NovelToon NovelToon
KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor jahat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Selingkuh / Percintaan Konglomerat / Romansa
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 31: Pertemuan Ayah dan Anak

#

Pagi itu datang terlalu cepat untuk Larasati—pagi yang membawa janji pertemuan antara Abi dan Gavin, pertemuan yang dia tahu penting tapi juga menakutkan dengan cara yang dia tidak bisa jelaskan sepenuhnya.

Abi bangun dengan mata yang masih sembab dari menangis semalam, tapi saat Larasati bilang "Hari ini kamu akan ketemu Papa," wajah anaknya langsung bersinar dengan cara yang membuat dada Larasati sesak—campuran antara lega melihat anaknya bahagia dan takut bahwa kebahagiaan itu akan hancur lagi.

"Beneran, Ma?" tanya Abi, duduk langsung di kasur dengan mata berbinar. "Abi beneran akan ketemu Papa hari ini?"

"Beneran," jawab Larasati dengan senyum yang dipaksakan. "Di taman kota, jam sepuluh. Papa sudah kangen sama Abi."

Abi melompat dari kasur dengan energi yang tidak terlihat sejak berminggu-minggu, berlari ke lemari untuk pilih baju. "Abi mau pakai baju yang Papa beliin waktu ulang tahun! Papa pasti suka!"

Larasati menatap anaknya yang sekarang sibuk mencari baju di lemari dengan antusiasme yang menyayat hati. Karena Abi tidak seharusnya se-excited ini hanya untuk ketemu papanya sendiri. Anak seharusnya ketemu papa setiap hari, bukan treat pertemuan seperti acara spesial yang langka.

Tapi ini realitas baru mereka. Dan Larasati harus belajar untuk accept itu, sekeras apapun.

---

Taman kota Bandung di pagi Sabtu penuh dengan keluarga—anak-anak main di ayunan dan perosotan, orangtua duduk di bangku sambil ngobrol, pasangan muda berjalan-jalan sambil pegang tangan. Pemandangan kebahagiaan normal yang membuat Larasati merasa seperti outsider, seperti dia dan Abi dari dunia yang berbeda di mana kebahagiaan tidak datang semudah itu.

Mereka datang sepuluh menit lebih awal. Larasati duduk di bangku agak jauh dari area bermain, dengan Abi yang tidak bisa diam—berdiri, duduk, berdiri lagi, berlari beberapa langkah lalu kembali.

"Abi, duduk dulu," kata Larasati lembut. "Papa belum datang."

"Tapi Abi gak sabaran, Ma," kata Abi, matanya terus memindai setiap pria yang lewat, berharap salah satunya adalah papanya. "Abi kangen Papa banget. Udah lama banget Abi gak ketemu Papa."

Tiga minggu. Tiga minggu yang untuk anak tujuh tahun terasa seperti keabadian.

Lalu Larasati melihatnya—Gavin berjalan dari arah pintu masuk taman, dan penampilan yang membuat napasnya tertahan.

Gavin kelihatan... hancur. Tidak ada kata lain yang lebih tepat. Rambutnya berantakan meski terlihat seperti dia sudah coba rapikan. Wajahnya pucat dengan lingkaran hitam yang dalam di bawah mata. Dia pakai jeans dan kemeja sederhana—tidak ada lagi jas mahal atau jam tangan mewah yang biasa dia pakai. Bahkan cara jalannya berbeda—tidak ada lagi kepercayaan diri yang biasa, hanya langkah yang ragu, seperti dia tidak yakin dia berhak untuk ada di sini.

Tapi saat matanya menemukan Abi—saat dia lihat anaknya yang berdiri di samping Larasati dengan wajah penuh harapan—sesuatu di wajah Gavin berubah. Semua kehancuran dan kelelahan tergantikan sebentar oleh sesuatu yang lebih murni: cinta seorang ayah melihat anaknya.

"PAPA!" teriak Abi, dan dia berlari—berlari dengan kecepatan penuh, tidak peduli dengan orang-orang lain di taman, hanya fokus pada papanya yang berdiri di sana.

Gavin jatuh berlutut dengan sempurna untuk menyambut anaknya—dan Abi menabrak dia dengan pelukan yang keras, tangan kecil melingkar di leher papanya dengan erat, wajah tertanam di bahu Gavin.

