Berawal dari pembelian paket COD cek dulu, Imel seorang guru honorer bertemu dengan kurir yang bernama Alva.
Setiap kali pesan, kurir yang mengantar paketnya selalu Alva bukan yang lain, hari demi hari berlalu Imel selalu kebingungan dalam mengambil langkah ditambah tetangga mulai berisik di telinga Imel karena seringnya pesan paket dan sang kurir yang selalu disuruh masuk dulu ke kosan karena permintaan Imel. Namun, tetangga menyangka lain.
Lalu bagaimana perjalanan kisah Imel dan Alva?
Berlanjut sampai dekat dan menikah atau hanya sebatas pelanggan dan pengantar?
Hi hi, ikuti aja kisahnya biar ga penasaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Basarili Kadin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cerita Gian
"Umurku 20 tahun, Bu. Kita selisih 7 tahun. Jadi, tidak masalah bukan jika ibu dijadikan istri oleh saya?" tanyanya membuatku ingin melempar apa pun yang aku pegang, tapi aku kasihan melihatnya.
"Saya tahu, ibu tidak akan menerima saya karena umur saya lebih muda dari ibu dan ibu tidak menginginkan itu. Padahal, umur yang lebih tua dari ibu belum tentu dewasa."
Penjelasannya seakan dia tahu apa yang aku katakan dalam hati, apa ini tandanya bahwa dia bisa membaca isi hati seseorang?
"Maksud kamu apa?"
"Maksud saya, menikahlah dengan orang yang tepat, jangan lihat dia dari umurnya, tetapi lihatlah dari segi dia memperlakukanmu, Bu. Saya tidak ingin ibu bernasib sama seperti ibu saya," ujarnya berkaca-kaca.
Aku pun seperti hanyut terbawa suasana seperti aku ikut merasakan apa yang dia rasakan. Aku memintanya untuk tidak meneruskan ceritanya, tetapi dia menolak. Namun, aku juga tidak bisa bohong jika aku pun ikut meneteskan air mata. Aku paham, untuk perkataan ini aku benar-benar paham dengan apa yang dia maksud.
"Jadi, aku mohon Bu Imel. Izinkan saya Gean selalu mengawasi ibu dan menjaga ibu. Aku mohon!"
Pintanya memohon dengan tangis sambil memegang kedua tanganku, seketika tangisku pun pecah di hadapannya. Aku mengelus pundaknya dan meminta Gian untuk berdiri, tetapi dia masih larut dalam tangisnya, pasti karena rindu teringat akan ibunya.
Aku tidak tahu bagaimana cara menghiburnya apalagi posisi sedang di pinggir jalan, orang-orang yang berkendara pun selalu melihat ke arah kita berdua Aku pun berbisik kepadanya.
"Maafkan ibu, kamu boleh menjaga ibu guru kamu ini selagi tahu batasan, jangan menangis, semoga ibu kamu tenang di alam sana."
Setelah itu barulah Gian menatap kearahku dengan senyuman.
Aku pikir anak aneh yang kulihat di kelas itu adalah psiko tetapi ternyata dia adalah anak yang punya luka batin yang mendalam, aku memang belum tahu jelas tentangnya, tetapi sebagian dari ceritanya pun membuka sedikit gambaran tentangnya.
"Terima kasih."
"Sama-sama."
"Ayo berangkat!" Lanjutku mengajak.
Dia mengangguk, lalu kembali menaiki motornya dan menyalakannya kembali.
"Bu, jika ibu bertanya kenapa saya terlihat sedikit aneh bahkan bisa tahu apa yang ibu pikirkan. Saya pun tidak tahu jawabannya, yang jelas ini terjadi ketika saya depresi kehilangan ibu saya," ujarnya memberitahu tanpa kutanya sebelum dia menjalankan motornya.
Jadi begitu ceritanya, tapi ngeri juga jika apa yang aku katakan dia bisa tahu dan bisa baca.
"Tenang aja, Bu. Saya hanya bisa membaca pikiran orang yang terkontak dengan saya," ujarnya lagi membuatku bingung dan saat ini kami sudah berjalan menuju sekolah.
"Maksudnya?"
"Ketika yang ada di pikiran ibu itu adalah saya, maka saya akan tahu isi hati dan pikiran ibu."
"Lalu bagaimana kamu bisa menjaga saya jika kamu tidak bisa membaca isi pikiran orang lain."
"Ibu sudah kontak dengan saya, selagi itu tentang ibu maka saya akan tahu. Saya akan jaga ibu meski ibu adalah guru saya bukan ibu saya, tapi izinkan saya menjadi bagian dari hati ibu, misalnya menjadi seorang adik."
Kata-kata yang menyentuh, mana mungkin aku menolaknya karena mendengar ceritanya saja aku melow.
"Tentu saja, jika di luar kamu bisa panggil saya "Teteh" jika di sekolah "Ibu," ujarku.
Dia pun tersenyum, aku melihat kebahagian dia dari kaca spion.
Namun, aku belum tahu alasan dia masuk sekolah di umur yang sudah tua. Pantas saja dia terlihat berbeda dari yang lainnya ternyata umurnya juga beda, tetapi aku tidak bisa membedakan wajah muda dan tua, karena aku melihatnya seperti sama, mungkin karena jaraknya hanya beda empat tahunan jadi terlihat sama. Untuk hal ini nanti akan kutanyakan karena aku penasaran, emang masih ada sekolah di zaman sekarang menerima murid yang umurnya sudah seharusnya lulus SMA?
