Sebuah kisah cinta rumit dan menimbulkan banyak pertanyaan yang dapat menyesakan hari nurani
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ericka Kano, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pemberian berlandaskan sakit hatiku (Februari 2009)
Hari demi hari berlalu. Steve keseringan datang di kost ku. Kami menghabiskan hari-hari berdua. Pulang ke rumah pun tidak langsung pulang, pasti singgah dulu di rumah Steve.
Siang itu, kami singgah dulu di salah satu swalayan. Ada yang ingin ku beli. Saat antri di kasir, hanya aku saja yang antri. Steve duduk di bangku tunggu dekat kasir.
Hari ini cukup banyak orang yang lalu lalang di supermarket. Kebetulan letaknya pas di tengah kota kami. Sesekali mataku melirik ke arah Steve dan tersenyum. Seolah-olah ingin memberi kode untuk dia sabar menunggu. Steve membalas dengan mengangkat alis. Arah belakang Steve adalah area pintu masuk. Tepat ketika hendak memalingkan wajah dari Steve, aku melihat kemeja biru lengan panjang yang tak asing. Tubuh tinggi 175 cm dengan celana panjang hitam andalan tegap memasuki pintu swalayan. Karena posisiku berbanding lurus dengan arah pintu masuk maka otomatis lah mata kami beradu. Ya, itu Rai. Tidak banyak yang berubah dari beberapa dari bulan lalu saat terakhir bertemu. Dia terhenti sejenak seperti di sinetron-sinetron di televisi. Mataku juga sulit untuk beralih. Darah terasa berdesir. Sesuatu yang lain muncul dari hati yang sebenarnya sudah mulai terkubur di dalam lubuk ini.
"Mbak, ini saja belanjaannya?", suara kasir menyadarkan ku dari tatapan ini.
"Eh, iya, mbak. Itu saja," jawabku sembari mengeluarkan uang dari dompet.
Selesai kasir mengepak belanjaanku, mataku berkelana ke sekeliling berharap bisa melihat kembali sosok Rai. Tapi seberapa keras pun aku berusaha, sosok itu tak kunjung kulihat lagi. Ingin berkata bahwa tadi hanyalah halusinasi tapi dia benar-benar berdiri di area pintu masuk itu. Dia riil. Di hatiku seperti ada sebongkah batu besar yang menyumbat paru-paru untuk bernapas dan hanya bisa lepas kalau aku menangis. Namun, menangis di swalayan dan di depan Steve itu tidak mungkin.
Di atas motor, kepalaku berperang sendiri. Bagaimana jika dia kembali mencari ku. Bagaimana kalau pada akhirnya sebenarnya dia tidak menikah seperti di film-film bahwa itu hanyalah kesalahpahaman belaka. Lalu dia mencari ku dan mengajakku menikah, sedangkan hubunganku dengan Steve makin hari makin dalam. Apakah layak aku memberikan diri ini untuk Rai?
Tiba-tiba cerita Anthon kembali bergema. Rai menikahi wanita malam. Dan sakit itu kembali datang. Sakit sekali. Sulit untuk dijelaskan. Tidak terasa air mata mengalir. Bukan kesedihan, tetapi air mata luka yang terpendam di dalam hati. Dia tidak pernah menyentuhku, bahkan menciumku pun tidak pernah, tetapi dia menikahi wanita malam. Kenyataan yang amat sangat menyakitkan.
"Kita kemana?," tanyaku dengan suara agak keras karena bersaing dengan deru motor Steve
"Kita kerumahku dulu ya. Mama dan papa sedang menghadiri ibadah duka di rumah Tante Evi," jawab Steve dengan suara keras juga.
Itu artinya rumah kosong dan aku tahu maksud Steve. Aku tidak mengatakan apa-apa. Aku menghapus air mata dan menelan kembali rasa sakit itu.
Selang beberapa menit, kami sudah tiba di depan rumah Steve. Dan benar saja. Rumah itu kosong. Steve membawa kunci cadangan jadi dia langsung membuka pintu begitu turun dari motor.
