Novia Anwar adalah seorang guru honorer di sebuah SMA negeri di kota kecil. Gajinya tak seberapa dan selalu menjadi bahan gunjingan mertuanya yang julid. Novia berusaha bersabar dengan semua derita hidup yang ia lalui sampai akhirnya ia pun tahu bahwa suaminya, Januar Hadi sudah menikah lagi dengan seorang wanita! Hati Novia hancur dan ia pun menggugat cerai Januar, saat patah hati, ia bertemu seorang pria yang usianya lebih muda darinya, Kenzi Aryawinata seorang pebisnis sukses. Bagaimana akhir kisah Novia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sidang Mediasi Dan Fitnah Di Ruang Kepala Sekolah
Keesokan harinya, Novia meminta izin tidak mengajar. Hari ini adalah hari yang ia takutkan sekaligus harapkan: sidang mediasi perceraiannya di Pengadilan Agama. Dengan hati yang remuk redam dan beban pikiran yang berat, ia melangkahkan kakinya ke gedung pengadilan. Ia datang sendirian, kecuali dengan didampingi pengacara dari pihak pengadilan yang ditunjuk untuk mendampinginya.
Sesampainya di ruang mediasi, pemandangan yang menyakitkan langsung menyambutnya. Januar sudah duduk di sana, didampingi seorang pengacara berpenampilan rapi. Namun yang membuat Novia tercekat adalah kehadiran dua orang lainnya di samping Januar: Karina, istri siri Januar yang tampak elegan, dan Diana, mantan ibu mertuanya, yang duduk dengan kepala terangkat tinggi, sorot mata penuh kemenangan.
Diana melirik Novia dengan tatapan menghina, bibirnya tersenyum sinis seolah mengejek penderitaan Novia. Ia bahkan sempat mendengus pelan, seolah ingin menunjukkan betapa jijiknya ia melihat Novia. Novia hanya bisa menunduk, mencoba mengabaikan tatapan dan gestur Diana yang menyakitkan itu.
Mediator, seorang wanita paruh baya dengan sorot mata bijaksana, memulai proses mediasi. Ia menjelaskan tujuan mediasi adalah untuk mencari titik temu, apakah ada kemungkinan rujuk atau penyelesaian damai lainnya.
"Bapak Januar Hadi dan Ibu Novia Anwar, apakah ada keinginan untuk rujuk?" tanya mediator.
Januar menatap Novia sejenak, lalu menunduk. "Maaf, Bu Mediator. Saya rasa tidak ada kemungkinan rujuk," jawab Januar pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
Mendengar jawaban Januar, Diana yang duduk di sampingnya langsung tersenyum lebar, seolah ia adalah pemenang. Karina tetap diam, namun pandangannya sesekali melirik Novia dengan tatapan yang sulit diartikan.
Mediator kemudian meminta Novia untuk berbicara. Pengacara pengadilan yang mendampingi Novia memberinya isyarat untuk berbicara jujur. Novia menahan napas, mencoba menenangkan dirinya.
"Saya... saya sudah tidak sanggup lagi, Bu," ucap Novia, suaranya bergetar. "Pengkhianatan suami saya, ditambah dengan perlakuan ibu mertua saya yang terus-menerus menghina dan merendahkan saya... saya merasa sudah tidak ada harapan untuk melanjutkan pernikahan ini." Ia tak kuasa menahan air mata yang kembali mengalir.
Diana mendengus keras, seolah meremehkan tangisan Novia. "Halah, drama! Dasar cengeng! Dari dulu bisanya cuma menangis!" katanya lirih, namun cukup jelas terdengar.
Januar menoleh ke arah ibunya, mencoba memberi isyarat agar diam, namun Diana tak peduli. Pengacara Januar pun terlihat sedikit tidak nyaman dengan tingkah laku Diana.
"Baiklah, jika memang tidak ada keinginan untuk rujuk, maka proses akan dilanjutkan ke persidangan," kata mediator, mencatat di bukunya. "Apakah ada hal lain yang ingin disampaikan?"
