Ratusan tahun lalu, umat manusia hampir punah dalam peperangan dahsyat melawan makhluk asing yang disebut Invader—penghancur dunia yang datang dari langit dengan satu tujuan: merebut Bumi.
Dalam kegelapan itu, lahirlah para High Human, manusia terpilih yang diinkarnasi oleh para dewa, diberikan kekuatan luar biasa untuk melawan ancaman tersebut. Namun kekuatan itu bukan tanpa risiko, dan perang abadi itu terus bergulir di balik bayang-bayang sejarah.
Kini, saat dunia kembali terancam, legenda lama itu mulai terbangun. Para High Human muncul kembali, membawa rahasia dan kekuatan yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan segalanya.
Apakah manusia siap menghadapi ancaman yang akan datang kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8 Remake: Masih Ada Harapan
Langit pagi menggantung muram di atas Rivera yang nyaris tak bernyawa. Kabut asap menggulung pelan dari sisa-sisa bangunan yang terbakar. Bau darah, tanah hangus, dan kesedihan menyatu di udara.
Derap langkah ratusan kuda dan roda kereta akhirnya tiba di ambang desa. Bendera kerajaan berkibar dari ujung tombak para ksatria yang baru datang. Mereka bersiap menghadapi pertempuran—namun yang mereka temukan adalah keheningan yang mengerikan.
Puluhan kepala Invader yang terpenggal berserakan seperti batu nisan tak bernama.
Dan di tengah medan kehancuran itu... Tiga sosok duduk bersandar di atas tumpukan reruntuhan.
Fanesa duduk di atas balok kayu patah, memeriksa kondisi busur miliknya dengan wajah kosong.
Van, masih mengenakan zirah beratnya, tengah menyeduh teh dari termos kecil dan menatap api unggun kecil yang mereka buat.
Kean, tombaknya menancap di tanah, hanya berdiri diam sambil memandangi desa yang tak lagi bernyawa.
Tak satu pun dari mereka berbicara saat para ksatria menghampiri dengan gugup dan hormat.
“...High Human,” bisik salah satu prajurit.
“Benar-benar nyata,” ujar lainnya dengan suara tertahan.
Namun ketiganya hanya diam.
Komandan ksatria kerajaan mengatur perintah.
“Buat perimeter. Prioritaskan evakuasi warga yang tertimbun. Kirim yang terluka ke kereta medis. Mayat yang ditemukan dikumpulkan untuk pemakaman.”
Para penyembuh dan relawan segera bergerak, menyingkirkan puing demi puing. Beberapa warga ditemukan masih hidup, menggeliat dalam luka dan trauma.
Teriakan sedih menyatu dengan suara sekop dan kayu yang digeser.
Bocah yang tubuhnya penuh debu menangis memanggil ibunya.
Seorang lelaki memeluk tubuh istrinya yang sudah tak bernyawa.
Rivera telah berubah menjadi ladang duka.
---
Fanesa akhirnya berdiri. Ia memandang sekeliling, seakan berharap ada sesuatu yang bisa diperbaiki.
“...Kalau saja kita datang lebih cepat,” gumamnya, lirih.
Van meletakkan cangkir teh miliknya ke tanah. “Kalau saja...”
Kean mengepalkan tinjunya.
Matanya tak lepas dari reruntuhan yang dulunya adalah rumah dan kehidupan.
“Kita terlambat,” ucapnya pelan. “Tak seharusnya aku membuang-buang waktuku pada saat itu.”
Tidak ada dari mereka yang tahu bahwa di antara reruntuhan itu, seorang anak laki-laki yang dimasa depan mendatang akan menjadi sosok yang berpotensi lebih hebat dari mereka.
Yang mereka tahu, pagi ini mereka menang. Namun hati mereka tidak merasa demikian.
---
Tenda evakuasi di barat daya Rivera menjadi saksi bisu dari luka yang lebih dalam dari sekadar goresan pedang atau gigitan Invader—luka itu bernama kehilangan.
Di tengah padatnya tenda, tempat para tabib dan ksatria berlalu-lalang menyelamatkan siapa pun yang masih bisa diselamatkan, duduk seorang gadis muda.
Aria Pixis.
Rambut biru malamnya terurai kusut menutupi sebagian wajahnya yang lesu. Gaunnya compang-camping, masih berlumur darah dan debu. Matanya yang dulu bersinar seperti bulan kini meredup, menatap lantai tanah tanpa tujuan. Bibirnya tertutup rapat. Tidak ada air mata lagi yang bisa keluar—semuanya sudah kering bersama teriakan ayahnya yang terakhir.
“Ayah...” Bisiknya hancur.
Satu-satunya sosok yang selalu ada untuknya sejak kecil, yang mengajarinya cara membidik, cara membaca jejak di hutan, cara menjaga keberanian—telah tiada. Mati demi dirinya.
