Aluna ditinggal mati suaminya dalam sebuah kecelakaan. Meninggalkan dia dengan bayi yang masih berada dalam kandungan. Dunianya hancur, di dunia ini dia hanya sebatang kara.
Demi menjaga warisan sang suami, ibu mertuanya memaksa adik iparnya, Adam, menikahi Aluna, padahal Adam memiliki kekasih yang bernama Laras.
Akankah Aluna dan Adam bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hare Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
“Pagi ini aku akan pergi. Mungkin disana selama dua hari,” ujar Adam kepada sang istri ketika Aluna sedang menyiapkan sarapan.
Sementara Adam memeluk Kiya yang tampak asyik dengan biskuit di tangannya.
Aluna tidak menjawab, dia sibuk dengan masakan yang ada diatas kompor. Bukan tidak mendengar, tapi dia tahu kalau tidak ada yang perlu dia tanggapi. Toh, dia tahu Adam pergi kesana untuk menikah. pastinya selama beberapa hari akan berada disana.
Bahkan pagi ini, dia memang sengaja bangun lebih pagi dari biasanya untuk menyiapkan sarapan sebelum Adam pergi. Diluar sana, masih terlihat gelap.
“Aluna…” panggil Adam lagi.
“Iya, Mas. Hati-hati.”
“Kabari aku kalau ada sesuatu.”
Aluna menoleh sebentar, memastikan dia tidak salah dengar. Biasanya, Adam yang berpesan kalau dia tidak boleh menghubunginya, sekarang apa yang lelaki itu katakan? Dia meminta Aluna mengabari kalau ada apa-apa? Apa tidak salah? Padahal disana Adam sedang bersama istri mudanya.
“Iya, Mas.” Hanya jawaban singkat itu yang Aluna berikan, tapi dia tahu batasan. Disana Adam bersama Laras dan tentu saja dia akan berusaha tidak mengganggunya.
“Nanti aku bawakan oleh-oleh untuk kamu dan Kiya.” Adam kembali bersuara, seolah dia sengaja memancing agar Aluna mengatakan sesuatu kepadanya.
Entah mengapa, dia ingin sekali mendengar Aluna menahannya. Jika Aluna melakukan itu, dia bahkan akan mempertimbangkan keputusan menikahi Laras.
Aneh, bukan?
Katanya dia dan Laras saling mencintai, tapi disaat pernikahan hanya tinggal menghitung waktu, Adam malah berharap Aluna menghentikannya.
Tapi, itu harapan yang sia-sia. Aluna tidak pernah menghentikannya. Aluna terlihat begitu tenang seperti biasanya.
“Gak usah, Mas. Disana fokus saja untuk Laras. Sampaikan maafku kepadanya,” jawab Aluna.
Adam mengernyit. “Maaf untuk apa? Kamu tidak salah apa-apa.”
“Maaf karena telah menjadi orang ketiga diantara kalian, seharusnya kalian bisa berbahagia bersama,” jawab Aluna sambil menyajikan makanan untuk Adam. Nasi dengan lauk sambal telur, sayur sop dan kerupuk udang kesukaan Adam.
Adam menghela nafas berat. “Bukan salah kamu.”
“Sini Kiya sama Mama, Papa mau makan,” ujar Aluna meraih tangan sang putri dari pelukan Adam.
Kiya memang terbiasa bangun pagi bersama dengan Aluna. Setiap kali ibunya bangun dan keluar kamar, dia pasti menyusul. Tapi, Kiya memang anak yang pengertian, dia tidak rewel. Diberikan biskuit atau makanan yang lainnya, Kiya akan tenang dan Aluna bisa masak hingga selesai.
“Kamu gak makan?” tanya Adam. Biasanya Aluna akan makan bersama dengannya.
“Nanti aja, Mas.”
“Kenapa?”
“Gapapa, aku belum shalat. Aku mau shalat dulu,” jawab Aluna memberikan alasan.
Akhirnya Adam hanya bisa mengangguk dan menatap punggung Aluna yang berlalu kembali ke kamar.
Adam makan dalam diam, masakan Aluna memang selalu enak. Meskipun menu yang disiapkan itu sangatlah sederhana, tapi selalu terasa nikmat. Namun, pagi ini terasa berbeda. Adam tidak berselera makan. Pikirannya tidak tenang. Dia masih ragu dengan keputusan ini, hanya saja dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Ancaman Laras untuk bunuh diri membuatnya semakin tertekan. Dia tidak tahu alasan Laras yang sebenarnya ingin menikah. Laras hanya berdalih sangat mencintainya dan takut kehilangannya, tapi Adam merasa ada sesuatu yang disembunyikan Laras.
Sementara itu, Aluna yang kini duduk bersimpuh di dalam mushola kecil di rumahnya yang dulu khusus dibuat oleh Arman. Dalam diamnya, banyak dia yang mengalir deras dari bibirnya. Bahkan dia tidak bisa menahan air matanya.
