NovelToon NovelToon
The Villain Wears A Crown

The Villain Wears A Crown

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: karinabukankari

Balas dendam? Sudah pasti. Cinta? Tak seharusnya. Tapi apa yang akan kau lakukan… jika musuhmu memakaikanmu mahkota?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon karinabukankari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 8: Ashes That Speak

Angin malam masih menggoyang tirai di jendela ruang pribadi Seraphine saat langkah kaki membawanya ke aula bawah tanah—tempat Ash, sang “pangeran yang jatuh,” terakhir kali dilihat oleh mata dunia.

Setelah pengungkapan mengejutkan bahwa kakaknya masih hidup, Seraphine nyaris kehilangan pijakan. Ia nyaris lupa menyembunyikan emosi ketika nama itu terdengar dari mulut Caelum. “Ash Verndale.” Nama yang seharusnya tinggal kenangan, kini berdenyut kembali dalam darahnya.

“Dia menunggu di ruang besi,” kata Caelum sebelumnya. “Tapi dia tak seperti dulu. Dia... berubah.”

Tentu saja dia berubah, pikir Seraphine. Siapa pun yang selamat dari pembantaian seperti mereka akan berubah.

Lorong ke ruang besi sepi. Hanya obor-obor tua yang menyala redup, memberi bayangan panjang yang menari di dinding batu. Langkah Seraphine bergema, setiap detaknya membawa napas dari masa lalu yang mengintai di setiap sudut.

Dan di ujung lorong itu...

Seorang pria berdiri membelakanginya.

Tinggi. Rambutnya hitam pekat, seperti bara yang hampir padam. Bahunya kokoh, namun tegap bagai tentara yang terlatih—atau mungkin seseorang yang terlalu lama bertahan dalam kehancuran.

"Seraphine," suara itu berat. Dingin. Tapi di dalamnya ada getaran asing... genting namun akrab.

"Ash," jawabnya pelan. Ia hampir tak percaya.

Pria itu berbalik perlahan.

Wajah itu... ada kemiripan dengan ayah mereka. Tapi juga bekas luka di pipi kiri, seperti sisa cambuk yang tak pernah sembuh. Mata kelam itu bukan lagi milik kakaknya yang dulu. Mata itu telah melihat terlalu banyak. Terlalu dalam.

Namun ketika mereka saling menatap, waktu runtuh di antara mereka.

Selama beberapa detik, tidak ada kerajaan. Tidak ada pengkhianatan. Tidak ada darah.

Hanya kakak dan adik yang saling menemukan lagi setelah dunia berusaha memisahkan mereka.

“Aku kira kau mati,” bisik Seraphine.

“Aku juga mengira begitu tentangmu,” kata Ash. “Tapi ternyata... kita sama keras kepalanya.”

Mereka tertawa kecil—patah, kaku, dan nyaris tragis. Tapi itu tawa pertama yang keluar dari bibir Seraphine sejak ia kembali ke istana.

“Aku ingin tahu segalanya,” katanya. “Apa yang terjadi padamu? Bagaimana kau bertahan?”

Ash duduk di bangku besi tua, menunjuk tempat di sampingnya.

“Setelah malam itu... aku tidak dibunuh. Mereka membawaku ke barak Ordo Tertutup. Katanya, aku akan dididik untuk melupakan segalanya. Menjadi alat.”

“Mereka mencuci otakmu?” Seraphine mencengkeram gaunnya.

Ash mengangguk. “Tapi aku tidak pernah benar-benar lupa. Bahkan saat aku bersumpah melayani Raja Elric, bahkan saat mereka memberiku nama baru—'Sang Hantu Mahkota'—aku menyimpan satu hal.”

“Apa?”

“Kau,” katanya pelan. “Dan nama kita yang tak boleh diucapkan.”

Seraphine mengedip, mencoba menahan air mata. Tapi Ash mendongak dan tersenyum miring.

