DENDAM GUNDIK

DENDAM GUNDIK

DG 1

“ARRRGGGHHH! PANAAAASS! SAAAKIIITTT!” Jeritan Arum sungguh menyayat hati manakala Atun—salah satu gundik, menyiram air panas ke punggung dan lengannya.

Semua orang di ruangan itu tertawa keras, kecuali Madun. Pria baya dengan wajah penuh bopeng itu hanya berdiri—seakan menikmati pemandangan itu.

Arum sudah terkapar lemas, namun ia masih terjaga—kesadarannya belum hilang. Dan meskipun Arum sudah tak berdaya, aksi keji mereka belum selesai juga.

Nyai Lastri menatap Madun dengan senyuman penuh maksud. Ia memberikan titah pada sang ajudan. “Laksanakan tugasmu, Madun!”

Pria dengan kulit wajah tak rata dan bertubuh besar itu meraup kasar wajahnya, menelan ludah dengan penuh hasrat—lalu mengangguk patuh. Perintah inilah yang sudah ditunggu-tunggu sejak tadi. Ia langsung berjalan mendekat ke arah Sekar Arum, mengangkangi kaki wanita yang sudah babak belur itu—lalu membuka resleting celananya.

“Tolong ... jangan ...,” suara Arum terdengar lirih. Ia terisak pelan, benar-benar ketakutan.

.

.

.

Tahun 1960.

Di sebuah desa terpencil yang dikelilingi ladang tebu sejauh mata memandang, berdiri megah sebuah rumah besar berarsitektur campuran Jawa dan kolonial. Rumah itu milik Juragan Karta, penguasa tanah, pemilik pabrik gula, dan tangan besi yang tak tersentuh hukum.

Di desa itu, nama Juragan Karta lebih ditakuti daripada apapun. Ucapannya adalah titah yang tak bisa dibantah. Dan laki-laki yang penuh kuasa ini punya satu kegilaan yang tak bisa ia tolak : hasratnya dengan perempuan muda.

Di teras rumahnya, mata juragan Karta yang sudah sedikit berkerut—memindai sosok gadis cantik yang baru saja dibawa oleh sang ajudan.

“Ini toh, yang namanya Sekar Arum?” Juragan Karta lekas berdiri, menyambut sosok cantik yang terus menunduk.

Usianya belum lama genap dua puluh tahun. Namun malang tak dapat ditolak—orang tua Arum yang terjerat hutang pada rentenir, menyerahkan putri mereka sendiri ke tangan Juragan Karta. Sebagai gantinya, Juragan akan melunasi seluruh hutang mereka, tanpa bunga, tanpa syarat lain ... kecuali satu : Arum harus menjadi gundiknya. Gundik yang kesebelas.

Arum sempat berpikir, apa dia sebaiknya kabur saja dari rumah? Namun, ketika dia mengingat betapa kejamnya para rentenir yang terkenal sering menyiksa para nasabahnya—Arum langsung mengenyahkan pikiran tersebut. Tidak mungkin baginya membiarkan kedua orang tuanya berada dalam bahaya. Apalagi kalau sampai kedelapan adiknya ikut terluka.

Ocehan Juragan Karta bak tak terdengar di telinga Arum yang sedang mengingat kembali perdebatan sengit semalam dengan ibunya. Suara tangis, nada kecewa, dan amarah bercampur jadi satu.

“Lebih baik Arum kerja banting tulang! Cari uang sendiri buat lunasi hutang bapak! Dari pada jadi gundik orang tua bangka itu—Arum nggak sudi!” teriaknya, dengan mata berkaca-kaca.

“Arum, dengarkan Ibu ...,” suara Bu Sarinem bergetar, wajahnya pucat. “Mustahil. Mau kamu kerja siang malam setahun pun, hutang bapakmu itu takkan lunas. Apalagi rentenir itu ... mereka minta dilunasi hari ini juga. Kalau tidak ... mereka akan mengambil rumah ini. Tidakkah kamu lihat adik-adikmu yang masih kecil ini? Tidakkah pula kamu melihat kondisi bapakmu itu?”

