“ARRRGGGHHH! PANAAS! SAAKIIITT!”
Sekar Arum tak pernah membayangkan, setelah dipaksa menjadi gundik demi melunasi hutang orang tuanya, ia justru mengalami siksaan mengerikan dari para perempuan yang iri dan haus kuasa.
Namun, di saat dirinya berada di ambang hidup dan mati, sosok gaib mendekatinya—seorang sinden dari masa lalu yang menyimpan dendam serupa.
Arum akhirnya kembali dan menggemparkan semua orang-orang yang pernah menyakitinya. Ia kembali dengan membawa semua dendam untuk dibalas hingga tuntas.
Namun, mampukah Sekar Arum menumbangkan musuhnya yang memiliki kuasa?
Atau justru ia akan kembali terjerat dalam luka dan nestapa yang lebih dalam dari sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DG 9
Angin malam berhembus lembut dari celah jendela kayu yang terbuka setengah. Di atas meja bundar dari rotan tua, asap tipis mengepul dari cangkir keramik bermotif bunga lawas. Arum duduk tenang di kursi kayu, meniup pelan permukaan tehnya. Matanya menatap kosong ke arah halaman, namun pikirannya jauh melayang ke memori silam yang masih menyisakan luka.
“Pelan-pelan, jangan sampai melepuh bibirnya. Daun teh itu baru dipetik dari kebun belakang,” suara serak namun ramah itu datang dari seorang perempuan tua berkerudung batik, wajahnya penuh keriput namun tatapannya tajam. Dialah Mbah Darsih, abdi dalem yang tinggal di rumah besar Juragan Karta untuk mengurus para gundik istimewa.
Arum menoleh ke arah wanita yang sudah menjemputnya di rumah kedua orangtuanya pagi tadi. Gadis itu mengulas senyuman tipis, wajahnya tampak pucat.
“Terimakasih teh nya, Mbah,” kata Arum pelan. Banyak pertanyaan yang bercokol di dadanya saat ini.
Ia bertanya-tanya sendiri, kenapa Mbah Darsih dan sosok pria yang duduk di sudut meja justru membawanya ke tempat aman, dari pada ke rumah Juragan. Padahal, keduanya sama-sama orang kepercayaan Juragan Karta.
‘Siapa sebenarnya Mbah Darsih ini?’ batin Arum sambil sesekali mencuri pandang ke arah sosok pria yang juga sesekali melirik ke arah nya. ‘Dan, siapa pula Junaidi ini?’
Mbah Darsih menilik wajah Arum, jelas ia dapat membaca pertanyaan-pertanyaan yang ada di wajah gadis itu.
“Ada yang ingin engkau tanyakan, Nak Arum?” tanya Mbah Darsih.
Arum tersentak sesaat. Lalu, ia memberanikan diri untuk bertanya. “Mbah ... apa Anda mengenal seorang sinden yang menjadi salah satu gundik Juragan Karta?”
Mbah Darsih meletakkan cangkirnya perlahan. Kedua tangannya yang renta saling bertumpu di pangkuan. Suara napasnya terdengar berat sebelum ia membuka suara.
“Kau bertanya tentang Larasmi?” Tanyanya pelan, menatap Arum seperti hendak menyingkap lapisan waktu.
Arum mengulik ingatan yang bukan miliknya, lalu mengangguk. “Ya, Larasmi namanya. Siapa sosok perempuan itu? Dan, apa hubungannya dengan kalian berdua?”
Sekilas, Arum menatap penuh curiga ke Mbah Darsih dan Junaidi. “Ini memang tak masuk di akal, tetapi, saya mendapatkan ingatan aneh di kepala saya, Mbah. Tentang sosok bernama Larasmi, dengan kalian berdua di usia yang lebih muda.”
Mbah Darsih mengalihkan pandangannya ke arah jendela, menatap langit yang semakin pekat, seolah kenangan itu terpampang di sana.