“Jangan mulai menangis, Seraphine. Atau aku akan ikut, dan kita akan terlihat seperti dua kentang busuk yang direbus emosi.”

Seraphine tertawa, terkejut oleh perumpamaan aneh itu.

“Kau masih aneh,” katanya.

“Kau masih dramatis,” balas Ash. “Kau menyamar sebagai calon ratu? Kau sadar betapa berbahayanya itu?”

“Lebih berbahaya jadi kentang busuk yang menyusup ke dapur kerajaan,” Seraphine membalas. “Kalau kau bisa hidup sebagai bayangan selama ini, aku juga bisa.”

Mereka tertawa lagi, kali ini lebih lepas. Untuk sesaat, mereka tidak hanya menjadi korban masa lalu. Mereka menjadi saudara. Utuh.

Namun suasana kembali tegang ketika Ash merendahkan suaranya.

“Orin mungkin masih hidup.”

Deg.

“Apa?”

Ash menatap lurus. “Sebelum aku kabur dari Ordo, aku menemukan catatan rahasia. Ada anak laki-laki... diberi kode ‘Subjek O3.’ Ditemukan di reruntuhan Verndale, tapi... tidak dibunuh. Dikirim ke tempat eksperimen di wilayah timur.”

Seraphine merasa dunianya runtuh lagi. “Berarti dia...”

“Aku tidak tahu pasti,” kata Ash. “Tapi jika Orin hidup... maka semuanya berubah.”

Mereka saling menatap. Tak perlu kata-kata untuk menyadari betapa besar makna dari temuan itu. Orin adalah kunci terakhir. Saudara kecil mereka. Dan mungkin... satu-satunya alasan Seraphine belum membakar seluruh kerajaan hingga jadi abu.

“Aku harus ke timur,” Ash akhirnya berkata. “Tapi aku butuh waktu. Dan kau... harus tetap di sini. Dekat dengan Caelum.”

Seraphine terdiam. Nama itu kembali menggema di pikirannya. Caelum. Mata itu. Tangan itu yang nyaris menyentuhnya malam lalu.

“Dia... tidak seperti ayahnya,” gumamnya.

Ash menajamkan tatapan. “Jangan jatuh cinta padanya, Sera. Itu akan menghancurkanmu lebih dalam dari apa pun.”

“Sudah terlambat?” Seraphine menatap ke bawah.

Ash menghela napas. “Kau memang keras kepala.”

Keesokan paginya, di ruang makan para bangsawan, suasana lebih... tidak wajar dari biasanya.

Lady Mirella tengah bersitegang dengan Lord Everett, bangsawan muda yang tampaknya tidak tahu kapan harus diam.

“Kurasa,” ujar Everett sambil mengibas rambutnya yang terlalu mengkilap, “jika aku menjadi raja, aku akan melarang warna ungu. Terlalu... suram.”

Seraphine menyembunyikan tawa di balik cangkir tehnya.

“Dan kau akan memerintah kerajaan seperti fashion week?” seloroh Mirella dengan nada manis yang penuh racun.

Everett, tak menyadari, mengangguk serius. “Tentu saja. Estetika adalah segalanya.”

Seraphine berbisik pada Mirella, “Aku rela mendukung kudeta jika itu artinya kita membungkamnya.”

Mirella nyaris menyemburkan tehnya.

Caelum memasuki ruangan saat itu, dan semua perhatian tertuju padanya. Ia tampak lelah, tapi tetap memikat. Dengan jubah hitam dan emblem singa bersayap di bahunya, ia tampak seperti malam itu sendiri—anggun, berbahaya, dan penuh rahasia.

Ia duduk tepat di seberang Seraphine.

Dan tanpa mengucap sepatah kata pun, meletakkan sesuatu di atas meja: liontin kecil berbentuk elips—sama persis dengan milik Seraphine.

Jantungnya berhenti berdetak sesaat.

“Di mana kau mendapat itu?” bisiknya, lebih pelan dari desir angin.