"Papa! Abi kangen! Abi kangen Papa banget!" isak Abi, dan dia menangis—menangis dengan lega, dengan kebahagiaan, dengan semua emosi yang sudah dia tahan selama berminggu-minggu.

Gavin memeluk anaknya dengan erat—begitu erat sampai terlihat seperti dia takut Abi akan hilang kalau dia lepas. Tubuhnya bergetar, dan Larasati—bahkan dari jarak sepuluh meter—bisa lihat air mata mengalir di pipi Gavin.

"Papa juga kangen," bisik Gavin dengan suara yang pecah, wajah di rambut Abi. "Papa kangen Abi setiap hari. Setiap detik. Maafin Papa ya... maafin Papa..."

Mereka berpelukan seperti itu cukup lama—ayah dan anak yang reunited setelah separation yang terasa terlalu panjang untuk keduanya. Dan Larasati duduk di bangku dengan tangan terkepal di pangkuan, menahan air matanya sendiri karena melihat ini—melihat cinta antara Gavin dan Abi yang genuine dan murni meski segalanya hancur—membuat dadanya sesak dengan cara yang complicated.

Dia benci Gavin untuk apa yang dia lakukan pada pernikahan mereka. Tapi dia tidak bisa benci Gavin sebagai ayah. Karena love-nya untuk Abi—itu real. Itu tidak pernah diragukan.

Akhirnya Abi menarik diri dari pelukan, mengusap matanya dengan punggung tangan. "Kenapa Papa lama banget datangnya? Abi nungguin Papa setiap hari tapi Papa gak datang."

Kata-kata polos yang menusuk seperti pisau. Gavin terlihat seperti dia baru ditampar.

"Papa... Papa lagi ada urusan yang harus Papa selesaikan," kata Gavin, mencoba tersenyum meski air matanya masih mengalir. "Tapi Papa di sini sekarang. Dan Papa mau main sama Abi. Abi mau main apa?"

"Ayunan!" kata Abi langsung, menarik tangan papanya. "Abi mau Papa dorong Abi di ayunan kayak dulu! Yang kenceng sampai Abi kayak terbang!"

Gavin tertawa—suara yang terdengar asing keluar dari pria yang sudah lama tidak punya alasan untuk tertawa. "Oke, Nak. Ayunan. Yang paling kenceng."

Mereka berjalan ke area ayunan dengan Abi yang melompat-lompat di samping papanya, tangannya tidak lepas dari tangan Gavin—seolah takut kalau dia lepas, papanya akan hilang lagi.

Larasati mengikuti dari jarak yang aman, duduk di bangku di mana dia bisa lihat tapi tidak terlalu dekat untuk mengganggu. Ini waktu mereka. Ayah dan anak. Dia hanya di sini untuk supervisi—untuk memastikan semuanya aman, seperti yang court putuskan.

Abi naik ke ayunan dengan bantuan Gavin, dan Gavin mulai dorong—pelan dulu, lalu semakin kencang sesuai permintaan Abi yang tertawa.

"Lebih kenceng, Pa! Abi mau terbang!"

Gavin dorong lebih kencang, dan Abi tertawa—tertawa dengan suara yang murni dan bahagia, suara yang tidak Larasati dengar sejak mereka pindah ke Bandung. Dan melihat anaknya tertawa seperti itu—meski situasinya menyakitkan—membuat sesuatu di dada Larasati sedikit lebih ringan.

Setelah ayunan, mereka main petak umpet di antara pohon-pohon besar. Gavin yang jadi pencari, dan Abi bersembunyi dengan tawa yang tidak bisa dia tahan—membuat Gavin "sulit" menemukannya meski jelas terlihat di balik pohon yang kecil.

"Di mana ya Abi Papa?" kata Gavin dengan nada berpura-pura bingung. "Kok hilang? Apa Abi bisa teleportasi sekarang?"

Abi tertawa lebih keras. "Abi di sini, Pa!"

"Oh! Di sini toh!" Gavin "menemukan" Abi dan angkat dia ke udara, putar-putar sampai Abi teriak dengan bahagia. "Ketemu! Sekarang gantian Abi yang cari Papa ya!"

Mereka bermain seperti itu hampir satu jam—games sederhana yang dulu routine tapi sekarang terasa precious karena langka. Dan untuk sejenak—hanya sejenak—semuanya terasa normal. Seperti dulu. Seperti keluarga yang bahagia sebelum semuanya hancur.

