei Li berdiri di depan jendela sebelum rapat dimulai. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Ia menatap ke luar tanpa benar-benar melihat apa pun. Jantungnya berdetak stabil, tapi pikirannya penuh.

Ia bukan gugup. Lebih tepatnya siap siaga. Pintu terbuka. Satu per satu orang masuk. Pria dan wanita dengan pakaian rapi, ekspresi terkendali. Beberapa melirik Wei Li sekilas, lalu cepat-cepat memalingkan wajah. Ada yang terang-terangan mengamatinya, ada juga yang pura-pura sibuk dengan tablet di tangan.

Wei Li bisa membaca itu. Rasa ingin tahu. Skeptis. Sedikit meremehkan. Ia menggeser berat badannya ke satu kaki, lalu meluruskan punggung. Bahunya tetap rileks, tapi sikapnya tidak memberi ruang untuk dianggap remeh. Kun A Tai masuk terakhir. Ruang rapat langsung terasa berbeda.

Ia tidak perlu berkata apa-apa. Cara ia berjalan, cara ia duduk di kursi utama semuanya memberi pesan yang jelas tentang siapa yang memegang kendali. “Mulai,” katanya singkat. Lampu layar menyala. Grafik muncul. Wei Li mengambil tempat duduk di sisi kanan Kun A Tai. Ia menyilangkan kaki, meletakkan kedua tangan di atas meja, jari-jarinya saling bertaut.

Seorang pria paruh baya mulai berbicara tentang jalur distribusi yang terganggu. Suaranya datar, profesional. Wei Li mendengarkan. Tidak memotong. Tidak menyela. Ia memperhatikan detail kecil. Cara pria itu menghindari kontak mata saat menyebut nama Shen Yu An. Cara seorang wanita di ujung meja menggerakkan pulpen terlalu cepat. Cara seseorang menghela napas setiap kali topik mendekati area abu-abu.

Semua itu bukan kebetulan. Saat presentasi berhenti, Kun A Tai menoleh ke Wei Li. “Pendapatmu?” tanyanya. Beberapa orang di meja sedikit menegang. Wei Li mengangkat alis tipis, seolah tidak menyangka akan diberi giliran secepat itu. Ia menurunkan pandangannya ke layar, lalu kembali menatap mereka. “Jalur ini,” katanya sambil menunjuk grafik, “sudah bocor sejak lama.” Ruangan sunyi. Pria paruh baya itu mengerutkan kening. “Kami—”

“Bukan bocor karena diserang,” potong Wei Li tenang. “Bocor karena terlalu banyak tangan.” Ia menggeser tablet di depannya, memutar layar ke arah meja. Data mentah muncul waktu transaksi, pola pengiriman, jeda yang tidak wajar. “Ada pola penundaan setiap tiga minggu,” lanjutnya. “Bukan karena gangguan eksternal. Ini sinkron dengan audit internal.”

Beberapa orang saling pandang. “Itu tuduhan serius,” kata wanita di ujung meja. Wei Li mengangguk. “Makanya aku nggak pakai kata ‘pengkhianatan’.” Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Belum.” Kun A Tai tidak bereaksi. Tapi matanya tetap pada Wei Li. “Solusimu?” tanyanya.

Wei Li menarik napas pendek. Tangannya terlepas, lalu kembali bertaut. “Potong satu jalur,” katanya. “Bukan yang paling bermasalah. Tapi yang kelihatannya paling bersih.” Pria paruh baya itu terkejut. “Itu—”

“Umpan,” kata Wei Li. “Kalau Shen Yu An atau siapa pun di belakangnya bereaksi terlalu cepat, kita tahu siapa yang punya akses.” Keheningan kembali turun. Wei Li bersandar sedikit ke kursinya. “Kalau tidak ada reaksi, berarti kebocoran lebih dalam. Kita ulangi dengan jalur lain.” Wanita di ujung meja menghela napas. “Itu berisiko.”

Wei Li menatapnya. “Semua yang kita lakukan di ruangan ini berisiko. Bedanya, ini terukur.” Kun A Tai akhirnya berbicara. “Lakukan.” Tidak ada perdebatan setelah itu. Rapat berakhir satu jam kemudian. Orang-orang keluar satu per satu. Beberapa memberi Wei Li anggukan singkat. Beberapa masih menatap dengan ekspresi sulit dibaca.

