Lovy Crisela Luwiys—gadis ceplas-ceplos yang dijuluki Cegil—dipaksa menikah dengan Adrian Kaelith Evander, pewaris dingin sekaligus Casanova kelas kakap.
Bagi Lovy, ini bencana. Wasiat Neneknya jelas: menikah atau kehilangan segalanya. Bagi Kael, hanya kewajiban keluarga. Namun di balik tatapan dinginnya, tersimpan rahasia masa lalu yang bisa menghancurkan siapa saja.
Niat Lovy membuat Kael ilfil justru berbalik arah. Sedikit demi sedikit, ia malah jatuh pada pesona pria yang katanya punya dua puluh lima mantan. Casanova sejati—atau sekadar topeng?
Di tengah intrik keluarga Evander, Lovy harus memilih: bertahan dengan keanehannya, atau tenggelam di dunia Kael yang berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Myra Eldane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Momen Haru
Aula itu terasa seperti potongan surga yang jatuh ke bumi.
Chandelier kristal menggantung dari langit-langit tinggi, memecah cahaya menjadi serpihan-serpihan pelangi halus. Lantai marmer mengilat seperti cermin, memantulkan setiap langkah. Dinding dihiasi ukiran emas tipis, sementara rangkaian bunga mawar putih dan peach menjuntai dari pilar-pilar. Aromanya lembut, menenangkan, namun sekaligus menggetarkan dada.
Pintu besar berlapis kaca terbuka perlahan—dan Lovy melangkah masuk.
Semua Mata Padanya
Sejenak, aula itu berhenti bernapas.
Semua kepala menoleh, semua mata menatap, semua bisik-bisik terhenti.
Lovy berdiri di ambang pintu, dilingkupi cahaya keemasan dari chandelier yang jatuh tepat di atas kepalanya.
Gaun putih itu sederhana, tapi justru itulah keindahannya. Satin halusnya jatuh membentuk siluet anggun, menyapu lantai seperti aliran air. Veil tipis menjuntai dari sanggul rendah yang dihiasi bunga melati, sebagian rambutnya jatuh lembut di sisi wajah. Dan di bawah veil itu, wajah Lovy... bercahaya.
Bibirnya bergetar menahan gugup, tapi matanya lembut, basah, seperti telaga di pagi hari. Ada merah tipis di pipinya, membuatnya terlihat seperti lukisan klasik—nyata, tapi terlalu indah untuk disentuh.
Seseorang berbisik pelan di barisan tamu.
"Cantik sekali..."
Bisikan itu merambat, seperti riak di air tenang.
Beberapa tamu bahkan mengeluarkan ponsel—lalu buru-buru menurunkannya lagi, karena entah kenapa, momen itu terasa terlalu sakral untuk diabadikan sembarangan.
Lovy menghela napas, jemarinya menggenggam erat buket mawar putih di tangannya. Matanya berkeliling, menangkap wajah-wajah yang dikenalnya—Isabella, Damien, Samuel... dan tentu saja, Kael.
Tapi di sisi lain, di antara tamu, ada bisikan iri dan dengki:
"Cantik sih, tapi suaminya nanti Casanova, main sana-sini."
"Sttt... jangan besar-besar suaranya. Tapi nih ya, kasian banget ceweknya."
"Casanova gitu, tapi kan kaya, ganteng. Gak rugi lah."
"Wanita mauan gak sih?"
"Sstttt..."
Samuel berdiri di dekat panggung, jas hitamnya rapi, dasi abu-abunya sempurna. Tadi ia sempat meninggalkan Lovy sejenak. Tapi saat ia berjalan, banyak sekali bisikan tidak enak yang ia dengar. Khawatir Lovy mendengarnya, ia segera menghampiri adik sepupunya itu.
"Jangan didengarkan!" ucapnya panik.
Lovy tersenyum kecil, menatap Samuel dari balik veil.
"Bisikan jelek itu ya, Kak? Udah... gak usah khawatir. Itu harus jadi kebiasaan buat calon seleb," ucapnya dramatis sambil mengibas-ngibaskan veil di wajahnya.
Samuel tersenyum lembut, namun tiba-tiba wajah tegasnya sedikit retak—mata itu basah.