Tapi kemudian Abi lelah, dan mereka duduk di rumput di bawah pohon rindang. Gavin beli es krim dari pedagang keliling—cokelat favorit Abi—dan mereka duduk berdampingan sambil makan.

"Papa," kata Abi di tengah menjilat es krimnya. "Kapan Papa pulang ke rumah?"

Pertanyaan itu membuat Gavin berhenti—sendok es krim di tangannya застыл di udara, wajahnya berubah dari bahagia jadi sesuatu yang jauh lebih complicated.

"Rumah?" ulang Gavin pelan.

"Iya. Rumah kita di Jakarta. Kapan kita pulang? Kapan Papa, Mama, sama Abi tinggal bareng lagi kayak dulu?" Abi menatap papanya dengan mata yang polos, yang tidak mengerti kenapa pertanyaan sederhana itu membuat wajah papanya terlihat seperti mau menangis.

Gavin menatap anaknya—anaknya yang masih makan es krim dengan innocent, yang tidak tahu bahwa pertanyaan dia itu tidak ada jawaban yang mudah, yang masih berharap untuk sesuatu yang tidak akan pernah terjadi lagi.

"Abi," kata Gavin dengan suara yang bergetar, menaruh es krimnya ke samping dan meraih tangan anaknya. "Papa dan Mama... kita lagi... kita tidak tinggal bersama lagi sekarang."

"Kenapa?" tanya Abi, menggenggam tangan papanya. "Apa Papa dan Mama berantem? Kalau berantem kan bisa baikan lagi. Abi sama teman kalau berantem, besoknya baikan kok."

Gavin tersenyum sedih—senyum yang lebih terlihat seperti grimace. "Kadang orang dewasa punya masalah yang lebih rumit dari berantem biasa, Nak. Kadang... kadang tidak bisa baikan begitu saja."

"Tapi kenapa?" Abi menaruh es krimnya juga sekarang, full attention pada papanya. "Apa karena Papa kerja terlalu banyak? Abi inget Papa sering gak pulang. Mama suka sedih. Apa karena itu?"

Setiap kata seperti tamparan yang mengingatkan Gavin pada semua yang dia lakukan salah. "Iya, Nak. Papa... Papa terlalu banyak kerja. Papa tidak cukup ada di rumah. Papa tidak cukup jaga Mama dan Abi. Dan sekarang... sekarang Papa harus tinggal terpisah untuk sementara."

"Berapa lama sementara?" tanya Abi dengan suara kecil. "Seminggu? Sebulan?"

Gavin tidak bisa jawab karena dia tahu jawabannya bukan seminggu atau sebulan. Jawabannya mungkin selamanya. Tapi bagaimana dia bilang "selamanya" pada anak tujuh tahun yang menatapnya dengan harapan?

"Papa tidak tahu, sayang," bisik Gavin, menarik Abi ke pelukannya. "Tapi yang Papa tahu adalah—Papa sayang Abi. Sangat sayang. Dan meski Papa tidak tinggal di rumah yang sama dengan Abi, Papa tetap Papa-nya Abi. Abi tetap bisa ketemu Papa. Tetap bisa main sama Papa. Oke?"

Abi diam di pelukan papanya, lalu bertanya dengan suara yang sangat kecil, hampir tidak terdengar: "Apa Papa gak sayang Mama lagi makanya Papa gak mau tinggal sama Mama?"

Pertanyaan itu membuat Gavin tersentak. "Bukan begitu—"

"Teman Abi di sekolah dulu, papanya pindah rumah karena papanya gak sayang mamanya lagi. Terus papanya nikah sama tante lain. Apa Papa juga akan begitu?" Air mata mulai menggenang di mata Abi. "Apa Papa akan nikah sama tante lain dan lupain Abi?"

"TIDAK!" kata Gavin dengan keras, memegang bahu Abi untuk menatapnya langsung. "Dengar Papa baik-baik. Papa tidak akan pernah—PERNAH—lupain Abi. Abi adalah anak Papa. Darah daging Papa. Dan tidak ada apapun—tidak ada perempuan manapun, tidak ada situasi apapun—yang akan buat Papa lupain Abi. Mengerti?"

