Kepergok berduaan di dalam mobil di daerah yang jauh dari pemukiman warga membuat Zaliva Andira dan Mahardika yang merupakan saudara sepupu terpaksa harus menikah akibat desakan warga kampung yang merasa keduanya telah melakukan tindakan tak senonoh dikampung mereka.
Akankah pernikahan Za dan Dika bertahan atau justru berakhir, mengingat selama ini Za selalu berpikir Mahardika buaya darat yang memiliki banyak kekasih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon selvi serman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9.
Apapun alasan Mahardika sampai menginginkan seorang anak darinya, tak lagi terlalu di pikirkan oleh Za, biarkanlah semua berjalan sesuai dengan alur kehidupan. Untuk saat ini Za cukup mempersiapkan diri untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri seutuhnya untuk suaminya, dengan begitu ia bisa segera mengandung seorang anak untuk Mahardika.
Usai makan malam, Mahardika dan juga Za pun kembali ke kamar. berprofesi sebagai seorang dokter tentunya Za tahu betul jika setelah makan langsung tidur tak baik bagi kesehatan, makanya gadis itu memilih menonton TV setibanya di kamar begitu pula dengan Mahardika, mereka tak langsung tidur walaupun mata sudah terasa berat karena lelah beraktivitas seharian.
Setengah jam berlalu, masih asyik menikmati alur sinetron yang disajikan oleh salah satu channel TV, tiba-tiba listrik padam.
"Mas, aku takut." Za langsung menggeser posisi duduknya merapat pada Mahardika, melingkarkan tangannya pada lengan suaminya itu.
"Tenanglah....Jangan takut!." Selain suara petir, listrik padam pada malam hari adalah salah satu hal yang juga ditakuti oleh Za. Dahulu, sewaktu kecil Za pernah mengalami kejadian tak mengenakan saat listrik padam, Za tersandung hingga menabrak sudut meja ketika berjalan di kegelapan dan itu membuat kepala Za sampai berdar-ah, sejak saat itulah Za takut saat listrik padam pada malam hari.
"Kamu tunggu di sini sebentar, mas mau mengecek kondisi diluar!." Mahardika ingin memastikan apakah pemadaman listrik terjadi keseluruhan atau hanya listrik di kediaman mereka saja yang padam.
"Nggak mau, aku ikut." Mungkin karena takut ditinggal oleh Mahardika, Za sampai tak sadar mendudukkan tubuhnya di pangkuan Mahardika, dan tindakan Za tersebut mampu mengejutkan Mahardika. Untungnya gelap jadi Za tak dapat melihat gurat terkejut diwajah Mahardika.
"Ok, kamu ikut." jawab Mahardika. "Tapi_."
"Tapi apalagi sih mas? pokoknya aku nggak mau ditinggal sendirian." kekeh Za.
"Iya, mas tahu kamu takut. Tapi masalahnya, bagaimana mas bisa berdiri kalau kamu duduk dipangkuan mas begini?."
Za yang baru tersadar akan tindakannya itu lantas bangkit dari pangkuan Mahardika. namun tangannya jangan ditanya, tetap melingkar cantik pada pergelangan tangan Mahardika.
"Di mana kamu meletakkan ponselmu?." Tanya Dika.
Za baru menyadari kebodohannya, ternyata ponselnya ada di saku piyamanya tapi tidak dipergunakan gadis itu sebagai penerangan. Sepersekian detik kemudian Za mengeluarkan ponselnya dan menghidupkan senter di ponselnya sebagai penerangan.
Mahardika yang melihatnya langsung mengulum senyum sambil geleng kepala.
"Namanya juga panik mas, jadinya nggak kepikiran." Tutur Za. Meskipun hanya mengandalkan penerangan dari cahaya senter di ponselnya tapi Za masih dapat melihat ekspresi Mahardika saat ini.
"Okey... alasannya di terima, nyonya Mahardika." balas Mahardika dan itu membuat lengan pria itu mendapat tabokan pelan dari tangan mungil Za yang sebal Mahardika masih sempat-sempatnya bercanda di saat seperti ini. Setelah drama tabok-menabok dari Za tadi kini mereka pun beranjak keluar kamar, hendak memastikan apa yang sebenarnya terjadi hingga listrik tiba-tiba padam.
Di lantai bawah mereka bertemu dengan bi Inah di rumah tengah.
"Apa listrik tetangga juga padam, bi?."Tanya Mahardika.
"Sepertinya tidak den, bibi sudah cek soalnya. Hanya listrik di rumah ini saja yang padam." jawab Bibi.
"Kenapa bisa ya?." gumam Mahardika. Tidak mungkin kan kehabisan token, sangat mustahil.
"Non Za takut ya?."