"Lovy," suaranya rendah, hampir serak. "Kamu... cantik banget."
Lovy menatap dalam mata sepupunya yang sekarang menjadi wali nikahnya. Ia berusaha menahan air mata yang mulai menggenang.
"Terima kasih, Kak..." lalu ia menatap Samuel lebih lama, mencoba menertawakan kegugupannya sendiri. "Tapi kok... suasananya beda, ya? Kakak biasanya ngomel dulu baru muji."
Samuel menghela napas kecil, sudut bibirnya terangkat tipis.
"Kalau aku ngomel, nanti kamu mewek. Kalau aku muji... kamu juga mewek. Jadi aku pilih muji aja, sekalian nangis bareng."
Lovy tersenyum lebih lebar, tapi matanya sudah tergenang air mata tertahan.
"Cup, cup, cup, jangan nangis." Samuel menatap wajah adik sepupunya itu—gadis yang ia rawat sejak kecil. Yang tidur di kamar yang sama dengannya dulu ketika rumah terasa terlalu besar. Yang dulu berlari memanggil namanya ketika takut petir. Yang dulu ia marahi karena makan es krim sebelum makan malam.
Sekarang gadis itu berdiri di hadapannya dalam gaun pengantin.
Sebuah helaan napas berat lolos dari bibir Samuel. Bahunya sedikit bergetar.
"Kak..." Lovy memanggil pelan, suaranya pecah. "Jangan nangis dulu, nanti aku juga—"
Terlambat. Samuel menutup wajah dengan telapak tangan, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
Seketika Lovy meletakkan buket bunganya ke kursi terdekat, lalu memeluk Samuel erat-erat. Kepalanya menunduk ke dada Samuel, bahunya bergetar.
"Terima kasih, Kak..." bisik Lovy di bahunya. "Sudah jaga aku selama ini. Sudah jadi... kakak, walinya, rumahku."
Samuel memeluk balik, genggamannya erat, hampir seperti tak rela melepas.
"Lovy," suaranya serak, nyaris patah, "aku janji. Apa pun yang terjadi setelah ini... kamu tetap adik kecilku. Aku tetap akan jaga kamu. Aku nggak akan biarin siapa pun sakiti kamu. Termasuk Kael."
Lovy menahan tangis sambil terkekeh kecil. "Jangan gitu, Kak. Dia dengar nanti kabur lagi."
Samuel menghela napas panjang, menahan tawa kecil di sela air matanya. "Biarin. Kalau dia kabur, aku yang kejar."
Samuel melepaskan pelukan itu, memegang pundak Lovy, menatapnya lama. Lalu, dengan gerakan pelan, ia membetulkan veil Lovy yang sedikit miring di bahu.
"Aku cuma mau bilang," katanya serak, "aku bangga sama kamu. Nenek pasti juga bangga, kalau dia lihat kamu sekarang."
Kata-kata itu menghantam hati Lovy. Air matanya tidak bisa lagi ditahan, menetes lebih cepat.
"Kak Samuel..." Lovy menunduk, suaranya pecah, "aku juga bangga sama Kak Samuel. Kamu selalu jaga aku, walaupun sering galak."
Samuel tersenyum tipis—senyuman langka yang hanya keluar di momen seperti ini.
"Kamu harus ingat! Aku akan terus jaga kamu, Lov. Walaupun kamu jadi Nyonya Evander nanti."
Samuel mengelus pipi Lovy pelan tanpa merusak make up.
Lovy memeluknya lagi, versi singkat kali ini, bahunya bergetar. "Terima kasih... Kak."
Dari belakang, suara ringan langsung memecah momen haru itu.
"Eh, eh, jangan nangis dulu!" Syegi menepuk pelan bahu Lovy. "Nanti cantiknya hilang, make up-nya luntur, bisa dimarahin MUA, lho!"
Lovy spontan ketawa kecil di sela isaknya. "Syegi!"
Syegi ikut menepuk bahu Samuel dan mengangkat alis nakal, mencari kesempatan di sela momen haru ini.
"Eh, eh, Bos, jangan bikin pengantin nangis dulu dong!" katanya dengan nada khasnya. "Foundation-nya bisa longsor, blush on-nya bisa hilang! Nanti bukan jadi pengantin cantik, tapi pengantin panda!"