***
Akhirnya kita pun sampai di sekolah, parkiran sudah terlihat penuh karena kita datang mepet ke waktu jam masuk.
Aku turun dan membiarkan Gian parkir sendiri ke tempatnya, aku berjalan kaki menuju kantor dan di sana sudah nampak Pak Ardi seperti menunggu di depan pintu, dia tersenyum dan aku pun membalasnya.
"Tumben datangnya siang, Bu?" tanya Pak Ardi.
"Hehe, itu ada masalah dikit di jalan. Untungnya ada Gian jadi saya bareng sama dia," ujarku berbohong. Maaf, aku tidak bermaksud berbohong.
"Oh, begitu ya, Bu."
"Iya, Pak."
Aku masuk ke kantor dan duduk di mejaku, sebenarnya mau berangkat jam sepuluh pun tidak masalah sih, tetapi sayangnya aturan di sini mau ada jadwal atau pun tidak, guru harus datang pagi dan pulang sore.
Jika di tempat lain, kita digaji per-jam yang jika dalam hitungan bulan hanya dapat seratus dua ratus atau paling besar empat ratus, di sini kita dibayar satu juta asal rajin ke sekolah, untuk bayaran ngajar tetap ada dan dihitung per-jam jadi bisa satu juta lebih.
Lalu kita di sekolah apa aja? Jika ada guru yang tidak datang maka kita isi, jika ada yang harus dibereskan di sekolah kita bereskan, apa pun itu kita kerjakan.
Mending lah daripada dulu seratus pun tidak sampai, ya memang tidak setiap hari ke sekolah, tetapi jika datang tetap harus pulang sore meskipun hanya mengajar satu jam saja.
***
Baru saja aku duduk di kursi, tiba-tiba Pak Ardi sudah duduk di kursi depan mejaku dan diarahkan kepadaku. Ibu dan bapak guru di kantor langsung menatap kearahku sambil ngode-ngode pakai gerakan mata. Sontak Aku mengalihkan pandangan dari mereka karena jujur saja itu membuatku malu, bahkan rasanya aku pun ingin marah ke Pak Ardi karena terlalu menggangguku.
"Bu, Ibu nangis, ya?" tanyanya.
"Uhuk-uhuk, kiw kiw, cie-cie." Mereka berkicau.
Rasanya aku ingin lari dari suasana ini.
"Enggak!" jawabku ketus, aku tidak peduli meskipun bapak dan ibu guru senior menyahuti, meledek, atau bahkan menertawakanku, aku tidak peduli.
"Wajahnya sembab."
"Gapapa, ini mah cuma habis makan pedas aja tadi."
"Bisa gitu, ya," ucapnya tidak percaya sambil melihat ke arah guru-guru senior.
"Eh ya bisa lah, masa enggak!" ketusku lagi sedikit meninggikan suara.
"Ehem, udalah Bu Mel, sama Pak Ardi aja. Cocoklah kalian ini, yang satu cerewet yang satu kalem, yang satu judes yang satu ramah dan penyabar." celetuk Bu Arini
Ih, apa sih guru-guru di sini mentang-mentang hanya aku yang belum nikah, jadi dijodoh-jodohin sama Pak Ardi, batinku ngedumel.
"Apa sih, Pak Ardi. Sudahlah, intinya saya gak kenapa-napa," ujarku lagi memasang wajah cemberut.
"Jangan cemberut gitu dong, Bu Mel. Kasihan loh Pak Ardinya dari tadi nungguin," celetuk mereka lagi dan yang berbicara adalah Pak Hasan.
"He he, berasa jadi public figur ah dilihatin terus," ujarku nyengir kuda.
Aku memasang mata sinis ke Pak Ardi, tetapi dia masih saja tersenyum seakan aku sedang bercanda, padahal aku beneran kesal bukan bohongan.
"Kapan sih, bapak masuk kelas. Perasaan setiap pagi ada mulu?" tanyaku ketus.
"Saya masuk jam sembilan, tidak ada kebagian jadwal pagi."
"Oh," jawabku singkat.
"Bu, sudah dilamar apa belum?" tanyanya.
"Huuuuu, kiw kiw." Mereka kembali bersorak.
Sumpah gak bohong, ini Pak Ardi membuatku jengkel banget.
"Kalau dilamar emang belum, tapi yang deket banyak," jawabku sekenanya.
Eh tiba-tiba ada yang mengetuk pintu dan ternyata itu adalah Gian.
"Permisi, Bu. Saya ada perlu sama Bu Imel," ujarnya.
Yups, datang di waktu yang tepat, dengan senang hati aku pun langsung menghampirinya.
"Ada apa?" tanyaku.
"Di luar saja, hanya sebentar sebelum aku masuk."
"Oke." Aku pun mengikuti perintahnya.
"Ada apa?"
"Tolong jangan beritahu siapa pun tentang saya Bu, cukup saya dan sekolah saja yang tahu."
"Tentu, untuk apa saya berbicara tentang ini?"
"Hanya takut saja, karena ibu terlalu penasaran dengan saya."
"Tidak, sekalipun saya penasaran kenapa kamu bisa masuk sekolah di umur kamu yang segini."
"He he, saya ceritakan lain waktu."
"Tapi, apa kamu seperti ini kepada guru lain seperti halnya kepada saya?"
"Tidak, sekalipun nanti ada guru baru pun tidak akan ada lagi."
"Kenapa begitu?"
Dia pun berbisik ke telingaku seraya menjawabnya
...............