Maya Amelia, seorang mahasiswi hukum Universitas Bangsa Mulya, tak pernah menyangka kalau takdir akan mempertemukannya dengan Adrian Martadinata pengacara muda,tampan,dan terkenal di kalangan sosialita.
Awalnya, Maya hanya mengagumi sosok Adrian dari jauh. Namun, karena sebuah urusan keluarga yang rumit, Adrian terpaksa menikahi Maya gadis magang yang bahkan belum lulus kuliah, dan tak punya apa-apa selain mimpinya.
Setelah Menikah Adrian Tak bisa melupakan Cinta Pertamanya Lily Berliana seorang Gundik kelas atas yang melayani Politisi, CEO, Pejabat, Dokter, Hingga Orang-orang yang punya Kekuasaan Dan Uang. Lily Mendekati Adrian selain karena posisi dirinya juga mau terpandang, bahkan setelah tahu Adrian sudah memiliki istri bernama Maya, Maya yang masih muda berusaha jadi istri yang baik tapi selalu di pandang sebelah mata oleh Adrian. Bahkan Adrian Tak segan melakukan KDRT, Tapi Ibunya Maya yang lama meninggalkannya kembali Greta MARCELONEZ asal Filipina untuk melindungi Putrinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Warung Ramai Dan Hadiah Dari Ayah
Hari itu, warung makan Ahmad mendadak semakin ramai. Sejak Maya mendaftarkan warung mereka di GoFood dan GrabFood, pesanan tak henti-henti berdatangan.
Karyawan sibuk mondar-mandir mengantarkan makanan, dapur dipenuhi aroma ikan bakar dan ayam goreng sambal terasi yang jadi andalan. Di antara hiruk-pikuk itu, Ahmad tak bisa menyembunyikan senyum bangganya.
Sambil membolak-balikkan ikan kembung di atas pemanggang, Ahmad menatap ke arah meja kasir, tempat Maya duduk sambil mencatat pesanan masuk dari aplikasi. Hatinya hangat—sang putri yang selama ini ia besarkan sendiri kini tumbuh jadi gadis cekatan dan penuh inisiatif.
Di sela kesibukan, Maya menghampiri dapur, ragu-ragu membuka pembicaraan.
“Pak… Maya minta izin ya. Tiara ngajak nonton film. Katanya mau traktir bioskop sore ini,” ucap Maya pelan sambil menggesek jari-jarinya gugup.
Ahmad tak langsung menjawab. Ia menurunkan suara kompor lalu menoleh.
“Kamu itu jangan terlalu sering ngerepotin Tiara, Nduk. Takutnya kamu jadi gak enak sendiri.”
“Tapi ini katanya Tiara yang ngajak, Pak. Lagian… makan abis nonton biar Maya aja yang traktir, ya?” Maya mencoba meyakinkan sambil tersenyum.
Ahmad mengangguk perlahan, lalu kembali ke kompor.
“Yaudah. Tapi jangan pulang kemaleman, ya. Ayah izinin karena kamu udah bantu Ayah banyak. Ajarin GoFood aja udah luar biasa.”
Maya mengangguk cepat, matanya berbinar.
“Siap, Pak! Maya pulang sebelum maghrib.”
Ahmad tersenyum tipis, lalu kembali fokus membumbui ikan bakar. Dalam hati, ia berucap lirih sambil menatap api kompor yang tenang.
“Greta… kalau kamu ada di sini, pasti kamu bangga banget lihat anak kita sekarang.”
Ia menyebut nama mantan istrinya yang kini tinggal di Manila. Meski mereka berpisah sejak Maya masih bayi, Ahmad selalu berusaha menjadi ayah sekaligus ibu.
Dan kini, melihat Maya tumbuh baik, mandiri, dan penuh empati… ia tahu perjuangannya tidak sia-sia.
Sementara itu, pesanan baru dari aplikasi kembali masuk. Warung makin ramai. Ahmad menghapus keringat dari pelipisnya, lalu berseru ke dapur.
“Wulan, ayam goreng satu lagi ya! Maya, kamu tolong cek sambel yang habis!”