Dan Sho...
Sho juga hilang.
Sudah dicari sejak pertarungan berakhir. Namun ia tak terlihat di mana pun. Tak ada jejak, tak ada jawaban, tak ada tanda kehidupan.
Seperti ditelan bumi.
Aria mulai menggenggam kuat lututnya sendiri, kukunya nyaris menembus kulit. “Kenapa... kenapa semuanya pergi...?”
Tiba-tiba, dari luar tenda, suara teriakan mengguncang udara.
“Seseorang bantu aku! Aku menemukan seorang bocah! Rambut cokelat! Dia masih bernapas!!”
Jantung Aria langsung berhenti berdetak.
Aria terdiam sejenak. Jantungnya berdetak keras—ia mengenal deskripsi itu.
Seolah disambar petir, Aria melesat keluar dari tenda tanpa menoleh, menerobos tirai kain putih itu seperti anak panah yang ditembakkan tanpa arah—namun hatinya tahu ke mana harus menuju.
Tanah di bawah kakinya nyaris tak terasa. Semua orang tampak seperti bayangan. Semua suara memudar kecuali degup jantungnya yang berdentum keras.
Dan di sana—
Di antara para ksatria yang sedang menarik tubuh seorang pemuda dari reruntuhan bangunan—terlihat sosok itu.
Tubuhnya berbalut debu dan serpihan kayu, rambut cokelatnya kotor, wajahnya tertutup sebagian oleh lengan yang masih melindungi dada.
Langkah Aria terhenti.
Dunia seolah menahan napas.
Tangannya menutup mulutnya sendiri.
Lututnya hampir lemas.
“Sho...”
Lalu tubuhnya melesat lagi, berlari tanpa memperdulikan apa pun. Ia menerjang barisan ksatria yang hendak mengangkat Sho ke tandu, dan langsung menjatuhkan diri ke pelukan pemuda yang tak sadarkan diri itu.
“SHO!!!”
Ia menubruknya, memeluk tubuh Sho erat-erat, seolah takut tubuh itu akan menghilang lagi jika dilepas.
“Kau... Kau hidup... Syukurlah, aku pikir aku... Kehilangan segalanya.”
Aria tak lagi bisa menahan tangisnya. Untuk pertama kalinya, Aria menangis. Isakannya pecah di atas dada Sho yang masih bernapas lemah. Air matanya jatuh seperti hujan badai, membasahi dada Sho yang tetap tenang dalam ketidaksadaran.
Tangannya menggenggam baju Sho dengan keras. Tubuhnya gemetar. Ia tak peduli pada tatapan semua orang di sekitarnya. Ia bahkan tak peduli jika ia dianggap lemah, pecah, atau putus asa.
Karena untuk sesaat—dunia memberinya keajaiban kecil.
Sho selamat.
Para ksatria dan tabib yang melihat momen itu tak berani mengganggu. Beberapa bahkan menunduk, membiarkan gadis itu menuangkan semua yang tidak sempat ia ucapkan.
Salah satu tabib mendekat pelan, memeriksa Sho, lalu mengerutkan keningnya.
“Tak ada luka... Ini mustahil. Bahkan tidak ada memar...”
“Bagaimana mungkin? Dia tertimpa reruntuhan dalam waktu yang cukup lama...” tanya salah satu ksatria yang kebingungan.
Tabib itu mengusap keringat di pelipisnya dan menunjuk leher Sho—di sana tergantung sebuah kalung kristal berwarna hijau, retak halus namun masih memancarkan cahaya lembut yang nyaris tak terlihat.
“Aku yakin benda ini yang melindunginya...”
“Dari reruntuhan?”
“Ya. Tubuhnya tertutup sepenuhnya. Tetapi tidak ada satu goresan pun ditubuhnya...”
Tentu saja, tidak ada dari mereka yang tahu.
Bahwa saat reruntuhan menimpa, kalung itu memancarkan pelindung tak kasat mata, menciptakan kubah pelindung hijau yang menyelamatkan Sho dari kematian.
Kalung hijau itu otomatis melindungi pemiliknya tanpa perintah.
Aria tetap dalam pelukan itu. Tangisnya masih bergema pelan, menggetarkan malam yang mulai turun.
Untuk pertama kalinya... Ia merasa harapan masih ada.
Dan di bawah langit Rivera yang perlahan menggelap, Aria terus memeluk satu-satunya hal yang membuatnya bertahan—cahaya kecil yang tersisa dalam dunia yang nyaris padam.
semogaa hp nya author bisa sehat kembali, dan semoga di lancarkan kuliahnya, sehat sehat yaa author kesayangan kuu/Kiss//Kiss/