Lovy refleks tertawa bahagia.
Make-up artist yang berdiri di sisi aula juga ikut terkekeh, lalu cepat-cepat memberi tisu pada Lovy. Samuel menggeleng, menyeka matanya sendiri. Senyumnya muncul samar, matanya tampak lega—Lovy kembali tersenyum.
Syegi menatap Samuel dan Lovy, lalu bersiul pelan.
"Aku suka adegan drama Korea yang kayak gini... tapi kalau aku lihat langsung, rasanya lebih bikin mata perih."
***
Di sisi aula, Isabella memperhatikan semuanya. Senyumnya hangat, tapi matanya... ada sesuatu yang ia simpan rapat-rapat di balik tatapan itu.
Damian menghampiri Isabella, suaranya datar.
"Aku akan keluar sebentar. Ada rekan bisnis menunggu di ruang tamu."
Isabella menatap suaminya, mengangguk singkat. "Jangan lama. Ini hari anakmu."
Damian hanya menatap Kael sekilas, dengan langkah ringan ia keluar dari aula—dingin, tak banyak kata.
Kael berdiri di dekat pilar marmer, tangannya mengancing jas, matanya mengikuti punggung Damian yang pergi. Isabella menghampirinya, jemarinya menyentuh lengan jas putranya.
"Kael. Tadi kamu lihat Donovan?"
Kael menoleh pelan, wajahnya tenang tapi matanya seperti bilah es.
"Aku lihat."
Isabella menarik napas. "Kael... kamu—" seolah ingin menambahkan sesuatu... tapi Kael menatapnya dengan pandangan yang terasa dingin. Tatapan itu seolah berkata tanpa suara, Ibu... jangan pura-pura.
Isabella tersenyum tipis. Bagaimanapun mereka menjadi sorotan. Tidak mungkin ia marah dengan sikap anaknya ini. Ia menarik senyum tipisnya—senyum yang sulit dibaca. Senyum yang entah menenangkan, entah menutupi sesuatu.
"Kael," bisiknya, "jangan menuduh Mama."
Tak ada kata-kata lagi. Kael menatap ibunya beberapa detik, lalu memalingkan wajah, melangkah pergi tanpa menoleh.
Senyum di bibir Isabella memudar. Jemarinya saling menggenggam erat, seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan—tapi ia menahan.
Kael melangkah ke depan aula. Di sanalah Donovan berdiri.
Pria itu tampak santai, jas abu-abu arangnya menonjol di tengah lautan tamu bergaun hitam dan navy. Ia bersandar pada pilar marmer, satu tangan di saku, satu lagi menggenggam gelas champagne yang belum ia sentuh.
Ketika mata mereka bertemu, dunia terasa berhenti.
Donovan tersenyum.
Senyum itu manis. Terlalu manis.
Sekilas seperti tamu ramah yang tulus bahagia untuk pernikahan ini. Tapi di balik manisnya, ada sesuatu—ejekan. Seperti senyum kucing yang sudah menjebak tikusnya, tapi pura-pura tidak peduli.
Mata abu-abunya berkilat pelan, menatap Kael dengan tatapan yang berkata tanpa suara, "Aku tahu sesuatu yang kamu tidak tahu... dan aku menikmatinya."
Kael tidak menunduk. Wajahnya tetap datar, tapi jemarinya mengepal di sisi jas, urat di lehernya menegang.
Tak ada kata keluar dari bibir mereka.
Tapi tatapan itu lebih keras dari argumen apa pun.
Dan senyum itu—senyum Donovan yang terlalu manis, terlalu damai—menggantung di udara, seperti ancaman yang dibungkus permen.
Dari kejauhan, Lovy melihat semuanya. Hatinya mencelos—ia tak tahu apa yang terjadi, tapi ia tahu ada sesuatu yang tak beres.
Syegi mendekat ke telinga Lovy, berbisik dengan nada dramatis.
"Uh-oh... tatapan macam itu biasanya cuma ada di film action sebelum baku hantam, Lov. Btw, dia siapa?"
Lovy menelan ludah. Tidak menjawab.
Hari pernikahannya baru dimulai.
Dan sudah ada badai di balik senyuman orang itu.
.
.
.