Hari itu, meski melelahkan, terasa begitu hangat—karena di balik aroma masakan dan layar ponsel yang terus menyala, tersimpan harapan dan cinta keluarga yang sederhana.
Begitu mendapatkan izin dari sang ayah, Maya segera berpamitan dan pulang lebih dulu ke rumah untuk bersiap-siap.
Di kamarnya yang sederhana, Maya mengganti pakaian. Ia memilih celana kulot warna khaki yang nyaman dan atasan blouse putih dengan potongan simpel namun rapi.
Ditatapnya pantulan dirinya di cermin kecil di sudut kamar. Maya menyisir poni depannya lalu merapikan rambut panjangnya yang terurai. Tak banyak polesan. Cukup lip balm dan bedak tipis. Seperti biasa, Maya tampil natural.
“Cukup begini aja, gak usah heboh. Nonton doang ini,” gumamnya kecil sambil tersenyum.
Setelah memastikan semuanya oke, Maya mengambil tas kecil, lalu membuka aplikasi ojek online dan memesan perjalanan ke rumah Tiara.
Beberapa menit kemudian, motor datang Maya mengunci pintu rumah. Maya turun ke teras dan pamit sebentar pada salah satu pegawai yang kebetulan lewat di depan rumah.
“Mbak, aku pergi dulu ya. Titip rumah,” ucapnya singkat.
Ia kemudian naik ke motor, mengenakan helm, dan meluncur menuju rumah sahabatnya—si ceria dan kadang bawel, Tiara. Di dalam hati, Maya merasa senang.
Bukan karena film yang akan mereka tonton, tapi karena punya teman yang selalu ada, meski hidup mereka berbeda jauh.
Motor ojek yang membawa Maya berhenti tepat di depan sebuah bangunan tiga lantai bergaya modern minimalis. Di pagar tertulis nama bangunan itu: "KOS PUTRI ALLEGRA RESIDENCE." Kos-kosan mewah yang lebih mirip apartemen kecil, dindingnya bersih, cat putih abu-abu, dan halaman depannya dihiasi tanaman pot yang terawat rapi.
Maya turun dari motor, membayar ojek lewat aplikasi, lalu menatap bangunan megah itu dengan sedikit kagum.
“Wah… tiap kali ke sini, berasa masuk dunia lain,” gumamnya kecil, sambil menyusuri jalan setapak menuju pintu depan.
Beberapa saat kemudian, Tiara muncul dengan gaya khasnya—casual tapi tetap modis, mengenakan jeans high-waist dan kemeja oversized yang digulung hingga siku. Rambutnya dikuncir setengah, make-up natural tapi terlihat mahal.
“May! Udah lama nunggu?” sapa Tiara ceria.
“Baru juga nyampe, orang ojeknya ngebut,” jawab Maya sambil tersenyum.
“Kuy berangkat, nanti keburu penuh,” kata Tiara, menarik tangan Maya pelan.
Mereka berdua berjalan ke ujung gang, menunggu angkutan umum. Kali ini bukan ojek online atau taksi—mereka sepakat naik TransJakarta biar lebih hemat dan bisa sekalian ngobrol sepanjang jalan.
Di halte, Maya duduk menunggu bus dengan tenang, sementara Tiara sibuk membuka aplikasi untuk ngecek jadwal film dan jam tayang.
“Eh, kita nonton yang jam 3 aja ya, masih sempet makan dulu,” kata Tiara.
“Ikutin aja, aku mah yang penting ditraktir,” jawab Maya sambil terkekeh.
Tak lama kemudian, bus datang. Mereka naik bersama, duduk berdampingan, dan mulai mengobrol ringan tentang kampus, dosen killer, sampai rencana magang semester depan.
Namun, Maya tak tahu... perjalanan singkat ini akan menjadi awal dari hal-hal yang perlahan mengubah hidupnya.
Suasana foodcourt mulai padat. Wangi makanan dari berbagai tenant menggoda siapa saja yang lewat. Maya dan Tiara berjalan pelan sambil mencari tempat duduk kosong.