Adam yang sudah selesai sarapan dan ingin berpamitan tampak menghentikan langkah kakinya tertegun sejenak melihat Aluna yang begitu khusyu mengadu kepada Tuhan nya. Langkah Adam rasanya semakin berat.
“Aluna, tahan aku…” bisik Adam bergumam.
“Papa!” panggil Kiya yang segera berlari mendekat saat melihat Adam berada di depan pintu ruang shalat.
Aluna mengakhiri ibadah nya saat tahu Adam berdiri di depan pintu dan sudah bersiap pergi.
“Sayang, Papa pergi dulu ya. Kiya baik-baik sama Mama. Jangan lupa telepon Papa kalau ada yang mau dititipkan,” ujar Adam sambil menggendong Kiya.
Dia sengaja mengeraskan suara nya agar Aluna mendengarkan, karena dia paham kalau Kiya belum mengerti apa-apa, meskipun kepalanya mengangguk-angguk seolah sangat mengerti dengan semua yang Adam katakan.
“Sudah mau pergi, Mas?” tanya Aluna.
“Iya.”
“Yaudah, pergilah nanti kamu kesiangan. Pastinya banyak yang harus disiapkan sebelum menikah, jangan sampai kamu terlambat,” ucap Aluna sambil meraih tangan Adam, menciumnya dengan takzim.
Adam tertegun. “Atau kamu ikut saja.”
Ide gila itu tiba-tiba saja menyeruak di kepala Adam. Ingin mengajak Aluna menemaninya menikahi Laras. Bukan karena ingin memamerkannya kepada Aluna, dia ingin punya alasan pulang lebih cepat dari sana karena pastinya Kiya akan rewel.
Aluna menggeleng. “Terima kasih, Mas. Aku doakan semoga semuanya berjalan dengan lancar sesuai dengan rencana.”
Akhirnya, sebelum matahari terbit mobil Adam sudah meninggalkan rumah menembus cuaca yang dingin, sedingin hati yang ditinggalkan di rumah merelakan suaminya menikahi kekasihnya.
“Sekarang, Kiya mandi ya,” ujar Aluna setelah mobil Adam menghilang di balik tikungan.
Kiya hanya mengangguk, dia memang paling suka diajak mandi, karena bisa bermain air.
Mobil Adam terus menembus jalanan pagi yang masih sepi. Tidak ada gangguan yang berarti di jalanan. Sepanjang jalan, dia melihat para penduduk yang mulai keluar rumah untuk mencari nafkah. Mereka yang rata-rata bertani itu sudah mulai pergi ke kebun, pemandangan yang begitu menenangkan.
Hanya saja, pikiran di kepala Adam seperti sedang berperang. Akan menikahi laras bukannya membuatnya semakin bahagia, dia justru terjebak memikirkan Aluna. Senyuman Aluna, dan semua yang Aluna lakukan itu terus memenuhi kepalanya.
“Ada apa denganku? Mengapa aku selalu teringat Aluna?” tanya Adam bingung.
Tepat jam sepuluh pagi, Adam akhirnya tiba di depan rumah calon mertuanya. Rumah yang cukup luas, berlantai satu itu tampak cukup ramai dengan kehadiran para tetangga. Persiapan pernikahan dadakan, tapi tidak bisa dibilang sederhana. Meskipun hanya acara di rumah saja, tapi semua dekorasi dari wedding organizer mahal. Uang yang dikeluarkan Adam juga tidak sedikit.
“Sayang, kamu akhirnya datang,” sambut Laras dengan senyum merekah.
“Maaf, kemarin terlalu sibuk. Pekerjaan cukup banya,” jawab Adam membalas pelukan Laras dan mengecup pipi sang calon istri.
“Aku sudah khawatir banget loh.”
“Aku pasti datang,” jawab Adam.
“Aku pikir, wanita itu akan menahanmu dan melarang kamu datang!” ketus Laras dan yang dia maksud adalah Aluna.
“Tidak ada hubungannya dengan Aluna. Dia tahu kita akan menikah, dan dia tidak menahannya. Jangan salahkan dia, Laras.”
“Kamu kok belain dia sih, sayang,” rajuk Laras.
“Ini tentang kita berdua, jangan sebut orang lain,” ucap Adam.
Laras tersenyum dan mengangguk, merasa Adam berpihak padanya dan tidak ingin menyebut nama Aluna saat mereka akan menikah.
“Oh iya, sayang. Kata Mama mas kawinnya harus satu set berlian, loh. Katanya, masa hanya emas sepuluh gram? Apalagi kalau orang tahu aku istri kedua, malu,” rengek Laras.
“Berlian?” tanya Adam tidak percaya.
“Iya, Sayang. Sebentar lagi kita beliin ya, tadi sudah aku pesan di tokonya agar disiapkan yang terbaik untuk kita.”