Alisa Veronica gadis cantik yang hidup sebatang kara dalam kesederhanaan. Menjalin kasih dengan seorang pemuda yang berasal dari keluarga terpandang di kota Bandung. Rayyen Ferdinand. Mereka menjalin kasih semenjak duduk di bangku SMA. Namun, kisah cinta mereka tak semulus yang di bayangkan karena terhalang restu dari orang tua yang menganggap Alisa berasal dari keluarga yang miskin dan asal-usul yang tidak jelas. Di tambah lagi kisahnya kandas setelah Rayyen melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Rayyen pergi tanpa sepatah kata atau mengucap kata putus pada Alisa. Ini yang membuat Alisa galau brutal dengan kepergian Rayyen. Enam tahun berlalu, kini Alisa tumbuh menjadi wanita dewasa yang semakin cantik, berbakat dan tentunya kini dia mempunyai bisnis sendiri . Alisa mempunyai toko kue yang cukup terkenal di Jakarta. Dan dia mempunyai 2 cabang di Bandung dan Surabaya. Ada suatu acara dimana ia di pertemukan kembali dengan Rayyen dengan situasi yang canggung dan penuh tanda tanya. Rayyen datang bersama gadis cantik yang terus bergelayut manja di lengan kekarnya. Sedangkan Alisa datang dengan sahabat baiknya, Marko. Seakan waktu di sekeliling berhenti bergerak, Alisa merasakan sesak kembali setelah bertemu dengan Rayyen. Banyak sekali pertanyaan yang ingin dia lontarkan ke wajah kekasihnya itu. Namun itu semua hanya berputar dalam otaknya tanpa keluar satu kata pun. Akankah kisah cinta mereka akan terulang kembali??? Kita liat saja nanti. Heheheh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noona Rara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9 PERSIAPAN MENUJU JAKARTA
Sudah seminggu ini Alisa dan Dona disibukkan dengan urusan pemberkasan untuk kuliah. Mereka bolak-balik ke sekolah untuk mengurus dokumen penting yang dibutuhkan oleh universitas tujuan mereka di Jakarta. Ya, Universitas Indonesia — kampus impian Alisa sejak ia masih duduk di bangku SMP. Bahkan, itu adalah universitas yang menjadi impian banyak orang, termasuk dirinya sendiri yang sudah lama memendam mimpi itu.
Kemarin, rasa syukur tak hentinya mengalir dari mulut Alisa. Ia nyaris menangis saat membuka pengumuman kelulusan. Namanya ada di sana, lengkap dengan pengumuman bahwa ia mendapatkan beasiswa untuk kuliah di UI. Itu bukan hanya berarti ia diterima, tapi juga dibebaskan dari beban biaya selama masa studi. Kebahagiaannya tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Alisa memilih jurusan Manajemen Bisnis, sesuai dengan minatnya dalam dunia usaha dan organisasi. Ia membayangkan suatu hari nanti bisa punya bisnis sendiri. Sementara itu, Dona, sahabatnya, memilih jurusan Hukum. Katanya, dia ingin jadi pengacara tangguh yang bisa membela siapa saja yang tertindas. Dona masuk lewat jalur mandiri, dan soal biaya, dia tak perlu khawatir. Sejak dulu, keluarganya memang berkecukupan. Kadang dia datang ke sekolah naik motor, kadang naik mobil. “Tergantung mood aja,” katanya santai waktu itu ke Alisa.
Tapi di balik semua kemewahan itu, hidup Dona tidak sesempurna kelihatannya. Ia anak dari keluarga broken home. Orang tuanya sudah lama bercerai, dan saat ini ayahnya sedang bersiap menikah lagi. Itulah alasan utama mengapa Dona ingin cepat-cepat kuliah di Jakarta — agar bisa menjauh dari semua drama rumah tangga ayahnya yang akan memulai kehidupan baru. Dona mengaku, rasanya aneh harus memanggil “Mama” ke wanita yang bukan ibunya. Lebih dari itu, ia juga merasa tak nyaman karena akan tinggal serumah dengan saudara tiri bernama Andara. Belum jadi keluarga saja, tatapan Andara ke Dona sudah penuh sinis. “Gak bisa dibayangin nanti kalau udah serumah,” keluh Dona suatu hari.
Meski berasal dari keluarga yang berada, Dona tidak pernah bersikap sombong. Ia selalu rendah hati dan tak pernah memandang status sosial dalam berteman. Salah satu buktinya: dia bisa jadi sahabat dekat Alisa, yang hidupnya sederhana sejak kecil. Bagi Dona, pertemanan itu soal hati, bukan soal harta.