Caelum tidak menjawab. Ia hanya menatapnya, seolah mengatakan: “Aku tahu lebih dari yang kau pikirkan.”

Di malam harinya, Seraphine mendatangi balkon timur. Tempat favoritnya untuk berpikir.

Langit malam bersih. Bulan menggantung tinggi, menyinari istana seperti mata yang mengawasi segalanya.

Caelum sudah di sana.

“Kau tahu tentang liontin itu,” katanya tanpa menoleh.

Seraphine mengangguk. “Itu milik adikku. Ada dua. Ibuku membuatnya untuk kami. Satu untukku. Satu untuk Orin.”

Caelum menyerahkan liontin itu padanya. “Aku menemukannya di reruntuhan kapel lama. Saat pembersihan istana dimulai setelah pemberontakan kecil tiga tahun lalu.”

“Pemberontakan... yang ‘tidak pernah tercatat’ dalam sejarah resmi,” sindir Seraphine.

Caelum mengangguk. “Seperti banyak hal di kerajaan ini. Terutama tentang keluargamu.”

Seraphine menggenggam liontin itu erat. “Kenapa kau menunjukkannya padaku sekarang?”

Caelum menatapnya dalam-dalam. “Karena aku ingin tahu apakah... kau akan jujur padaku.”

Keheningan menggantung.

Seraphine mendekat. “Kau lebih tahu dari yang kau tunjukkan, bukan?”

“Aku dibesarkan di istana penuh kebohongan,” jawabnya. “Aku belajar bahwa kebenaran tidak datang dalam bentuk pengakuan... tapi dalam tatapan. Gerakan. Keheningan.”

Mereka berdiri hanya sejengkal.

Seraphine menatapnya—dan kali ini, bukan sebagai alat balas dendam. Tapi sebagai perempuan yang terlalu lama hidup dalam kemarahan.

“Jika kau bukan musuhku,” bisiknya. “Jangan menjadi penghalangku.”

Caelum mendekat lebih jauh. “Dan jika aku bukan sekutu...?”

Seraphine menatap mata itu. Dalam, jujur, dan penuh luka.

“Maka aku akan membiarkanmu pergi.”

Langit Ravennor berubah kelabu ketika matahari nyaris tak mampu menembus kabut sihir yang menyelimuti istana. Di menara barat, lonceng kematian berdentang tiga kali—tanda bahwa salah satu anggota dewan kerajaan telah ditemukan… dalam keadaan yang tak layak disiarkan kepada publik.

Di tengah kekacauan itu, Seraphine berdiri di aula kaca, dikelilingi cermin-cermin tinggi yang menampakkan bayangan dirinya dari segala sisi. Namun yang ia lihat bukanlah Lady Seraphine sang calon ratu.

Yang menatap balik dari cermin… adalah Elara Verndale.

Rambutnya kini digelung ke atas, dihiasi sisir perak bertatah zamrud—perhiasan terakhir yang diselamatkan dari reruntuhan rumah mereka. Gaun malamnya memeluk tubuh dengan sempurna, warna gelap darah yang menolak luntur, dan di tangannya, ia menggenggam surat dari Ash.

Bukan surat yang penuh emosi.

Bukan juga permohonan untuk berhenti.

Melainkan sebuah peta dan satu baris tulisan:

"The crownless heir lives. Orin is in the Hollow Court."

Di ruangan sebelah, Pangeran Caelum baru saja membanting pintu kabinet. Surat dari dewan penyihir senior membuat darahnya mendidih.

“Bagaimana bisa mereka mencurigai aku menggunakan sihir kegelapan?!” serunya, setengah pada dirinya sendiri.

Dari pojok ruangan, Roderic—pengawal setia yang juga terkenal karena kemampuan memasaknya yang... unik—menjawab pelan, “Mungkin karena Anda secara tidak sengaja membuat vas bunga meledak ketika marah kemarin malam, Yang Mulia.”

“Itu... refleks.”

