 
                            Sepuluh tahun menikah bukan menjadi jaminan untuk terus bersama. gimana rasanya rumah tangga yang terlihat adem-adem saja harus berakhir karena sang istri tidak kunjung mempunyai anak lantas apakah Aisy sanggup di madu hanya untuk mendapatkan keturunan?? saksikan kisahnya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Reyhan pun mulai dilanda rasa dilema, ia tahu jika di sini Aisy memang benar-benar sangat membutuhkannya, tapi di sisi lain Arsinta istri barunya saat ini tengah hamil anak darinya, seorang anak yang sejak dulu tengah ia nanti-nanti kini hadir diantara mereka.
'Tuhan harus bagaimana lagi, kenapa Engkau memberiku kepercayaan di saat keadaan seperti ini,' ucapnya penuh dengan gunda gulana.
Langkah kaki Reyhan perlahan mulai kembali lagi ke dalam kamar Aisy, matanya menatap wajah teduh itu secara dalam-dalam, dalam hati sebenarnya ia takut meninggalkan istri pertamanya dalam keadaan yang seperti ini namun di sisi lain istri keduanya juga membutuhkan dirinya apalagi saat ini tengah mengandung benihnya.
Reyhan berdiri di tepi ranjang, menatap wajah Aisy yang tertidur dengan damai. Wajah itu pucat, tapi lembut.
Ada sesuatu di dada Reyhan yang terasa sesak seperti ditarik dua arah sekaligus.
Ia menyentuh pipi Aisy pelan, jemarinya bergetar. “Aku gak tahu harus gimana, Sayang…” bisiknya. “Di sini kamu butuh aku, tapi di sana… dia bilang sedang mengandung anakku.”
Ia menghela napas panjang, berat sekali.
Kata anak itu menggema di kepalanya. Selama ini ia memang menanti momen itu menjadi ayah, memiliki darah daging sendiri, sesuatu yang dulu tak sempat ia miliki bersama Aisy. Tapi entah kenapa, justru sekarang, berita itu terasa seperti cambuk, bukan kebahagiaan.
Reyhan berjalan ke tepi jendela, menatap langit malam yang muram. Pikirannya melayang ke wajah Arsinta wanita muda yang dinikahinya karena desakan keluarga besar. Perempuan yang manja, ambisius, dan selalu ingin menjadi pusat perhatian.
Sejak awal, hubungannya dengan Arsinta tak pernah benar-benar hangat. Lebih banyak kewajiban daripada cinta. Namun malam ini, suaranya di telepon tadi begitu penuh drama membuat Reyhan sulit membedakan antara kepura-puraan dan kejujuran.
Ia menatap ponselnya yang masih tergenggam. Layar menampilkan satu pesan baru dari Arsinta.
“Mas, aku takut. Tolong datang, aku pendarahan sedikit. Aku gak mau kehilangan anak ini…”
Reyhan terpaku. Wajahnya pucat. Ia menatap Aisy yang masih tidur dengan napas lembut.
Ada keinginan untuk segera pergi, tapi ada rasa bersalah yang menghantam jantungnya keras-keras.
Bagaimana kalau Aisy terbangun dan mencariku? Tapi bagaimana kalau Arsinta benar-benar butuh bantuan?
Dalam hatinya terjadi perang besar. Ia meremas rambutnya sendiri, lalu duduk di tepi ranjang, kepalanya tertunduk.
Air matanya jatuh diam-diam.
“Tuhan… kalau memang anak itu bukan titipan-Mu untukku, tolong beri aku tanda…”
Malam semakin larut. Hujan turun pelan di luar jendela, menimbulkan bunyi yang menenangkan sekaligus menghantam dada Reyhan seperti ribuan jarum halus.
Ia masih duduk di tepi ranjang, memandangi wajah Aisy yang tertidur dengan napas pelan dan bibir kering.
Tasbih di tangannya berhenti berputar. Ia menatapnya lama, seolah butiran kayu itu mampu memberi jawaban yang tidak sanggup ia temukan di hatinya.
Ponselnya kembali bergetar.Arsinta.
Nama itu terpampang jelas di layar, diiringi pesan singkat:
“Aku mual terus, Mas… Dokter bilang aku harus banyak istirahat. Tapi aku takut sendirian.”
Reyhan memejamkan mata. Dalam pikirannya, wajah Arsinta terlintas pucat, namun tersenyum waktu mengatakan, “Aku hamil, Mas. Ini anak kita.”
Seketika, dadanya terasa sesak oleh campuran rasa haru dan takut.Ia menunduk, menatap Aisy sekali lagi.
Wajah itu begitu tenang, begitu diam dan di situlah rasa bersalahnya justru makin berat.
Aisy tidak menahannya, tidak memohon, bahkan tidak menatapnya dengan mata kecewa seperti dulu. Ia hanya diam, seperti seseorang yang sudah pasrah kehilangan apa pun yang pernah ia sebut cinta.