Abi mengangguk pelan, tapi air matanya tetap jatuh. "Tapi Abi mau Papa pulang. Abi mau kita jadi keluarga lagi. Abi gak mau Papa tinggal di tempat lain."

Gavin menarik Abi ke pelukannya lagi, dagunya di atas kepala anaknya, dan menangis—menangis dengan hening tapi intens, dengan tubuh yang bergetar dengan penyesalan yang begitu dalam sampai terasa fisik.

"Maafin Papa," bisiknya berkali-kali seperti mantra. "Maafin Papa yang egois. Maafin Papa yang bodoh. Papa hancurkan keluarga kita karena Papa terlalu sibuk dengan hal-hal yang gak penting. Papa pikir perusahaan itu penting. Papa pikir kerja itu penting. Tapi ternyata yang paling penting adalah Abi dan Mama. Dan Papa sadar terlambat. Papa sadar saat semuanya sudah hancur."

Abi menangis di pelukan papanya, tidak sepenuhnya mengerti kata-kata papa tapi merasakan kesedihan yang dalam di balik kata-kata itu.

"Papa janji," lanjut Gavin, mengusap kepala Abi dengan lembut. "Papa janji akan jadi papa yang lebih baik. Papa akan datang lebih sering. Papa akan telepon Abi setiap hari. Papa akan ada saat Abi butuh Papa. Papa tidak akan sia-siakan waktu lagi. Oke?"

"Janji?" tanya Abi dengan suara yang kecil, mengangkat wajahnya yang basah untuk menatap papanya.

"Janji," kata Gavin, mengusap air mata di pipi Abi. "Papa janji dengan segenap hati Papa."

Mereka berpelukan seperti itu sampai tangisan mereda, sampai napas kembali normal, sampai dunia sekitar mereka—suara anak-anak lain bermain, suara burung di pohon, suara angin yang lembut—perlahan kembali masuk ke kesadaran mereka.

"Abi," kata Gavin akhirnya. "Papa punya ide. Gimana kalau kita foto bersama? Nanti Abi bisa lihat fotonya kalau Abi kangen Papa."

Abi mengangguk dengan antusias. Gavin keluarkan ponselnya—ponsel lama dengan layar retak yang dia belum sempat ganti karena sekarang dia harus irit—dan mereka selfie bersama.

Foto pertama dengan senyum yang dipaksakan. Foto kedua dengan Abi cium pipi papanya. Foto ketiga dengan wajah lucu. Dan foto terakhir—foto yang tanpa mereka sadari di-ambil oleh Larasati dari kejauhan—dengan mereka berdua menatap kamera dengan senyum yang genuine tapi ada kesedihan di mata masing-masing.

Waktu dua jam berlalu terlalu cepat. Jam menunjuk pukul dua belas—waktu untuk berpisah.

"Papa harus pergi sekarang," kata Gavin dengan suara yang berat, jongkok di depan Abi. "Tapi Papa akan telepon Abi malam ini sebelum tidur. Oke?"

"Gak mau," kata Abi, menggeleng dengan keras, tangannya mencengkeram baju papanya. "Abi gak mau Papa pergi. Abi mau Papa ikut ke rumah nenek. Papa bisa tidur di kamar tamu. Nenek pasti gak marah."

"Abi, Papa tidak bisa—"

"KENAPA?" teriak Abi tiba-tiba, frustrasi dan kesedihan meledak bersamaan. "Kenapa Papa gak bisa ikut? Kenapa Papa harus pergi lagi? Abi baru aja ketemu Papa! Abi belum puas main sama Papa!"

Gavin memeluk anaknya yang mulai menangis lagi, dadanya remuk mendengar tangisan Abi. "Papa tahu, sayang. Papa juga belum puas main sama Abi. Tapi Papa harus pergi sekarang. Tapi Papa janji akan ketemu Abi lagi minggu depan. Oke?"

"Minggu depan lama banget!" isak Abi. "Abi mau Papa tetap di sini! Abi mau Papa pulang sama Abi!"

Dari bangkunya, Larasati melihat semuanya—melihat Abi menangis sambil memeluk papanya dengan desperate, melihat Gavin mencoba untuk kuat tapi jelas hancur, melihat goodbye yang seharusnya tidak perlu terjadi kalau Gavin membuat pilihan yang berbeda dari awal.