“Dia keponakanku … anak dari adik kandungku. Sejak kecil, Larasmi memang sangat istimewa. Suaranya merdu, dan punya bakat luar biasa dalam seni tembang. Di usia sembilan tahun, ia sudah hafal puluhan gending Jawa. Tapi ... hidupnya tak semanis suaranya.”
Suara Mbah Darsih mulai bergetar, dan jemarinya mengelus perlahan permukaan meja.
“Larasmi itu anak yang cerdas. Tapi, dia tumbuh dalam keluarga yang kelam. Ayahnya—jangan kau tanya. Pemabuk dan pemarah, tiap hari kalau pulang—selalu memberi luka. Gemar membawa hutang akibat kalah berjudi sabung ayam dan gaplek. Dan kalau pulang ke rumah, yang jadi pelampiasan ya ... anak-anaknya. Itu, pria tampan yang duduk di sudut, pasti tak akan lupa rasanya di sundut api rokok. Mandor Junaidi ini, juga keponakan ku—alias adik kandung Larasmi.”
Arum lekas menoleh ke arah Junaidi, ia benar-benar tak percaya dengan semua yang baru saja ia dengar.
“Jun ... adiknya Larasmi?” Mulutnya menganga.
Sedangkan Junaidi hanya menunduk. Tangannya tanpa sadar mengepal, seolah menggambarkan luka lama yang kembali terkenang.
“Larasmi tak pernah ingin terus hidup seperti itu,” lanjut Mbah Darsih lirih. “Demi menyekolahkan adiknya, Larasmi mengorbankan masa mudanya. Ia tau suaranya sangat berharga, jadi dia memilih menjadi sinden saat usianya baru lima belas tahun. Lima tahun penuh ia lakoni panggung demi panggung, menari dan bernyanyi di balik riasan dan senyum palsu, hanya demi beberapa lembar rupiah. Namun na'asnya, setiap uang yang ia simpan, disikat habis oleh bapaknya untuk berjudi.”
Arum mencengkeram cangkirnya. Matanya membulat, mulutnya setengah terbuka. Ia bisa membayangkan rasa putus asa seorang gadis seusia itu.
“Ketenarannya sebagai sinden muda tersebar sampai ke desa-desa tetangga ....” Mbah Darsih meneruskan, nadanya semakin berat. “Dan di salah satu acara besar di alun-alun desa, malam itu … untuk pertama kalinya, Juragan Karta melihat Larasmi. Dari bangku kehormatan, pria gatal itu tak bisa melepaskan pandangan. Dan sejak malam itu, hidup Larasmi tak pernah sama lagi.”
Junaidi mengangguk pelan, matanya sayu namun penuh murka terpendam.
“Juragan mulai mengatur siasat. Ia tau tak bisa memaksa Larasmi secara langsung, maka ia rusak dulu lingkungannya. Dibuatnya bapaknya semakin tenggelam dalam judi. Lalu datanglah antek-antek juragan, menawarkan pinjaman dengan bunga mencekik. Saat si bapak tak sanggup bayar, Larasmi yang harus menanggung beban itu.”
“Dengan tubuhnya,” bisik Arum nyaris tak terdengar. “Seperti yang saya alami.”
Mbah Darsih mengangguk dengan mata basah. “Benar. Sama seperti dirimu, Larasmi dijadikan gundik. Ditarik paksa dari rumah. Dan ibunya yang lemah … hanya bisa menangis di sudut bilik, benar-benar tak layak disebut sebagai ibu.”
Arum memejamkan mata. Dadanya sesak. Ia seolah bisa merasakan luka itu—dari dalam dirinya sendiri. Seolah kepedihan itu, juga kepedihannya. Mungkin karena ia juga mengalami nasib yang sama.
“Larasmi menanggung semua tekanan itu sendirian. Perlakuan kejam ayahnya, diamnya sang ibu, dan berujung membawa ia masuk ke kehidupan dalam rumah besar yang penuh tipu daya. Dia benar-benar tak kuasa melawan, hanya bisa menerima. Tapi, ia tidak pernah lupa ... siapa yang menyebabkan ia kehilangan masa depannya.”