“Dan ketika lantai balkon tiba-tiba runtuh setelah Anda bersin?”

“Itu angin dingin. Bukan kutukan.”

Roderic mengangkat bahu. “Kalau begitu, saya tidak tahu lagi, Yang Mulia.”

Caelum menghela napas panjang. Ia memijat pelipisnya, lalu memandang ke luar jendela.

“Seraphine tahu lebih banyak daripada yang dia katakan, Rod. Ada sesuatu dalam matanya… seolah dia menyimpan seluruh Ravennor di balik tatapan itu.”

Roderic menyipitkan mata. “Tatapan penuh rahasia dan potensi pembalasan dendam? Suka yang seperti itu ya, Pangeran?”

“Salah satu dari kita harus punya selera buruk, bukan?”

Roderic hanya terkekeh dan kembali ke pekerjaannya—memoles pedangnya dengan semangat yang terlalu besar.

Sementara itu, di lorong bawah tanah istana, Seraphine menyusuri jalur tersembunyi menuju ruang arsip tua. Dindingnya dipenuhi sulur sihir yang bergerak perlahan seperti akar pohon, berdenyut dengan energi magis yang membangkitkan kenangan masa lalu.

Di tangannya, ia menggenggam liontin yang sama dari masa kecilnya.

“Orin…” bisiknya, saat ia berhenti di depan lukisan dinding yang nyaris terhapus waktu.

Sebuah simbol lingkaran dengan tiga mata di dalamnya terpahat samar.

Simbol itu—lambang Hollow Court.

Ia menempelkan liontin ke celah ukiran dan… klik. Sebuah panel terbuka, menampakkan pintu batu menuju lorong gelap.

Seraphine melangkah masuk.

Udara di dalam dingin dan berbau tanah basah. Setiap langkah menggema, seolah lorong itu mengingat siapa yang pernah melaluinya. Di kejauhan, suara aliran air bercampur dengan bisikan—bisikan yang tidak berasal dari makhluk hidup.

Ia terus berjalan, hingga tiba di ruangan bundar dengan altar di tengahnya. Di sana, berdiri seorang pria berjubah hitam, wajahnya tersembunyi di balik topeng logam.

“Kau terlambat,” ucapnya, suaranya dalam dan dingin.

“Aku tidak tahu kita punya janji,” jawab Seraphine tenang.

“Tidak semua janji diucapkan. Beberapa… diwariskan melalui darah.”

Seraphine menatap mata pria itu melalui topengnya. “Siapa kau?”

Pria itu mengangkat tangannya, membuka tudungnya perlahan.

Dan Seraphine membeku.

Mata itu—mata biru kelabu yang hanya dimiliki satu orang dalam hidupnya.

“Orin?”

Adiknya—kini berusia sekitar delapan belas—berdiri di hadapannya. Tapi bukan lagi anak kecil yang ia ingat. Tubuhnya tinggi, wajahnya tegas, dan aura kekuatan mengelilinginya seperti bayangan yang hidup.

“Kau mati,” bisik Seraphine, langkahnya mundur setengah.

“Aku diselamatkan,” jawab Orin. “Oleh mereka yang menginginkan akhir dari kekuasaan palsu keluarga kerajaan.”

“Mereka menculikmu!”

“Mereka membuka mataku!”

Suara Orin menggelegar, dan lorong bergetar.

Seraphine mendekat. “Aku mencarimu selama tujuh tahun…”

“Aku tahu.”

“Aku ingin kita bersama lagi.”

“Kau ingin aku kembali menjadi anak kecil yang patuh? Menjadi adik yang menatapmu dengan rasa takut?”

Seraphine menelan ludah. “Tidak. Aku hanya ingin tahu bahwa kau… hidup.”

Orin menunduk. “Aku hidup. Dan aku akan merebut Ravennor dari tangan yang salah.”

Di sisi lain istana, Caelum duduk di ruangan pertemuan rahasia bersama tiga anggota dewan sihir.