Arum menoleh ke sudut ruangan, Pawiro—bapaknya Arum, biang dari musibah ini, hanya duduk diam di atas tikar robek. Wajahnya tertunduk dalam. Aroma menyengat dari luka sabetan rotan di punggungnya belum hilang. Ia baru pulang dari rumah rentenir—dengan tubuh babak belur dan harga diri yang terhempas.

Hutang akibat berjudi ayam sabung sudah kelewat batas. Tidak ada lagi sawah, tidak ada ternak, bahkan cincin kawin istrinya pun sudah dijual. Satu-satunya cara menyelamatkan dirinya ... adalah dengan menyerahkan anak gadisnya—ke rumah besar itu. Rumah Juragan Karta—pria baya yang menawarkan bantuan untuk melunasi hutang piutang nya.

Sore itu, Arum tersentak ketika jari kasar menyentuh dagunya. Lamunannya buyar, matanya membulat saat menyadari Juragan Karta tengah membelai dagunya.

“Alus tenan. Matamu mirip banget sama ibuku waktu muda ....” Ucap Juragan sambil meneguk ludah.

Arum tidak menjawab. Ia hanya memejamkan matanya—menetralkan jantungnya yang hampir meledak.

Juragan menoleh ke sisi belakangnya, menatap wanita tua yang bernama Mbah Darsih—seorang abdi dalem yang akan mengurus semua keperluan Sekar Arum.

“Mbok Darsih ....” Suara berat Juragan Karta memanggil abdinya.

“Iya, Juragan,” sahut Mbah Darsih cepat.

“Bawa Arum ke tempat yang semestinya, sudah kau siapkan, bukan?” titahnya sambil bertanya.

“Sudah, Juragan.” Wanita tua itu menunduk, lalu mendekati Arum. “Ayo kita ke kamarmu.”

...****************...

Rumah besar itu lebih sunyi dari biasanya ketika Sekar Arum dibawa masuk oleh Mbah Darsih, wanita tua yang sudah melayani Juragan—lebih dari sepuluh tahun lamanya.

Langkah Arum seakan tak berjejak. Sandalnya yang tipis seolah tak bersuara di lantai batu yang dingin.

Di dalam, seorang wanita baya sudah menanti keduanya. Arum menunduk hormat pada wanita baya yang parasnya masih terlihat cantik. Namun, tidak dengan wanita baya itu, dia menatap sinis ke arah Arum.

“Jadi kamu? Gundik baru suamiku?” sinis Nyai Lastri, istri sah juragan Karta. Dagunya mendongak angkuh.

Arum tak menjawab, hanya wajahnya yang semakin tertunduk dalam diam.

“Madun!” Nyai Lastri memanggil ketus ajudan kepercayaannya.

“Iya, Nyai ...,” sahut Madun cepat.

“Bawa dia ke belakang, agar berjumpa dengan para gundik lainnya,” titah Nyai Lastri dengan senyuman angkuh. “Dan, ajari dia menjadi manusia yang berguna di rumah ini.”

Madun mengangguk patuh, lalu mencengkram erat lengan Arum dan menariknya kasar. Namun, Mbah Darsih langsung mencekal lengan Madun, sorot mata sayu itu terlihat dingin. Lalu menoleh dan menatap berani Nyai Lastri.

“Maaf, Nyai. Sesuai titah Juragan Karta, Arum akan dibawa ke Paviliun,” kata Mbah Darsih.

Nyai Lastri tak menjawab, hanya kedua tangannya yang mengepal erat. Ia membiarkan Mbah Darsih dan Arum berlalu begitu saja.

.

.

Di pelataran belakang, sepuluh wanita sedang menumbuk daun-daunan. Mereka berhenti serempak saat melihat gadis baru itu masuk.

