Wulan, seorang bayi perempuan yang diasingkan ke sebuah hutan karena demi menyelamatkan hidupnya, harus tumbuh dibawah asuhan seekor Macan Kumbang yang menemukannya dibawa sebatang pohon beringin.
Ayahnya seorang Adipati yang memimpin wilayah Utara dengan sebuah kebijakan yang sangat adil dan menjadikan wilayah Kadipaten yang dipimpinnya makmur.
Akan tetapi, sebuah pemberontakan terjadi, dimana sang Adipati harus meregang nyawa bersama istrinya dalam masa pengejaran dihutan.
Apakah Wulan, bayi mungil itu dapat selamat dan membalaskan semua dendamnya? lalu bagaimana ia menjalani hidup yang penuh misteri, dan siapa yang menjadi dalang pembunuhan kedua orangtuanya?
Ikuti kisah selanjutnya...,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sepuluh Tahun Berlalu
Duuuuuaaar....
Setelah ajian Rengkah Gunung yang dikuasai oleh sang gadis menghantam batu di hadapannya, serpihan batu itu tak hanya hancur tapi juga hangus, terbakar oleh kekuatannya yang semakin meningkat.
Ia tersenyum kecil, merasa puas dengan kemajuan yang telah ia capai dari latihan tanpa henti selama ini. Namun, sebuah pertanyaan terus terngiang dalam pikirannya. Sampai kapan ia harus terus berada di tempat terpencil ini, melatih diri seperti seorang pertapa yang haus ilmu.
Ia merasa bosan, karena tidak dapat menemukan satu makhluk yang sama dengannya.
"Berapa lama lagi aku harus berada di sini, Guru?" tanyanya sembari menatap sosok Macan Kumbang yang tampak angkuh tapi bijaksana.
Bulu hitamnya berkilau tertimpa cahaya redup dari sinar matahari yang tersaring melalui pepohonan. Ia adalah gurunya yang telah membawnya sejauh ini. Dalam hatinya, ada rasa hormat sekaligus kebingungan pada makhluk yang begitu misterius ini.
Sang Macan Kumbang tampak mengangkat kepalanya perlahan, seolah mengukur seberapa serius gadis itu dalam pertanyaan ini. Ia tersipu, entah karena merasa bangga dengan gelar "guru" yang disematkan padanya, atau karena ada sesuatu yang ingin ia katakan kepada gadis tersebut.
"Masih ada beberapa ajian yang harus kamu pelajari," jawabnya dengan suara dalam yang sarat akan wibawa. "Selain itu, aku akan memberimu satu senjata. Sebuah pedang Luwuk yang berasal dari daerah Jawa Timur dan juga Jawa Tengah." Dia menggerakkan jemari kaki depannya, perlahan namun tegas.
Dari tanah, sesuatu mulai muncul—pedang yang panjangnya sekitar delapan puluh centi meter, terselubung dalam sarung dengan bahan yang terbuat dari tanduk kerbau. Gadis itu memandangnya dengan hati berdebar.
Pedang itu tidak hanya tampak indah, tetapi juga memancarkan aura kekuatan yang seolah berbicara langsung padanya.
Apa maknanya senjata ini baginya? Mengapa ia dipilih untuk memilikinya? Pertanyaan-pertanyaan itu berkelebat di dalam benak, namun untuk saat ini ia tahu satu hal pasti, jika perjalanan latihan ini belum selesai.
Sang Macan Kumbang melemparkan pedang luwuk ke arah sang gadis, dan dengan cekatan ia menangkapnya lalu beranjak dari duduknya.
Gadis itu melakukan jumping dan mendarat dilantai goa dengan cukup ringan dan pedang ditangannya terlihat sangat sempurna.
"Ini sangat indah. Aku menyukainya," Wulan menggenggam erat pedang tersebut, lalu membuka sarungnya, dan menatapnya dengan takjub.
Terlihat ujung pedang sangat tajam dan juga mengandung racun, ia sangat waspada akan hal tersebut.
"Bersiaplah, aku akan mengajarkan beberapa jurus yang harus kau ingat, dan ini masih tahap awal untukmu," titah sang Macan Kumbang.
Wulan menganggukkan kepala dengan mantap, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini bukan hanya latihan, melainkan sebuah ujian nyata.
Gadis itu mengepalkan gagang pedang erat-erat, perasaan gugup dan tekad bercampur menjadi satu. Perlahan ia mulai memutar pedang di atas kepalanya, mencoba membayangkan setiap gerakan dan strategi yang harus ia lakukan agar serangannya tidak sia-sia.
"Aku harus berhasil... Tidak ada ruang untuk kesalahan," pikirnya. Dengan nafas yang mulai memburu, gadis itu melompat dari lantai batu tempatnya berdiri.
Ayunan pertama pedangnya diarahkan ke sosok hewan yang selama ini ia sebut sebagai gurunya—Sang Macan Kumbang.
Wuuuusssh!
Satu tebasan meluncur, namun dia melompat dengan gesit, menghindari serangan sang gadis dengan mudah seperti biasa.
Dalam sekejap, sosok macan kumbang hanya melihat bayangan hitam tubuhnya yang bergerak cepat, memanfaatkan setiap sudut gua sebagai pijakan.
Ggggrrrrrr...
Macan itu menggeram pelan, seolah mengingatkannya untuk tetap fokus. Ia tidak bisa membiarkan rasa gentar menguasai dirinya.
