Dibawah langit kerajaan yang berlumur cahaya mentari dan darah pengkhianatan, kisah mereka terukir antara cinta yang tak seharusnya tumbuh dan dendam masa lalu yang tak pernah padam.
Ju Jingnan, putri sulung keluarga Ju, memegang pedang dengan tangan dingin dan hati yang berdarah, bersumpah melindungi takhta, meski harus menukar hatinya dengan pengorbanan. Saudari kembarnya, Ju Jingyan, lahir dalam cahaya bulan, membawa kelembutan yang menenangkan, namun senyumannya menyimpan rahasia yang mampu menghancurkan segalanya.
Pertemuan takdir dengan dua saudari itu perlahan membuka pintu masa lalu yang seharusnya tetap terkunci. Ling An, tabib dari selatan, dengan bara dendam yang tersembunyi, ikut menenun nasib mereka dalam benang takdir yang tak bisa dihindari.
Dan ketika bunga plum mekar, satu per satu hati luluh di bawah takdir. Dan ketika darah kembali membasuh singgasana, hanya satu pertanyaan yang tersisa: siapa yang berani memberi cinta di atas pengorbanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurfadilaRiska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal Dari Jalan Yang Berbeda
Dua putri kembar kerajaan Ju menapaki awal dari jalan yang berbeda.
Di satu sisi, Jingnan membawa gelisah yang terus menekan dadanya—sebuah kebenaran yang seolah bersembunyi di balik setiap bayangan.
Di sisi lain, Jingyan merasakan hatinya goyah oleh seseorang yang perlahan mengguncang dunia kecilnya.
Dan di balik semua itu, takdir sudah mulai menenun benang yang tak bisa diputuskan—benang yang akan menyeret keduanya, cepat atau lambat menuju perubahan yang tak terelakkan.
Halaman Latihan
Di halaman latihan Istana Zhenhua, Jingnan berdiri memegang busurnya. Udara dingin menyelimuti halaman, namun kulitnya dipenuhi keringat tipis. Ia menarik busur dan melepaskan anak panah.
Duk.
Meleset lagi.
Weifeng mengernyit. Ini bukan Jinan yang ia kenal. Biasanya, anak panahnya selalu tepat sasaran. Tapi sore ini… gadis itu tampak seperti orang yang kehilangan fokus.
"Nannan," panggil Weifeng sambil mendekat. "Ada apa? Sudah tiga kali meleset."
Jingnan menggeleng pelan. "Aku hanya… tidak enak badan."
Ia menyimpan busurnya, mencoba menenangkan diri. Namun bayangan mata penyusup yang ia lihat sebelumnya dan kata-kata Tabib Ling an terus menghantuinya—mata penyusup semalam, mata Tabib Ling an dan kata-katanya. Hatinya bergelora, napasnya sedikit tersendat.
Weifeng ingin bertanya lagi, tapi Jinan cepat-cepat berdiri. "Aku ke kamar dulu. Aku… lelah."
Dari Taman istana, Ibu suri Jing Yue memandang putrinya dari kejauhan. Mata lembutnya dipenuhi kekhawatiran. “Nannan… Ibu tahu ada sesuatu yang sedang kamu sembunyikan,” gumamnya pelan, bukan untuk didengar Jingnan, melainkan karena kalimat itu terlalu berat untuk ia simpan sendiri.
Ia tahu ada beban yang Jingnan tanggung sendirian—beban yang tidak pernah ia bagi kepada siapa pun. Sejak kematian ayahnya, Ju Longwei, Jingnan tumbuh menjadi gadis yang tak pernah menunjukkan rasa takut. Ia melangkah seperti seseorang yang selalu siap menghadapi dunia.
Namun bagi Jing Yue, putrinya tetaplah anak yang selalu menyimpan luka dan rahasia dalam diam. Sejak kecil, Jingnan telah menjadi pelindung keluarga mereka. Dan di dalam hatinya, Jing Yue tahu, Jingnan telah berjanji untuk menjaga keluarga dan rakyatnya… bahkan bila itu harus ia lakukan hingga tetes darah terakhir.
Pasar Kota Yunxi
Di tengah keramaian pasar Kota Yunxi, mata Jingyan akhirnya menangkap sosok yang ia kenal—seorang pria muda yang sedang memeriksa pergelangan kaki seorang anak kecil yang menangis.