Sudah jelas-jelas melihat Za bergelayut di lengan Mahardika, si bibi malah pake tanya segala lagi, mana wanita paruh baya tersebut senyum-senyum tak jelas.
"Coba deh Dika cek dulu, siapa tahu sekringnya turun apa gimana." Kata Dika lalu kembali mengayunkan langkah hendak mengecek apa yang terjadi.
"Den Dika mau ngapain?." Tanya Bibi ketika melihat Dika hendak membuka penutup pembatas listrik dengan kapasitas daya tinggi tersebut.
"Cuma mau mengecek saja, bi." jawab Dika.
"Jangan den, bahaya!." Tegur bibi takut terjadi sesuatu pada putra majikannya itu, mana Mahardika anak tunggal lagi. Kalau Dika sampai kenapa-napa bisa di peng-gal semua para ART di rumah itu sama papa Okta.
"Nggak papa, bi. lagian kasian kalau mama dan papa pulang nanti, listrik dalam kondisi padam seperti ini."
"Mas ngerti nggak sih di bilangin jangan, bahaya." Za yang sejak tadi sudah gemas dengan keras kepalanya Mahardika akhirnya ikut bersuara. "Lagian, nggak lucu belum sebulan menikah aku sudah harus menyandang status janda kalau sampai kamu kenapa-napa, mas." imbuh Za saking gemas bercampur kesal atas sikap keras kepala Dika.
Mahardika pun mengurungkan niatnya, dan pria itu terlihat mengulum senyum. Merasa lucu dengan sikap istrinya itu, kemarin Za mengatakan ingin berpisah darinya, tapi malam ini Justru mengatakan tak ingin sampai terjadi sesuatu pada dirinya karena tidak ingin menjanda, gimana konsepnya? Zaliva....Zaliva....
"Den Dika nggak perlu memikirkan tuan dan nyonya! Barusan nyonya telepon katanya malam ini akan menginap di hotel. Sahabat nyonya memfasilitasi para sahabatnya untuk menginap di hotel bersama pasangannya." beritahu bibi dan Mahardika meresponnya dengan anggukan paham.
"Kalau begitu, mas menghidupkan mesin genset saja." Tawar Mahardika. Di kediaman itu difasilitasi genset dengan kapasitas premium yang bisa digunakan sewaktu-waktu jika diperlukan, seperti malam ini contohnya.
"Jangan Den, bibi juga takut, soalnya den Dika pasti nggak tahu caranya, sementara mang Dodo belum juga kembali setelah mengantarkan tuan dan nyonya tadi.
"Mending nggak usah aneh-aneh deh mas, lagian kamu itu bukan tukang listrik apalagi tukang genset. pekerjaan CEO sama tukang genset nggak sama, mas mau kesetrum?."
"Apa kamu nggak masalah malam ini tidur gelap-gelapan, mana AC nggak hidup karena listrik padam seperti ini. Nggak takut kepanasan?."
"Nggak papa deh kepanasan, dari pada nanti kamu malah kenapa-napa." biarlah malam ini mereka tidur tanpa fasilitas mesin pendingin ruangan, ketimbang harus menjanda karena terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada suaminya, begitu pikir Za.
Mahardika dan Za pun kembali ke kamar begitu pula dengan bi Inah. Herannya dari beberapa orang art di rumah itu, hanya bi Inah seorang yang keluar dari kamarnya. entah kenapa, Mahardika pun tidak paham.
Hanya dengan mengandalkan penerangan dari cahaya senter di ponsel, Mahardika dan Za pun beranjak naik ke peraduan.
Mahardika kembali mengulum senyum saat menyadari Za tak lagi meletakkan guling Sebagai perantara di tengah-tengah mereka. Bukan hanya itu saja, Za bahkan memposisikan tidurnya merapat pada Mahardika.
Berbeda dengan Za yang kini sudah tertidur lelap, Mahardika justru tak dapat memejamkan matanya. bagaimana bisa memejamkan mata jika kini salah satu kaki Zaliva bertengger di antara kedua pahanya. Dengan hati-hati Mahardika menurunkan kaki Za. "Maaf sayang...! Bukan apa-apa, mas khawatir kamu membangunkan sesuatu." gumam Dika dengan nada Lirih.
Baru bernapas lega kaki Za berhasil diturunkan oleh Mahardika, kini istrinya itu kembali melakukan pergerakan, menjadikan lengan Dika sebagai bantal, dan menyandarkan wajahnya pada da-da bidang Dika . Tangannya jangan ditanya, karena kini salah satu tangan Za sudah berada di atas perut Mahardika. Posisi yang cukup menguji iman Dika sebagai seorang pria normal. "Ya Tuhan ....Kamu benar-benar menguji imannya mas, Zaliva."
bener nih kata papa Okta,baru juga ditinggal sebentar udah sedih...
gimana nanti jika pisah beneran...