“Maaf, Ais… aku cuma mau memastikan Arsinta baik-baik saja. Aku janji, sebentar aja,” ucapnya pelan, hampir tanpa suara.
Reyhan meraih jaketnya, melangkah ke luar kamar dengan langkah berat. Pintu kamar menutup perlahan, menyisakan bunyi klik lembut tapi bagi Aisy yang ternyata belum sepenuhnya tidur, suara itu terdengar seperti patahnya sesuatu di dalam dadanya.
Ia membuka mata, menatap kosong ke langit-langit. Air matanya mengalir tanpa suara.
“Pergilah, Mas… aku sudah terbiasa sendiri,” bisiknya parau.
☘️☘️☘️☘️
Sementara itu, di dalam mobil, Reyhan memegang setir tanpa benar-benar melihat jalan. Lampu-lampu kota berkelebat di kaca depan seperti bayangan dosa yang mengejarnya tanpa henti.
Setiap kali ia mencoba menenangkan diri, suara Aisy di kepalanya justru semakin jelas suara lembut yang dulu memintanya untuk bertahan, tapi kini hanya jadi gema samar yang tak sanggup ia genggam lagi.
“Mungkin ini jalannya, Tuhan,” gumamnya.
“Setelah sekian lama menunggu, akhirnya Kau beri aku anak… meski harganya adalah kehilangan.”
Mobilnya berhenti di depan rumahnya. Arsinta. Perempuan itu sudah menunggu di balkon, memegangi perutnya yang masih datar, seolah benar-benar ingin menunjukkan bahwa di dalam sana ada sesuatu yang ia perjuangkan.
Reyhan menatapnya dari bawah, lalu menarik napas panjang. Entah kenapa, langkahnya terasa lebih ringan daripada sebelumnya seakan hatinya mulai memutuskan untuk berpindah, perlahan tapi pasti.
Reyhan membuka pintu pagar dengan suara berderit pelan. Angin malam menampar wajahnya, membawa aroma tanah basah yang samar-samar menenangkan. Langkahnya menapak pelan ke tangga menuju balkon, di mana Arsinta berdiri menunggu dengan selimut tipis melilit bahu.
Begitu pria itu muncul di hadapannya, mata Arsinta langsung berkaca-kaca.
“Mas…” panggilnya lirih.
Reyhan hanya mengangguk, menatap sekilas wajah pucat itu sebelum menunduk dan menuntun tangannya masuk ke dalam rumah.
Begitu pintu tertutup, suasana hening menyelimuti keduanya.
Hanya detak jam dinding yang terdengar, seperti menghitung jarak antara kesalahan dan kelegaan.
“Maaf, aku ganggu kamu malam-malam begini,” ucap Arsinta pelan, suaranya bergetar. “Aku cuma takut, tadi dokter bilang aku harus banyak istirahat. Tapi di rumah sendirian… rasanya kayak semua dingin.”
Reyhan menatapnya, seolah mencari kebohongan di balik air mata itu tapi yang ia temukan justru rasa iba yang perlahan berubah jadi kelembutan. Ia menurunkan pandangannya ke perut Arsinta yang masih datar, lalu mengulurkan tangan, menyentuhnya dengan hati-hati.
“Di sini, ya?” gumamnya.
Arsinta mengangguk, tersenyum tipis.
“Dokter bilang baru dua minggu… tapi aku bisa merasakannya, Mas. Ada kehidupan kecil yang tumbuh dari cinta kita.”
Kata cinta kita membuat dada Reyhan bergetar aneh. Ia tidak tahu apakah itu rasa bahagia, lega, atau justru bentuk lain dari pengkhianatan yang ingin ia abaikan.
“Aku akan jagain kalian,” ucapnya akhirnya, lembut tapi tegas. “Kamu dan anak ini… aku gak akan biarin apa pun terjadi.”
Arsinta langsung menunduk, menahan senyum yang sulit ditebak maknanya.
Ia meraih tangan Reyhan, menggenggamnya erat, seolah tak ingin melepaskan.
“Terima kasih, Mas. Aku tahu… kamu orang baik. Tuhan gak salah pilih kamu buat aku.”
Reyhan hanya diam. Ia tahu kata-kata itu seharusnya membuatnya bahagia, tapi entah kenapa justru terasa seperti rantai halus yang melingkari hatinya menjeratnya perlahan, dari simpati menjadi keterikatan.
Dan malam itu, di bawah cahaya lampu temaram, untuk pertama kalinya Reyhan memilih tidur di rumah Arsinta. Tidak ada yang ia katakan lagi, tidak ada yang ia jelaskan pada dirinya sendiri. Yang tersisa hanyalah bisikan lirih di benaknya:
“Maaf, Aisy… sepertinya malam ini aku di sini dulu.”
Bersambung ...
 
                     
                     
                     
                    