Di antara rasa sakit, kecewa, kesedihan yang membuncah di hati, setelah pintu dikunci kembali, tiba-tiba refleks aku mendorong Steve ke sofa. Steve terduduk dengan posisi pasrah. Tidak seperti biasa, kali ini aku mulai mencium Steve. Aku tumpahkan semua rasa pedihku pada gerakan demi gerakan saat aku mencumbu Steve. Aku langsung mencopot semua pakaianku selanjutnya pakaian Steve. Dan akhirnya tidak ada menutupi tubuh kami. Steve melihat aku begitu bergairah mencumbunya, dia pun tidak kalah bergairahnya.
Pagutan demi pagutan saling kami beri. Napas tersengal-sengal menahan rangsangan demi rangsangan. Aku mengambil posisi jongkok di depan Steve dan mulai mengulum Steve junior.
"Aaahhh," desah Steve
Kumainkan terus juniornya hingga dia menarik tanganku kembali berdiri.
"Ty, aku gak tahan. Aku ingin masuk," suara Steve begitu berat
Rasa sakit di hatiku mendorongku untuk menganggukkan kepala. Runtuh pertahananku saat ini. Benteng terakhir yang ku pertahankan kini akan dibuka.
Steve membaringkan ku perlahan di sofa. Matanya menatap ke dalam mataku. Dia menciumku sebentar dan berbisik,
"Ini akan terasa sakit. Bersuara saja jika tidak tahan. Tapi kalau sudah masuk full, tidak akan sesakit di awal lagi,"
Aku hanya menganggukkan kepala dan memejamkan mata. Steve mengatur posisinya. Dari gerakannya terlihat sebenarnya dia juga gugup untuk melakukan ini.
Dan betul katanya. Begitu mulai masuk, aku merasakan perih seperti luka iris.
"Sakit...," lirihku
"Sabar sayang, kalau sudah masuk tidak sakit lagi," ujar Steve sambil menciumku dan tangannya memberi rangsangan ke dadaku supaya aku tidak fokus pada rasa sakit di bawah.
Dia mulai melakukan penetrasi. Sambil terus memainkan dadaku. Pinggulku mulai terangkat mengikuti iramanya.
"Sayang, aku akan mendorongnya lebih kuat lagi supaya bisa masuk semua," bisik Steve di telingaku.
"Lakukan saja sayang. Aku akan menahannya,' kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Dan dengan refleks, aku membuka kaki ku agar lebar untuk memberi akses bagi Steve.
"Pegang pundakku kuat-kuat kalau sakit sayang," ucap Steve dengan suara yang mendesah. Keringat mulai mengucur di dahinya. Dia berjuang keras untuk bisa memiliki seutuhnya.
Dan setelah percobaan beberapa kali, aku pun merasakan perih yang luar biasa di area kewanitaanku. Sakit yang dibarengi rasa tidak ingin berhenti. Begitu bisa masuk semua, Steve bukannya berhenti, dia malah menambah kecepatannya dan kenikmatan itu membuat Steve tidak mawas diri. Di puncak kenikmatan, dia harus menumpahkannya di dalam rahimku.
Napas kami sama-sama tersengal-sengal. Dia masih menindih ku. Wajah dan tubuhnya berkeringat. Begitu juga aku. Kami seperti baru saja melewati pergulatan yang berat.
"Terima kasih sayang," ucap Steve sambil mencium keningku lalu memeluk tubuhku.
Kenikmatan itu harus aku bayar mahal keesokan harinya. Berjalan saja terasa begitu sulit. Sakit dan sangat perih. Namun aku berusaha untuk berjalan normal supaya tidak ketahuan kalau yang berharga dari diriku sudah kuberikan kepada Steve.
Pemberian itu terjadi berlandaskan sakit hati tak terkatakan kepada pria yang sampai hari ini pun sebenarnya masih aku cintai....