Setelah semua urusan pemberkasan selesai hari itu, mereka memutuskan untuk mampir ke sebuah café terkenal di Bandung. Café ini sedang naik daun di kalangan anak muda. Tempatnya luas dan nyaman, memiliki area indoor yang sejuk serta outdoor yang terbuka. Interior café didominasi warna krem dan putih, dengan hiasan tanaman kering dan kursi-kursi kayu yang memberi kesan hangat sekaligus estetik. Alisa tampak terkesima.
“Wah, tempatnya bagus banget ya, Don,” kata Alisa sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru café.
“Emang, gue juga suka. Makanannya enak-enak lagi. Lo baru pertama ke sini?” tanya Dona sambil membuka menu.
“Iya, baru ini. Kan lo yang ngajak tadi, hehe.”
“Hehe iya juga. Andai dari dulu lo mau gue ajak main, udah gue bawa ke semua tempat bagus di Bandung, Lis,” sindir Dona sambil tersenyum kecil.
Alisa hanya tertawa pelan. Dulu, ia memang sulit didekati. Hidupnya cuma berputar di sekitar satu orang: Rayyen. Segala hal dalam hidupnya selalu melibatkan nama itu. Mau ke sekolah, makan, nongkrong, belajar, bahkan healing — semuanya harus bersama Rayyen.
“Dulu lo kayak perangko. Lengket banget sama Rayyen. Gak bisa dipisahin,” kata Dona, memutar bola matanya malas.
Alisa tertawa kecut. Ia tahu, itu memang benar. Tapi sekarang semua sudah berubah.
Menyadari kata-katanya bisa menyinggung, Dona buru-buru menutup mulut. “Uppss... maaf ya, gue gak bermaksud buka luka lama.”
“Gak apa-apa, Don. Gue juga sadar, gue dulu terlalu terikat sama dia. Tapi sejak dia pergi, gue jadi punya ruang buat diri sendiri. Dan, bersyukur banget gue bisa nemuin lo,” jawab Alisa sambil tersenyum hangat.
Dona melotot geli, “Eh jangan-jangan... lo naksir gue, Lis? Masih normal kan lo?”
Alisa menatapnya dalam dan mendekat sedikit.
“Di... jangan stres. Jangan belok ya! Jangan bikin gue jitak pake kotak tissue ini,” seru Dona panik.
“Hahahaha... Ya ampun muka lo lucu banget. Gue bercanda, Don!”
“Sialan lo. Bikin jantungan aja. Kirain beneran,” kata Dona bergidik geli.
“Ya kali gue belok. Patah hati bukan berarti gue langsung makan sesama,” ucap Alisa sambil tertawa.
Tak lama, pesanan mereka datang. Dona memesan Red Velvet dan Ice Caramel Macchiato, sedangkan Alisa memesan Tiramisu Cake dan Salted Caramel Latte. Makanan dan minuman terlihat menggoda. Tapi sebelum mencicipinya, tentu saja mereka sibuk memotret — foto makanan, suasana café, dan selfie bersama.
“Lis, nanti di Jakarta, lo tinggal bareng gue aja, ya? Gue udah punya rumah sendiri di sana,” kata Dona sambil menyendok kuenya.
“Serius? Rumah lo sendiri?”
“Iya, baru dibeliin Ayah.”
“Wah enak banget, langsung dibeliin rumah. Ayah lo perhatian banget,” kata Alisa kagum.
“Perhatian dari Hong Kong. Itu rumah mah salah satu syarat biar gue ngizinin dia nikah. Gue minta rumah, tabungan kuliah aman, uang jajan lebih gede dari anak tirinya nanti. Baru deh gue kasih restu.”
Alisa melongo. “Gila lo, Don. Lo peres Ayah lo sendiri.”
“Biarin. Gue cuma jaga-jaga. Jangan sampai setelah mereka resmi nikah, gue jadi anak tiri yang dikucilkan. Percaya deh, pelan-pelan mereka bakal cari muka, sok baik, terus pelan-pelan racunin Ayah gue. Ujung-ujungnya gue ditendang.”
“Plak!” Alisa menjitak pelan kepala Dona.
“Aw! Apaan sih!”
“Lo kebanyakan nonton sinetron! Hidup gak sesinetron itu, Don. Bisa aja mereka ternyata orang baik.”
Dona mendengus, “Ya... gue harap sih lo bener. Tapi gue tetap harus siap. Gue gak mau jadi tokoh utama yang tersisih di drama keluarga gue sendiri.”
Alisa tersenyum simpul. Hari itu mereka menghabiskan waktu dengan tawa, candaan, dan cerita panjang. Di antara rasa khawatir akan masa depan, ada keyakinan yang tumbuh: selama mereka punya satu sama lain, segalanya akan terasa lebih mudah.