“Pangeran, Anda harus segera memutuskan,” kata Master Veylin. “Kita mendeteksi pergerakan kekuatan dari Hollow Court. Mereka mendekat.”

“Siapa pemimpinnya sekarang?” tanya Caelum.

“Tidak pasti… Tapi sumber kami menyebut nama ‘Pewaris Tanpa Mahkota.’”

Caelum mendadak berdiri. “Aku tahu siapa itu.”

“Siapa, Yang Mulia?”

“Orin Verndale.”

Para penyihir saling memandang dengan raut syok.

“Tapi… dia hilang,” gumam salah satu dari mereka.

“Tidak lagi.”

Caelum mengepalkan tinjunya. “Dan jika dia kembali, maka Lady Seraphine bukan hanya tunanganku. Dia adalah saudara dari ancaman terbesar yang pernah dihadapi kerajaan ini.”

Malam menjelang, dan pesta topeng digelar di aula utama istana sebagai bagian dari perayaan musim panen. Bangsawan-bangsawan berdansa dengan anggur di tangan dan bisikan gosip di bibir.

Seraphine berdiri di tengah keramaian, mengenakan topeng emas yang menutupi separuh wajahnya. Dari kejauhan, Caelum melihatnya—dan melangkah mendekat dengan tatapan waspada.

“Kau menari malam ini?” tanyanya sambil menawari tangan.

Seraphine menoleh. “Hanya jika pasanganku cukup lihai untuk tidak menginjak kakiku.”

“Kabar baiknya,” kata Caelum sambil tersenyum miring, “aku sudah cukup sering diinjak oleh nasib. Jadi langkahku lumayan luwes sekarang.”

Mereka tertawa kecil—sebuah celah langka di antara ketegangan yang terus menebal.

Saat mereka berdansa, musik mengalun dan bintang-bintang terlihat dari atap kaca aula.

Namun dalam keindahan malam itu, bahaya mengintai.

Di antara para tamu, seseorang dengan jubah gelap menyusup, membawa pisau tipis berlumur racun—menuju singgasana yang belum diduduki.

Aula pesta telah berubah.

Bukan lagi lantai dansa dengan gelas anggur dan tawa aristokrat.

Kini, di tengahnya, dua mayat tergeletak bersimbah darah. Tamu-tamu melarikan diri, topeng-topeng beterbangan, dan para pengawal berlarian mencoba mengendalikan kekacauan. Musik berhenti, digantikan teriakan dan derap kaki mendebarkan lantai marmer.

Seraphine berdiri terpaku, gaun malamnya berlumur darah yang bukan miliknya. Matanya masih mengarah pada sosok bertudung yang tadi mencoba menyerang singgasana—tempat Caelum seharusnya duduk.

Namun penyerang itu kini lenyap. Seperti bayangan malam yang mencair ke dalam tembok.

Caelum menarik napas panjang, masih berdiri di samping Seraphine dengan pedang setengah terhunus.

“Kau tidak apa-apa?” tanyanya cepat.

“Bukan aku yang jadi target.” Suara Seraphine serak. “Tapi kau.”

Caelum menyipitkan mata. “Kau yakin?”

Seraphine tidak menjawab. Ia memandang bekas luka di lantai marmer—jejak darah membentuk lambang tiga mata. Simbol yang sama dari Hollow Court.

“Mereka mengincar singgasana.” Seraphine bergumam. “Orin sudah bergerak.”

Di lorong bawah tanah, Orin berdiri menghadap para anggota Hollow Court.

Pakaian hitamnya penuh debu, rambutnya acak-acakan, dan matanya bersinar dingin.

“Pesta sudah dimulai,” ucapnya pelan. “Langkah pertama telah selesai.”

“Dan korban?” tanya seorang penyihir tua di sisinya.

“Dua bangsawan. Salah satunya pendukung Caelum. Yang lain… sekadar kolateral.”