Pengacara Januar kemudian mengajukan persyaratan cerai, termasuk pembagian harta gono-gini dan hak asuh anak—meskipun mereka tidak memiliki anak. Novia hanya bisa mendengarkan dengan perasaan hampa.
Sepanjang proses mediasi, Diana terus-menerus memandang Novia dengan tatapan menghina dan sinis, sesekali berbisik sesuatu pada Karina sambil tersenyum penuh kemenangan. Novia merasa seperti berada di neraka. Di satu sisi, ia harus menghadapi kenyataan perceraian, dan di sisi lain, ia harus menanggung ejekan dan hinaan dari orang yang seharusnya menjadi keluarga.
Ketika mediasi selesai, Novia segera bangkit, tak ingin berlama-lama di ruangan yang menyesakkan itu. Ia bergegas keluar, meninggalkan Januar, Karina, dan Diana yang masih duduk dengan raut wajah puas. Hatinya kembali hancur, namun ia tahu, ia harus kuat demi dirinya sendiri.
****
Setelah sidang mediasi yang menegangkan, Novia segera melangkahkan kakinya keluar dari gedung Pengadilan Agama. Ia hanya ingin cepat-cepat pergi dari tempat itu, menjauhi pandangan Januar, Karina, dan terutama Diana. Namun, nasib berkata lain. Saat ia hendak menaiki motornya yang terparkir di halaman, sebuah tangan kekar tiba-tiba mencengkeram lengannya.
"Novia! Berhenti kamu!" Suara melengking itu milik Diana. Wajahnya memerah padam, matanya memancarkan kemarahan yang membara. Ia berdiri tepat di depan Novia, menghalanginya.
Novia tersentak. Ia menatap Diana dengan terkejut, tak menyangka mertuanya akan mengejarnya sampai ke luar. "Ada apa lagi, Bu?" tanyanya, berusaha menahan diri agar tidak terpancing emosi.
"Ada apa katamu?! Kamu itu ya, benar-benar tidak tahu diri!" sembur Diana, suaranya meninggi, menarik perhatian beberapa orang yang lalu lalang di sekitar gedung pengadilan. "Berani-beraninya kamu menyudutkan saya di dalam tadi! Menjelek-jelekkan anak saya!"
Novia mencoba menarik tangannya, namun cengkeraman Diana begitu kuat. "Saya hanya mengatakan yang sebenarnya, Bu. Apa yang sudah saya alami..."
"Kebohongan! Itu semua kebohongan!" potong Diana, nadanya semakin histeris. "Kamu pikir saya tidak dengar, hah?! Kamu bilang saya menghina kamu? Merendahkan kamu? Dasar menantu tidak tahu diuntung!"
Diana melirik sekeliling, memastikan banyak orang mendengar perkataannya. Wajahnya semakin pongah. Januar dan Karina muncul dari pintu gedung, mengikuti di belakang Diana, tampak terkejut dengan keributan yang terjadi.
"Kamu itu ya, cuma sampah! Mandul! Tidak bisa memberikan cucu!" Diana menunjuk-nunjuk Novia dengan jari telunjuknya. "Pantas saja Januar menceraikan kamu! Sudah tidak berguna, tukang drama pula!"
Suasana di depan gedung pengadilan itu sontak menjadi heboh. Beberapa orang berhenti berjalan, menoleh ke arah keributan. Suara Diana yang besar dan melengking berhasil menarik perhatian banyak orang. Novia merasa sangat malu, air mata kembali mengalir membasahi pipinya. Ia merasa seperti tontonan, dihakimi di depan umum.
"Kamu tahu tidak, Novia? Januar itu sudah bahagia sekarang! Dia sudah punya istri yang sempurna, kaya raya, dan bisa memberinya anak!" Diana tertawa sinis, merendahkan Novia habis-habisan. "Lihat saja! Kamu tidak akan pernah bisa mendapatkan kebahagiaan seperti itu! Kamu akan sendirian, janda, dan tetap mandul!"