Mbah Darsih kembali menatap Arum.
“Dan dia ... tidak akan pernah melupakan siapa yang mengambil nyawanya.”
Arum menghela napas pelan, tangannya sedikit bergetar. Ia kembali teringat malam mengerikan itu.
“Mbah, jika Anda bibi dari Larasmi, bagaimana bisa juragan—”
“Juragan dan Nyai tak pernah mencari tau asal-usul ku saat dipekerjakan di rumah mereka. Aku selalu dianggap angin lalu oleh mereka berdua—tak lebih dari pelayan tua yang selalu membenahi kamar dan menyiapkan keperluan untuk gundik istimewa. Aku juga sempat terkejut saat melihat kehadiran Larasmi di rumah Juragan. Namun, aku bisa apa? Hutang-hutang bapaknya terlalu menumpuk, sekeliling pinggang. Hidupnya hanya gali lubang tutup lubang. Aku tak sanggup bantu melunasi. Aku hanya bisa membantu, menjaga Larasmi di rumah besar itu. Memastikan ia tak makan dan meminum jamuan yang diberikan Nyai Lastri.”
“Jamuan?” kening Arum berkerut. Ia langsung teringat perkataan Nyai Lastri tentang minuman yang tak ia mengerti hingga sekarang.
Mbah Darsih mengangguk. “Kau juga hampir meminumnya jikalau aku tak menghentikan langkah pelayan di sore itu, ramuan pemandul rahim!”
“Jadi, semua gundik yang tak bisa melahirkan pewaris, semua itu ulah ....” Arum tak melanjutkan ucapannya.
Mbah Darsih mengangguk singkat.
“Tadi Anda berkata, kalau Juragan mengatur siasat untuk mendapatkan Larasmi. Apa berarti ... saya juga ....” Kalimat yang keluar dari bibir Arum kembali menggantung.
“Itu sudah jelas, ‘kan?” Junaidi membuka suara. “Semua itu ulah Juragan, kebetulan dia bertemu sasaran empuk, yakni bapakmu.”
Arum menggenggam tangannya kuat. Hatinya memanas. Mbah Darsih hanya memperhatikan, lalu kembali bercerita—
“Sepuluh tahun lalu, di usianya yang baru menginjak lima belas tahun, Junaidi menjadi saksi bisu dari tragedi yang merenggut nyawa kakaknya. Ia melihat semuanya—dari kejauhan, dengan mata terbelalak dan tubuh gemetar. Malam itu, aku membekap mulutnya erat-erat agar ia tak menjerit, karena satu suara saja bisa berarti maut bagi kami berdua. Sejak hari itu, dendam tertanam di dalam dada kami, membara diam-diam. Aku merawat Junaidi hingga ia tumbuh dewasa, menyekolahkannya hingga menjadi sosok yang tak bisa dipandang sebelah mata. Dan sekarang, ia berhasil menyusup ke rumah besar sebagai mandor, menunggu waktu yang tepat untuk membayar semua luka yang kami rasakan. Dan, tak lama, engkau pun hadir, Arum. Mendapatkan derita yang sama. Maka dari itu—”
Mbah Darsih menarik napas dalam-dalam, “Aku berharap engkau sudi bekerjasama dengan kami, saling membalas dendam yang kita rasakan.”
“Saya bersedia, Mbah. Sangat bersedia. Terlebih, mereka juga yang sudah membuat saya menderita. Apa yang harus saya lakukan, Mbah?”
“Ritual. Kau harus melakukan ritual penyatuan dan penyempurnaan jiwa. Lalu, kau juga harus memakai susuk.”
“Susuk?!”
*
*
*
ku rasa bokor itu masih di dasae danau deh
atau tusuk konde ya udah nggak ada di dalam bokor lagi...???
ehh kan si juanidin yg kena tusuk keris
klo sate tusuk daging kambing mah nyosss yaa kann 🤣🤣🤣