Anggota lain menyeringai. “Apa langkahmu selanjutnya, Pewaris?”

Orin menatap lambang kerajaan Ravennor yang tergantung lusuh di dinding bawah tanah.

“Kita jatuhkan mereka… dengan kebenaran.”

Keesokan harinya, seluruh istana Ravennor berduka, tapi ketakutan lebih besar dari kesedihan. Rumor menyebar cepat: ada penyusup di pesta, dua bangsawan tewas, dan pangeran nyaris dibunuh.

Seraphine duduk di balkon menara timur, menatap halaman kosong di bawah.

Ash tiba-tiba muncul dari balik bayangan. Rambutnya basah karena hujan pagi, dan jaket kulitnya menghitam karena kotoran jalanan.

“Kau tak terlihat terkejut,” katanya langsung, tanpa basa-basi.

Seraphine menoleh, menyesap teh yang sudah dingin. “Karena aku tahu ini akan terjadi.”

Ash duduk di pagar balkon, bahaya kematian tampak akrab baginya.

“Kau bertemu Orin?”

Seraphine mengangguk. “Dia… bukan anak yang kita kenal dulu.”

Ash menghela napas. “Aku sudah menduganya. Tapi tetap saja... dengar, Sera, dia punya kekuatan yang tidak kita pahami. Dan pengaruhnya? Luar biasa. Orang-orang yang dibuang kerajaan—yang dianggap tidak murni darahnya, yang kehilangan keluarganya karena ‘pembersihan’—mereka semua mengikutinya.”

Seraphine menatap kakaknya. “Lalu… kita akan melawannya?”

Ash terdiam lama.

“Aku tak tahu. Tapi aku tahu satu hal—jika dia menjatuhkan Ravennor dengan cara yang sama seperti mereka menjatuhkan kita… maka dunia ini tidak akan lebih baik, hanya akan berganti nama tiran.”

To be continued...

1
karinabukankari
🎙️“Capek? Lelah? Butuh hiburan?”

Cobalah:

RA-VEN-NOR™

➤ Teruji bikin senyum-senyum sendiri
➤ Kaya akan plot twist & sihir kuno
➤ Mengandung Caelum, Ash, dan Orin dosis tinggi

PERINGATAN:
Tidak dianjurkan dibaca sambil di kelas, rapat, atau pas lagi galau.
Efek samping: jadi bucin karakter fiksi.

Konsumsi: TIAP JAM 11 SIANG.
Jangan overdosis.
karinabukankari
“Kamu gak baca Novel jam 11?”

Gemetar...
Tangan berkeringat...
Langit retak...
WiFi ilang...
Kulkas kosong...
Ash unfollow kamu di mimpi...

➤ Tiap hari. Jam 11.

Ini bukan sekadar Novel.
Ini adalah TAKDIR. 😭
karinabukankari
“Halo, aku kari rasa ayam...
Aku sudah capek ngingetin kamu terus.”

➤ Novel update jam 11.
➤ Kamu lupa lagi?

Baiklah.
Aku akan pensiun.
Aku akan buka usaha sablon kaus bertuliskan:

❝ Aku Telat Baca Novel ❞

#AyamMenyerah
karinabukankari
Ash (versi ngelantur):
“Kalau kamu baca jam 11, aku bakal bikinin kamu es krim rasa sihir.”

Caelum (panik):
“Update?! Sekarang?! Aku belum siap tampil—eh maksudku… BACA SEKARANG!”

Orin (pegangan pohon):
“Aku bisa melihat masa depan... dan kamu ketinggalan update. Ngeri ya?”

📅 Jam 11. Tiap hari.

Like kalau kamu tim baca sambil ketawa.
Komen kalau kamu tim “gue nyempil di kantor buat baca novel diem-diem”
karinabukankari
“Lucu…
Kamu bilang kamu fans Ravennor,
Tapi jam 11 kamu malah scroll TikTok.”

Jangan bikin aku bertanya-tanya,
Apakah kamu masih di pihakku…
Atau sudah berubah haluan.