Sepuluh pasang mata memandang Sekar Arum. Lima dari mereka menatap tak suka. Mereka menatapnya seolah ia adalah duri yang baru tumbuh di batang pohon tua yang sudah mengering. Perasaan iri, marah, bercampur dengan rasa takut dan juga jijik.

Langkah Arum terhenti sejenak, ia mengamati aktivitas kesepuluh gundik.

“Ayo, cepet jalan.” bisik Mbah Darsih dengan nada datar.

Arum berjalan perlahan melewati para wanita itu. Tak satu pun yang menyapa. Beberapa membalikkan wajah, tapi yang lain terus menatap, menelanjangi Arum dari ujung rambut hingga jemari kakinya.

Gundik-gundik itu tau apa artinya kalau seorang gadis yang baru datang bukan langsung dibawa ke dapur, bukan ke gudang, dan bukan ke kamar para pelayan.

Dia adalah gundik istimewa. Gundik yang akan menjadi kesayangan juragan.

...****************...

Malam itu, Sekar Arum tidak tidur di kamar gundik seperti yang lain. Ia ditempatkan di sebuah paviliun kecil di belakang rumah utama. Bangunan berisi dua kamar itu dipenuhi lampu minyak harum dan perabot dari kayu jati mengkilap.

“Mulai sekarang, kamu akan jadi gundik ku yang istimewa. Kamu akan tinggal di sini, enggak usah kumpul sama gundik lainnya. Fokus mu hanya melayani kemauan ku serta memberiku keturunan,” kata Juragan.

“Keturunan?” Arum memberanikan diri menatap manik legam milik Juragan.

Pria yang usianya berbeda tiga puluh tahun dari Arum itupun mengangguk. “Satupun gundik ku, tak ada yang mampu memberikan ku anak! Termasuk istriku sendiri. Pada mandul!” umpat Juragan.

Sambil membelai lembut buah dada Arum, pria itu kembali berkata, “sudah berapa hari kamu datang bulan?”

“Baru dua hari, Juragan,” dusta Arum. Padahal, lusa sudah bisa dipastikan menstruasinya akan selesai.

Juragan manggut-manggut sambil terus meraba—meneguk kasar ludahnya.

“Ya, sudah. Nanti kalau sudah berhenti mens nya, layani aku dengan baik. Malam ini, aku akan bermalam dulu dengan gundik lainnya.” Itu pesan Juragan, sebelum ia pergi meninggalkan kamar.

Arum hanya mematung, masih belum bisa beradaptasi dengan kejadian yang serba singkat ini.

Dari jendela kamarnya, ia bisa melihat ke arah dapur tempat para gundik lama berkumpul. Dalam keremangan, ia tau ... mata-mata itu masih mengawasinya.

Penuh kebencian.

Penuh amarah.

Penuh luka yang belum sembuh—dan kini diiris kembali oleh kehadirannya.

Dan di balik semua itu ... di lorong rumah besar ini, ada sepasang mata lain yang juga memperhatikannya. Sepasang mata penuh dendam.

*

*

*

Selamat membaca Readers, semoga suka💖

Jika berkenan, silahkan di subscribe ya 🥰

Terpopuler

Comments

Yuli a

Yuli a

baru nih geesss....@lia @Ai Emy Ningrum @❤️⃟Wᵃf ༄SN⍟𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌🦈

2025-06-16

6

Yuli a

Yuli a

netes lagi kak.. seru ini kayaknya...🥰

yang berulah bapaknya, anaknya yang ditumbalin... ini ayah macam apa ya... ibunya juga malah ngebelain suaminya daripada anaknya....

Arum... hidupmu dalam bahaya... semua orang membencimu...karena kamu diistimewakan...

kok aneh ya semua pada mandul gudik beserta istrinya... atau jangan-jangan yang mandul itu juragan..

2025-06-16

3

istianah istianah

istianah istianah

nie orang tua malah susahkan anaknya , anak sendiri jdi bhan taruhan

2025-06-16

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!