Januar akhirnya maju, berusaha menenangkan ibunya. "Ibu! Cukup, Bu! Jangan begitu!" ujarnya, memegang lengan Diana.
Namun, Diana tak peduli. Ia menghempaskan tangan Januar. "Diam kamu, Jan! Biar dia tahu rasa! Biar semua orang tahu betapa tidak bergunanya perempuan ini!" Diana kembali menatap Novia dengan pandangan jijik. "Sekarang pergilah! Jangan pernah muncul lagi di hadapan kami! Kamu hanya membawa sial!"
****
Pagi itu, saat Novia sedang menjalani sidang mediasi yang pahit, Bu Rita melihat ini sebagai kesempatan emas. Dengan langkah penuh keyakinan dan seringai tipis di bibirnya, ia mendatangi ruang kerja Pak Marzuki, kepala sekolah. Bu Rita membawa serta ponselnya yang berisi foto-foto Novia bersama Kenzi kemarin sore.
Ia mengetuk pintu dan masuk setelah dipersilakan. "Selamat pagi, Pak Kepala Sekolah," sapa Bu Rita, memasang wajah serius dan sedikit prihatin.
Pak Marzuki mendongak dari tapaknya. "Ada apa, Bu Rita? Pagi-pagi sudah serius begitu?"
"Ini, Pak, saya ada hal penting yang harus Bapak tahu, dan ini menyangkut nama baik sekolah kita," ujar Bu Rita, nadanya dibuat dramatis. Ia mendekat, lalu mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto-foto Novia dan Kenzi di depan gerbang sekolah.
"Ini apa, Bu Rita?" tanya Pak Marzuki, mengernyitkan dahi melihat foto-foto tersebut.
Bu Rita menghela napas panjang, seolah sangat terbebani oleh informasi yang akan disampaikannya. "Ini lho, Pak, Bu Novia. Kemarin sore saya lihat sendiri dia bermesraan dengan seorang laki-laki di depan sekolah kita. Padahal, dia ini kan masih istri orang, Pak! Belum resmi cerai secara negara!"
Ia melanjutkan, dengan cerita karangan yang bombastis dan penuh bumbu. "Laki-laki itu sering sekali menjemputnya, Pak! Bahkan sampai mengantar ke rumahnya. Ini jelas-jelas perselingkuhan yang mencoreng nama baik guru, bahkan nama baik sekolah kita!"
Pak Marzuki menatap foto-foto itu dengan serius, kemudian menatap Bu Rita. "Apa benar begitu, Bu Rita? Jangan sembarangan menuduh."
"Benar, Pak! Saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri! Bahkan ada beberapa guru lain dan siswa juga yang melihat!" Bu Rita meninggikan suaranya, penuh keyakinan. "Kami para guru senior sangat khawatir, Pak. Guru kok perilakunya begitu? Bagaimana nanti kalau dicontoh oleh siswa?"
Bu Rita kemudian mengutarakan tujuan utamanya. "Menurut saya, Pak, orang seperti Bu Novia itu tidak pantas mengajar di sekolah ini. Sudah perilakunya begitu, ditambah lagi dia itu mandul dan sudah diceraikan suaminya. Nanti siswa-siswa kita bisa terpengaruh negatif, Pak." Ia berusaha mempengaruhi Pak Marzuki agar memecat Novia dari sekolah.
"Saya hanya ingin yang terbaik untuk sekolah kita, Pak," tambah Bu Rita, memasang wajah seolah peduli. "Guru itu harus jadi contoh. Kalau sudah berani berzina begitu, mana bisa jadi contoh yang baik?"
Pak Marzuki meletakkan ponsel itu di mejanya, tatapannya kini berubah serius. Ia memang dikenal sebagai kepala sekolah yang menjunjung tinggi integritas. Bu Rita tersenyum puas di dalam hati, merasa rencananya berjalan mulus.