Wulan melompat ke dinding goa, tubuhnya begitu lincah dan tidak memberi kesempatan sedikit pun untuk sang Macan Kumbang menyerangnya lagi.
"Aku sudah berlatih selama bertahun-tahun untuk hari ini... Jika aku gagal, bagaimana aku bisa membuktikan bahwa aku pantas menjadi muridnya?" pikir sang gadis sambari menggenggam pedang lebih erat.
Tubuhnya bergerak mengikuti jejaknya, meski gerakannya jelas tidak selincah dia. Ia tahu, di usia yang ke tujuh belas tahun ini ia belum sepenuhnya sempurna dalam seni pertahanan maupun serangan. Tapi, ia tidak akan berhenti sampai dia mengakui bahwa ia mampu.
"Guru, aku tidak akan menyerah. Aku akan membuktikan bahwa aku layak untuk mendapatkan pelajaran darimu, apapun itu harga yang harus kubayar!" suara hatinya bergemuruh dengan semangat yang terus membara.
Sang Macan Hitam itu bergerak dengan tubuh berbalik, lalu melewati kepala sang gadis, dan saat ia berada dibelakangnya, macan itu menendangkan kaki belakangnya hingga sampai kukunya yang runcing menggores punggung sang gadis.
"Aaaaarrrg...," erang Wulan saat merasakan perih bekas cakaran dan ia tersungkur ke depan, namun dengan sigap menancapkan ujung pedangnya dilantai goa,
Traaaaaang....
Suara dentingan ujung pedang yang beradu dengan lantai goa terdengar begitu nyaring. Ia berhasil mendarat dengan berjongkok dan lutut kanannya menyentuh lantai.
Wulan meringis kesakitan, ia merasakan bekas cakaran dipundaknya terasa begitu menyakitkan. Lalu ia mendengar suara derap langkah sang Macan Kumbang menghampirinya dari arah belakang dan akan melakukan serangan berikutnya.
Grrrrrgghhh....
Suara geramannya terdengar sangat nyaring, dan gadis itu memutar tubuhnya untuk berbalik, lalu dengan cepat menghunuskan ujung pedangnya ke arah perut hewan tersebut.
Craaaaas....
Satu goresan tajam mengenai perut sang Guru, cairan merah pekat dan berbau amis segera mengalir dari luka itu, mengguncang hati Wulan, hingga terasa seperti tercabik. "Guru..." ia berteriak sekuat tenaga, perasaan panik dan takut memuncak di dalam dada.
Tanpa pikir panjang, Wulan berlari mengejar tubuh Gurunya yang telah tersungkur di lantai goa. Setiap langkah terasa berat, penuh dengan kecemasan yang menghantui.
Gadis itu merobek ujung pakaiannya dengan gemetar, mengikat luka itu erat-erat dengan harapan bisa menghentikan darah yang merembes.
Gadis itu terlihat panik. Ia merasa takut, ia tak ingin kehilangan sosok tersebut, sebab tak ada yang menemaninya selama ini, selain sang Macan Kumbang.
"Maafkan aku, Guru, maafkan atas kecerobohanku." Suaranya terdengar lirih, hampir tak mampu keluar dari tenggorokannya yang terasa sesak. Ia merasa sangat menyesal.
Gadis itu menangkupkan kedua tangannya di depan wajah, matanya mulai memanas dengan air yang mendesak keluar. Ia memohon, berulang-ulang di dalam hati.
"Mengapa aku begitu bodoh? Guru, tetaplah bersamakku. Aku tidak tahu bagaimana hidupku tanpamu. Apa yang harus kulakukan sekarang? Maafkan aku... Maafkan aku..."
Lalu sang macan tersenyum seringai. "Tak mengapa, aku baik-baik saja," ucapnya, lalu melompat dengan gesit dan menghilang dari pandangan sang gadis yang saat ini sedang dilanda kebingungan.
****
Seorang pemuda berwajah tampan sedang memasuki sebuah ruangan kamar didalam istana.
Tatapannya sangat teduh, dan ia dibesarkan dengan harta yang serba berkecukupan, dalam gelimang kemewahan yang tak pernah padam.
Akan tetapi, saat ia berjalan dikediaman para warga dengan cara menyamar, ia merasakan hatinya terenyuh, sebab kemewahan yang ia dapatkan selama ini, berasal dari keringat rakyat yang diperas dan dirampas haknya.
Para Tumenggung menjalankan perintah dari Adipati Bisrah, dan hasilnya dibagi dua untuk ke pusat kerajaan Medang Jaya, yang saat ini dipimpin oleh ayahnya yang bergelar Raja Arsana, dan kelak akan diwariskan kepadanya.
Ruangan itu kamar para sultan dengan kasur empuk dan perabotan yang mahal. Ia menatap cermin, dan berniat akan melarikan diri, untuk mencari jati dirinya. Ia muak dengan semua kemewahan yang ada, dan dengan tekad yang kuat, ia mengambil perbekalan seadanya, lalu menyelinap dari balik jendela kamar, dan berlari melompati tembok pagar istana, tanpa diketahui oleh para prajurit yang sedang berjaga.

tp ini rajendra mah kok ya suka kali ngelitik si macan sih 🤔🤔
kk siti masih ada typo ya di atas hehehe
meski aq ratu typo sih 🤭🤭