Hatinya berat—berat dengan kesedihan untuk anaknya yang tidak mengerti kenapa keluarganya harus hancur, berat dengan sesuatu yang mungkin simpati (tapi bukan forgiveness) untuk Gavin yang sekarang merasakan konsekuensi dari pilihannya.

Akhirnya, dengan lembut, Gavin lepaskan pelukan Abi. Dia pegang wajah anaknya dengan kedua tangan, menatap matanya.

"Abi harus kuat," bisik Gavin. "Harus jadi anak yang kuat untuk Mama. Mama butuh Abi. Dan Papa juga butuh Abi jadi anak yang baik. Oke?"

Abi mengangguk dengan air mata yang masih mengalir.

"Papa sayang Abi," kata Gavin, mencium kening anaknya. "Lebih dari apapun di dunia ini. Ingat itu selalu."

"Abi juga sayang Papa," bisik Abi.

Gavin berdiri, menatap anaknya satu kali terakhir, lalu berbalik untuk pergi sebelum dia tidak kuat lagi. Setiap langkah terasa seperti ada yang menarik dia kembali, tapi dia paksa kakinya untuk terus berjalan.

Dan di belakangnya, Abi berdiri sendirian di tengah taman dengan wajah basah oleh air mata, menatap punggung papanya yang menjauh.

"Papa!" teriak Abi tiba-tiba. "Papa jangan lupa telepon malam ini ya!"

Gavin berhenti, berbalik, dan tersenyum—senyum yang penuh air mata. "Papa gak akan lupa! Papa janji!"

Lalu dia berbalik lagi dan berjalan—berjalan sampai hilang di balik gerbang taman, sampai Abi tidak bisa lihat dia lagi.

Abi berdiri di sana beberapa detik, lalu berlari ke Larasati yang sekarang berdiri mendekati—berlari dan memeluk ibunya sambil menangis.

"Mama, kenapa Papa harus pergi? Kenapa kita gak bisa pulang bareng? Kenapa semuanya jadi kayak gini?"

Larasati memeluk anaknya dengan erat, air matanya sendiri jatuh. "Mama gak tahu, sayang. Mama juga gak tahu."

Dan mereka berdiri di sana—ibu dan anak di tengah taman yang penuh dengan keluarga bahagia—merasakan kesedihan yang tidak seharusnya mereka rasakan, menanggung beban dari pilihan yang bukan mereka yang buat.

Dari jauh, Gavin bersandar di pohon di luar taman—tidak bisa pergi sepenuhnya, butuh melihat Abi dan Larasati satu kali lagi meski dari jarak yang jauh. Dan dia melihat mereka berpelukan, melihat Abi menangis, melihat kehancuran yang dia ciptakan dengan tangannya sendiri.

Dan untuk pertama kalinya, Gavin benar-benar mengerti arti dari penyesalan—bukan hanya menyesal karena kehilangan, tapi menyesal karena sadar bahwa dia yang menyebabkan rasa sakit ini, dia yang membuat anak yang tidak bersalah menangis, dia yang menghancurkan keluarga yang bisa jadi bahagia kalau dia tidak egois.

Dan penyesalan itu—complete, overwhelming, irreversible—akan menghantuinya setiap hari untuk sisa hidupnya.

---

**Bersambung

1
Aretha Shanum
dari awal ga suka karakter laki2 plin plan
Dri Andri: ya begitulah semua laki laki
kecuali author🤭😁
total 1 replies
Adinda
ceritanya bagus semangat thor
Dri Andri: makasih jaman lupa ranting nya ya😊
total 1 replies
rian Away
awokawok lawak lp bocil
rian Away
YAUDAH BUANG AJA TUH ANAK HARAM KE SI GARVIN
rian Away
mending mati aja sih vin🤭
Dri Andri: waduh kejam amat😁😁😁 biarin aja biar menderita urus aja pelakor nya😁😁😁
total 1 replies
Asphia fia
mampir
Dri Andri: Terima kasih kakak selamat datang di novelku ya
jangn lupa ranting dan kasih dukungan lewat vote nya ya kak😊
total 1 replies
rian Away
wakaranai na, Nani o itteru no desu ka?
Dri Andri: maksudnya
total 1 replies
rian Away
MASIH INGET JUGA LU GOBLOK
Dri Andri: oke siap 😊😊 makasih udah hadir simak terus kisah nya jangan lupa mapir ke cerita lainnya
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!