Ling An.
Pemuda itu mengenakan jubah sederhana warna hitam, rambutnya terikat rapi, dan ekspresinya lembut.
Jingyan memperlambat langkahnya. Di tengah hiruk pikuk pasar, sosok itu berdiri begitu mencolok—tenang, fokus, seakan seluruh dunia mengecil hanya pada pergelangan kaki kecil yang sedang ia periksa. Ling An mengusap kepala anak itu dengan lembut, bibirnya mengeluarkan kata-kata yang menenangkan.
"Tenang, ini hanya keseleo ringan. Kau akan baik-baik saja," katanya kepada si anak sambil tersenyum. Setelah selesai, ia mengembalikan uang yang diberikan orang tua anak itu."Tidak perlu. Simpan saja untuk membeli makanan hangat."
Anak itu berhenti menangis, matanya masih berair namun kini penuh rasa percaya. Ibunya mengucapkan terima kasih berulang-ulang, dan Ling An hanya mengangguk sopan.
Kebaikan tulus yang sama seperti kemarin. Jingyan tanpa sadar tersenyum kecil sebelum mendekat.
Jingyan berdiri beberapa langkah di belakang, jantungnya seperti dipukul rasa takut akan ketauan tabib Ling an dan kagum sekaligus.
"Kenapa harus terlihat menawan saat bekerja seperti itu sih…" batin Jingyan
Ia mengerucutkan bibir, lalu merapikan poni yang sebenarnya tidak berantakan.
Ling An akhirnya mendongak, dan...
Mata mereka bertemu.
Jingyan langsung panik. Ia cepat-cepat melirik ke arah lain seolah sedang mencari sesuatu yang penting di udara.
Ia ingat wajah gadis itu saat menolong pedagang kemarin.
"Nona, kau yang kemarin bukan?" suara Ling An terdengar lembut, tenang seperti biasanya, namun ada sedikit keterkejutan di sana.
Jingyan tersentak kecil. "A-ah… tabib Ling An."
Ia berjalan mendekat, berusaha menjaga wibawa, tetapi langkahnya entah kenapa seperti tidak kompak satu sama lain.
"Kau… sibuk ya?" tanyanya sok santai, padahal kupingnya panas.
Ling An menutup kotak kayu kecil berisi jarum dan ramuan. "Tidak terlalu. Anak-anak memang sering terluka ketika bermain."
Ia berdiri tegak, menatap Jingyan dengan mata yang membuat gadis itu gugup tanpa alasan jelas.
"Aku tidak menyangka akan bertemu nona lagi di sini." Ling An tersenyum tipis.
"Apa yang nona lakukan di sini?"
"Aku… hanya suka tempat ramai. Jadi aku memang sering datang ke sini untuk berjalan-jalan," jawab Jingyan cepat, sebagian karena itu memang benar, sebagian lagi karena alasan yang ia sendiri tidak mau akui.
Keduanya lalu duduk di bangku dekat sumur umum. Sebelum duduk, Ling An menepuk-nepuk bangku itu, memastikan debu tidak menempel pada bangku itu lagi agar tidak membuat pakaian Jingyan kotor.
Jingyan tersenyum manis. "Dan panggil saja aku Jingyan"
Ling an mengangguk dan tersenyum. "Kalau begitu, panggil saja aku Ling An."
Pipi Jingyan memanas. Degup jantungnya seakan ikut terbawa suara lembut pria itu.
Namun mendadak Ling An memiringkan kepala, menatapnya lebih lama daripada sebelumnya.
"Jingyan… sepertinya aku pernah melihat wajahmu…" gumamnya pelan.
"Eh? Di mana?" Jingyan reflek menoleh, menatap balik Ling An dengan mata besar penuh rasa ingin tahu.
Tatapan mereka kembali beradu—dan untuk satu detik yang terasa begitu panjang, Ling An terpaku. Ada sesuatu pada mata gadis itu, sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak entah kenapa.
Dengan cepat ia mengalihkan pandangan.
"Mata ini…" batinnya, tanpa berani melanjutkan kalimat itu bahkan dalam pikirannya sendiri.
semangat teruslah aku dukung🔥❤️