Sebuah kisah tentang cinta yang berubah menjadi jeruji. Tentang perempuan yang harus memilih: tetap dalam pelukan yang menyakitkan, atau berjuang pulang ke dirinya sendiri.
Terjebak di Pelukan Manipulasi menceritakan kisah Aira, seorang perempuan yang awalnya hanya ingin bermitra bisnis dengan Gibran, pria karismatik .
Namun, di balik kata-kata manis dan janji yang terdengar sempurna, tersembunyi perangkap manipulasi halus yang perlahan menghapus jati dirinya.
Ia kehilangan kontrol, dijauhkan dari dunia luar, bahkan diputus dari akses kesehatannya sendiri.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah bagaimana seseorang bisa dikendalikan, dikurung secara emosional, dan dibuat merasa bersalah karena ingin bebas.
Akankah Aira menemukan kekuatannya kembali sebelum segalanya terlambat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nandra 999, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab - 23 Tak Semua Mendukung Cahaya
Pagi itu, Aira menerima pesan undangan dari sebuah komunitas penyintas nasional. Mereka tertarik dengan tulisan dan perjuangan Aira yang sempat viral. Ia diminta menjadi pembicara dalam diskusi bertema:
“Saat Perempuan Tak Lagi Diam”
Awalnya Aira ragu. Ia bukan aktivis. Ia bukan tokoh terkenal. Tapi kalimat dalam surat undangan itu terus terngiang:
“Suaramu bukan hanya tentangmu. Tapi tentang kami yang pernah merasa tidak layak bicara.”
Aira akhirnya menerima. Dan tiga hari kemudian, ia berdiri di depan layar Zoom bersama puluhan wajah perempuan dari berbagai kota—semua menyimak ceritanya.
Aira mulai bicara. Suaranya gemetar di awal. Tapi pelan-pelan ia menemukan ritmenya. Ia menceritakan tentang cinta yang berubah jadi kendali. Tentang kekerasan yang tak selalu meninggalkan lebam, tapi menghancurkan jiwa. Dan tentang keberaniannya untuk melapor, meski harus kehilangan banyak hal.
“Saya tidak akan berdiri di sini kalau saya masih menyalahkan diri sendiri,” ucap Aira. “Saya berdiri karena saya memilih menyalahkan sistem yang membiarkan pelaku tetap nyaman sementara korban disuruh diam.”
Aplaus virtual memenuhi layar. Beberapa peserta bahkan menangis, mengirim pesan pribadi.
“Kak Aira, saya baru tahu kalau saya juga penyintas.”
“Terima kasih sudah membela kami yang masih belum bisa bicara.”
Aira menutup laptop dengan hati penuh—bukan bangga, tapi penuh tanggung jawab.
Namun, tak semua orang senang Aira mulai bersinar.
Keesokan harinya, sebuah akun anonim mengunggah potongan tulisan Aira dan menyebarkannya ke media sosial, menudingnya sebagai pencari simpati.
“Jangan tertipu narasi perempuan ini. Ceritanya penuh bumbu. Ada agenda di balik aksinya.”
Lalu pesan WhatsApp masuk dari nomor tak dikenal:
“Kamu pikir bisa menang? Kamu sedang ganggu urusan orang besar. Jangan macam-macam.”
semakin besar suara perempuan, semakin keras usaha dunia untuk membungkamnya.
Tekanan makin nyata saat seseorang dari pihak keluarga Gibran menghubungi Aira secara langsung.
Seorang perempuan paruh baya datangi Aira.
"Aira?" sapanya sopan tapi dingin. "Saya tantenya Gibran, Boleh bicara sebentar?"
Aira berdiri, tak ingin kabur. Ia tak ingin lagi bersembunyi.
“Silakan.”
Perempuan itu duduk dan membuka percakapan dengan nada lembut namun manipulatif.
“Kami dari keluarga merasa sangat kecewa.
seharusnya tidak diumbar. Kamu kan perempuan baik. Kenapa harus mempermalukan keluarga kami? ”
Aira menatap tajam. “Kalau keluarga Gibran malu karena perbuatannya, bukan saya yang salah.”
“Kami tahu siapa kamu. Dulu kamu juga bukan perempuan sempurna. Jangan pikir semua orang simpati karena kamu main drama di internet.”
Aira mengepalkan tangannya di balik meja. Tapi ia menahan marah.
“Kalau saya dulu bertahan karena takut, sekarang saya bicara karena sadar. Saya tidak butuh dianggap sempurna untuk mendapatkan keadilan. Yang saya butuhkan cuma didengar. Dan saya akan terus bicara, meski kalian tidak suka.”
Perempuan itu mendesis, berdiri, lalu pergi tanpa pamit.
Aira duduk kembali. Lututnya gemetar. Tapi dalam hati, ia tahu...
kebenaran tidak butuh restu siapa pun untuk terus berdiri.
Malam harinya, Aira menerima kabar baik.
Salah satu media nasional ingin mewawancarainya untuk segmen khusus:
“Suara Perempuan Melawan Kekerasan”
Dan Aira mengiyakan. Tapi kali ini, dengan satu syarat: wajahnya tetap ditampilkan.
Ia tidak ingin sembunyi lagi.
“Jika aku bicara mewakili banyak yang diam, maka wajahku tak boleh lagi sembunyi.”
Di akhir bab, Aira menulis di jurnalnya:
“Mereka mencoba membungkamku. Mereka ingin aku malu, takut, dan menyerah. Tapi yang tidak mereka tahu, aku tidak sedang mencari simpati. Aku sedang memperjuangkan hidup.”