Tiba-tiba Maya menarik lengan Tiara pelan, matanya berbinar melihat satu stand kecil di pojok yang menjual Takoyaki.
“Eh Ra, makan dulu yuk. Lu belum makan siang 'kan? Kali ini gua yang traktir ya?” tawar Maya sambil tersenyum.
Tiara menoleh, kaget tapi senang. “Hah? Lu yang traktir? Tumben!”
“Gak tumben sih, cuma… gua seneng aja hari ini. Tadi Ayah izinin nonton, terus warung juga rame banget orderan online. Kayak... lega gitu rasanya,” jelas Maya sambil berjalan ke arah stand takoyaki.
Tiara tersenyum tulus. “Ih, so sweet lo May. Tapi yaudah deh, gua pesen yang isi keju ya.”
“Iya-iya, situ kayak bos aja,” kata Maya sambil membayar ke kasir.
Mereka duduk di meja kecil dengan nampan berisi takoyaki panas yang masih mengepul. Aroma saus dan mayo yang menggoda langsung membuat perut keroncongan.
Maya membuka tusuk giginya, meniup pelan takoyaki panas, lalu menggigitnya dengan hati-hati.
“Gila, enak banget,” gumamnya.
Tiara tertawa. “Lu tuh gampang banget bahagia ya May.”
Maya hanya mengangguk sambil tersenyum. “Buat gua, bisa makan enak bareng temen, itu udah rejeki besar.”
Tiara memandangi Maya beberapa detik, terdiam. Di balik kesederhanaannya, Maya selalu membuat orang lain merasa nyaman. Hatinya jernih, pikirannya tulus. Dan tanpa disadari, itulah yang membuatnya bersinar dibanding yang lain.
Maya dan Tiara masih menikmati takoyaki mereka. Suasana santai, tawa kecil sesekali terdengar dari keduanya.
Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara tawa nyaring yang sangat familiar bagi Maya. Ia menoleh refleks.
Matanya langsung membulat.
Lily.
Perempuan yang kemarin bertabrakan dengannya di kampus. Tapi kali ini Lily tidak sendiri—dia berjalan mesra, tangannya melingkar di lengan seorang pria tua elegan yang tampak seperti pejabat atau pengusaha.
Tiara juga melihat ke arah yang sama.
“Eh… bukannya itu Lily?” bisiknya pelan ke Maya.
Maya menunduk cepat, berusaha tak memandangi mereka terlalu lama. “Iya, tapi gua males liatnya.”
“Lah, itu siapa yang sama dia? Suaminya?” tanya Tiara heran.
Maya menggeleng pelan. “Entahlah… tapi bukan Adrian kayaknya.”
Mereka berdua hanya sempat mengamati beberapa detik sebelum Lily menoleh ke arah mereka. Kontak mata terjadi.
Tatapan Lily menusuk.
Ia jelas mengenali Maya—dan ekspresinya berubah sinis, seolah berkata: ‘Apa yang kamu lihat?’
Lily mencibir kecil lalu membalikkan badan, menggandeng pria itu lebih mesra sambil berjalan menjauh.
Tiara mendesis. “Gila… itu sugar daddynya kali ya?”
Maya diam. Ada perasaan aneh di dadanya—campuran antara geli, kasihan, dan entah kenapa… waspada. Seolah kehadiran Lily tak akan berhenti sampai di sini.
“Udahlah, yuk habisin makanannya. Filmnya bentar lagi mulai,” ujar Maya mencoba mengalihkan suasana.
Tiara mengangguk, tapi dalam hati keduanya menyadari: hari ini tak lagi biasa-biasa saja.
Pinginnya gak panjang-panjang awalan ceritanya...
malah kadang suka lebih seru kalau awalan nya langsung yg konflik atau sudah jadi nya aja 👍😁
Ditengah atau setelahnya baru dehh bisa di ceritakan lagi sedikit atau pelan-pelan proses dari awalan Konflik tsb 👍😁🙏
kalau di awalin sebuah perjalanan cerita tsb,kadang suka nimbulin boring dulu baca nya... kelamaan ke konflik cerita tsb nya 🙏🙏🙏