Wei Li tetap duduk. Kun A Tai menutup layar, lalu menoleh padanya. “Kau tidak ragu,” katanya. Wei Li mengangkat bahu. “Ragu bikin tangan gemetar. aku nggak butuh itu sekarang.” Kun A Tai menatapnya lebih lama. “Kau tahu mereka akan mengawasimu.”

Wei Li tersenyum tipis. “Biarin. aku juga ngelihat mereka.” Kun A Tai berdiri. “Ikut aku.” Mereka berjalan keluar ruangan, melewati lorong panjang dengan jendela-jendela tinggi. Langkah mereka sejajar, tidak terburu-buru. “Kau belajar cepat,” kata Kun A Tai.

Wei Li mengusap lengan kirinya pelan. “aku cuma berhenti pura-pura bodoh.” Kun A Tai berhenti di depan pintu kantornya. “Itu yang berbahaya.” Di dalam kantor, Kun A Tai menuang dua gelas air. Ia menyerahkan satu ke Wei Li. Wei Li menerimanya. Jarinya menyentuh kaca dingin, membuatnya sedikit lebih sadar akan tubuhnya sendiri tegang, tapi terkendali. “Kau masih sadar?" kata Kun A Tai, “kalau mulai sekarang, setiap keputusanmu akan punya korban.” Wei Li meneguk air, lalu mengangguk. “Gue tahu.”

“Dan kau masih di sini.” Wei Li menatap gelasnya beberapa detik, lalu berkata, “aku nggak mau orang kayak Jae Hyun jadi korban lagi.” Kun A Tai menatapnya tajam. “Itu tidak bisa kau janjikan.” Wei Li mengangkat kepala. “Tapi aku bisa meminimalkan.” Keheningan jatuh. Kun A Tai akhirnya berkata, “Itu cukup.”

Sore itu, Wei Li kembali ke kamarnya. Ia duduk di tepi ranjang, melepas sepatu. Tangannya bergerak otomatis, tapi pikirannya masih tertinggal di ruang rapat. Pintu diketuk. Jae Hyun masuk, membawa dua cangkir kopi. “Saya dengar Nyonya bikin ruang rapat sunyi,” katanya sambil meletakkan kopi di meja. Wei Li mendengus kecil. “Gosip cepet banget.”

“Dunia kecil,” jawab Jae Hyun. “Apalagi kalau isinya orang-orang berbahaya.” Wei Li mengambil kopi. Tangannya sedikit gemetar saat mengangkat cangkir. Ia tidak menyembunyikannya. “Lo nggak harus balik kerja secepat ini,” katanya. Jae Hyun duduk di kursi. “Kalau saya istirahat terlalu lama, saya ketinggalan drama.”

Wei Li meliriknya. “Dan?”

“Dan saya nggak suka ketinggalan,” lanjut Jae Hyun ringan. Wei Li tersenyum kecil, lalu menghela napas. “Gue masuk lebih dalam hari ini,” katanya. Jae Hyun mengangguk. “Kelihatan.” Wei Li menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Gue nggak yakin ini langkah yang paling aman.”

Jae Hyun menatapnya serius. “Tapi langkah yang perlu.” Wei Li menoleh. “Lo percaya?” Jae Hyun tidak langsung menjawab. Ia menyesap kopinya, lalu berkata, “Saya percaya Nyonya nggak asal gerak.” Wei Li tersenyum tipis. “Itu aja?”

“Dan,” tambah Jae Hyun, “kalau dunia ini mau runtuh, setidaknya kita berdiri di tempat yang terang.” Wei Li tertawa kecil. “Definisi terang kita beda.” “Mungkin,” jawab Jae Hyun. “Tapi setidaknya kita lihat apa yang datang.” Malam itu, Wei Li berdiri lagi di depan jendela. Lampu kota menyala satu per satu. Ia melipat kedua tangannya, menarik napas dalam-dalam.Ia tidak lagi hanya bereaksi. Ia sudah duduk di meja yang sama. Dan di dunia ini, itu berarti satu hal Tidak ada jalan kembali.

1
Queen AL
nama sudah ke china-chinaan, eh malah keluar bahasa gue. tiba down baca novelnya
@fjr_nfs
/Determined/
@fjr_nfs
/Kiss/
X_AiQ_Softmilky
uhuyy Mangat slalu🤓💪
@fjr_nfs: /Determined/
total 1 replies
Jhulie
semangat kak
@fjr_nfs
jangan lupa tinggalkan like dan komennya yaa ☺
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!