➤ Novel update tiap hari.
➤ Jam 11.

Jangan salah pilih sisi.
– Orin
karinabukankari
“Aku tidak banyak bicara…
Tapi aku perhatikan siapa yang selalu datang jam 11… dan siapa yang tidak.”

Dunia ini penuh rahasia.
Kamu gak mau jadi satu-satunya yang ketinggalan, kan?

Jadi, kutunggu jam 11.
Di balik layar.
Di balik cerita.

– Orin.
karinabukankari
“Oh. Kamu lupa baca hari ini?”

Menarik.

Aku kira kamu pembaca yang cerdas.
Tapi ternyata...

➤ Baca tiap hari. Jam 11.
➤ Kalau enggak, ya udah. Tapi jangan salahin aku kalau kamu ketinggalan plot twist dan nangis di pojokan.

Aku sudah memperingatkanmu.

– Ash.
karinabukankari
📮 Dari: Caelum
Untuk: Kamu, pembaca kesayanganku

"Hei…
Kamu masih di sana, kan?
Kalau kamu baca ini jam 11, berarti kamu masih inget aku…"

🕚 update tiap hari jam 11 siang!
Jangan telat… aku tunggu kamu di tiap halaman.

💙 – C.
karinabukankari
🐾 Meong Alert!

Kucing kerajaan udah ngamuk karena kamu LUPA update!

🕚 JAM 11 ITU JAM UPDATE !

Bukan jam tidur siang
Bukan jam ngelamunin mantan
Bukan jam ngintip IG crush

Tapi... JAMNYA NGIKUTIN DRAMA DI RAVENNOR!

😾 Yang kelewat, bakal dicakar Seraphine pakai kata-kata tajam.

#Jam11JamSuci #JanganLupaUpdate
karinabukankari
🐓 Jam 11 bukan jam ayam berkokok.
Itu jamnya:
✅ plot twist
✅ karakter ganteng
✅ baper kolektif
✅ kemungkinan besar ada adegan nyebelin tapi manis

Jangan lupa update TIAP HARI JAM 11 SIANG

📢 Yang gak baca… bakal disumpahin jadi tokoh figuran yang mati duluan.
karinabukankari
🕚 JAM 11 SIANG ITU JAM SUCI 😤

Itu bukan jam makan, bukan jam rebahan...
Itu jam baca komik kesayangan KAMU!

Kalau kamu ngelewatin update:
💔 Caelum nangis.
😤 Seraphine ngambek.
😎 Ash: “Terserah.”

Jadi yuk… BACA. SEKARANG.

🔁 Share ke temanmu yang suka telat update!
#ReminderLucu #UpdateJam11
karinabukankari
⚠️ PENGUMUMAN PENTING DARI KERAJAAN RAVENNOR ⚠️

📆 Update : SETIAP HARI JAM 11 SIANG!

Siapa yang lupa...?
➤ Ditarik ke dunia paralel.
➤ Dikejar Orin sambil bawa kontrak nikah.
➤ Dijadikan tumbal sihir kuno oleh Ash.
➤ Dipelototin Seraphine 3x sehari.

Jadi... JANGAN LUPA BACA YAAA!

❤️ Like | 💬 Komen | 🔔 Follow
#TimGakMauKetinggalan
karinabukankari
📢 HALOOO PARA PEMBACA TERSAYANG!!
Komik kita akan UPDATE SETIAP HARI!
Jadi jangan lupa:
💥 Siapkan hati.
💥 Siapkan cemilan.
💥 Siapkan mental buat gregetan.

⏰ Jam tayang: jam 11.00 WIB

🧡 Yang lupa update, nanti ditembak cinta sama si Caelum.

➕ Jangan lupa:
❤️ Vote
💬 Komen
🔁 Share
🔔 Follow & nyalain notif biar gak ketinggalan~
Luna_UwU
Ditambahin sekuel dong, plis! 🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!