Ningrat dan kasta, sebuah kesatuan yang selalu berjalan beriringan. Namun, tak pernah terbayangkan bagi gadis proletar (rakyat biasa) bernama Sekar Taji bisa dicintai teramat oleh seorang berda rah biru.
Diantara gempuran kerasnya hidup, Sekar juga harus menerima cinta yang justru semakin mengoyak raga.
Di sisi lain, Amar Kertawidjaja seorang pemuda ningrat yang memiliki pikiran maju, menolak mengikuti aturan keluarganya terlebih perihal jodoh, sebab ia telah jatuh cinta pada gadis bernama Sekar.
Semua tentang cinta, kebebasan dan kebahagiaan. Mampukah keduanya berjuang hingga akhir atau justru hancur lebur oleh aturan yang mengekang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ATN 8~ Dunia memang kejam
Seminggu ini, Sekar benar-benar digembleng. Bahkan otak sempitnya sampai dibuat tak paham saat amih Mayang meminta para ronggeng untuk puasa di dua hari terakhir menuju hari pementasan. Dengan alasan, katanya biar hati bersih, pikiran, bersih dan fokus. Kenapa tidak cuci saja pake sabun colek?
Diantara rasa haus dan lapar yang mungkin sudah biasa untuk Sekar, ia duduk bersama angin sepoi-sepoi yang membuat suasana bale sanggar semakin syahdu untuk melamun. Keringatnya tidak cepat mengering meski angin bertiup menyejukan, bahkan kaosnya sudah basah.
"Kar," teh Nuroh kembali duduk di dekatnya.
"Iya teh?" ia mengusap kening diantara keringat yang masih mengucur.
"Nanti...akan ada sesi dimana kita ajak tamu undangan buat ngibing (nari). Kalau...sampai nanti, tetamu ikut ngibing, jangan ditolak, sawerannya biasanya gede." alisnya naik turun dengan mata mendelik genit nan nakal.
Untuk itu Sekar sudah tau, resikonya wanita penghibur begitu kan? Merasa hina? Sekar sudah tak tau lagi harus menganggapnya apa, baginya yang penting wajah-wajah senang ketiga adik dan kedua orangtuanya, ia juga sudah muak diinjak orang dan dihina-hina sebagai orang miskin terus.
Sekar mengangguk bersamaan dengan senyum teh Nuroh, "kalo untuk bayaran dari amih Mayang jangan ditanya lagi. Usaha tidak akan menghianati hasil." Senyumnya itu, Sekar masih memaknai senyuman Nuroh nakal nan genit, namun jelas ia sangat menyukai itu. Pantas saja, sewaktu namanya tidak disebut di acara pagelaran rutin di alun alun kota, ia terlihat santai saja.
Sekar menggigit bibir bawahnya, berkali-kali ia memejamkan mata dan meyakinkan diri, ada harga yang harus dibayar.
Lantas ia mengajak Sekar untuk duduk bersama yang lain.
"Bayaran kali ini aku mau pasang, Nur. Kamu jadi pasang juga?" tanya Sari. Nuroh terlihat gelagapan sembari membuat gestur mengacungkan telunjuknya di depan mulut, "suuthh, jangan kencang-kencang bicaramu, Ri."
Sari turut mengatupkan mulutnya, lupa. Dan Sekar masih membeo dengan obrolan para seniornya itu.
"Berapa sih maharnya?" tanya Yani diangguki Ros, jarak duduk mereka tiba-tiba merapat lebih dekat lagi.
"Lumayan sih. Untuk susuknya cukup satu gram emas. Tapi maharnya sampai 3 kali lipat."
"Susuk?!" refleks Sekar langsung tegur oleh para seniornya itu, "eh maaf, teh."
Sari tersenyum geli melihat Sekar, "aduh, Kar...jangan bodoh. Di dunia hiburan, ronggeng begini...kita harus pintar-pintar menjaga pamor, kualitas, cahaya. Jangan kalah sama yang baru -baru, kaya gini...kamu, bukan tidak mungkin nanti saya kalah sama kamu. Kalau saya tidak bisa menjaga aura yang saya punya."
Nuroh mendengus, "Kar, sudah menjadi rahasia umum...para ronggeng itu pakai beginian." Nuroh lantas celingukan, untuk kemudian berbisik sangat pelan. Sampai-sampai, Sekar hampir tak bisa mendengar bunyi nafasnya, "amih Mayang juga pakai. Jangankan amih Mayang, kamu tau ngga Raden nyai Ajeng Mahiswar, selir Kanjeng Gusti? Ngga mungkin kosong atuh, Kar."
Ros mengangguk, "Gimana caranya coba, Kanjeng Gusti Bratarana bisa kepincut kalo bukan karena susuk nyai ajeng, dia juga dulunya cuma sinden kampung."
Lalu pandangannya beralih pada Sari lagi.
"Tenang aja, Kar...tempat yang akan kami pakai ini, sudah terpercaya...kami dapat info dari asisten amih sendiri. Nyai Mirah. ..kamu tau ngga amih Mayang pasang susuk di bagian apa aja?"
Sekar menggeleng cepat dan hal itu membuat Yani terkekeh, "polosnya kamu, Kar."
"Kamu ngga liat di usia yang menginjak 40 tahun lebih ini, tapi amih masih persis umur 25an? Lihat apanya coba yang masih keliatan bagus, yahud?"
Ros menunjuk jidat, kemudian ke dagu, lalu turun ke payu dara kemudian menggoyangkan pan tatnya. Hingga akhirnya pandangannya pindah ke area depan bawah, dimana pandangan Sekar ikut jatuh ke arah kevirginannya sendiri, "ihhh!"
Mereka lantas mengangguk lalu tertawa, "saya serius! Katanya----" Ros yang kini celingukan takut jika orang yang sedang mereka gosipi tiba-tiba muncul seperti hantu.
"Biar enak dipakai."
Sekar sudah bergidik jijik, "emang kamu ngga tau? Dulu amih Mayang sering jadi simpanan pejabat sejak seusia kamu."
Sekar pulang sendiri kali ini. Tidak bersama Imas sebab, alasan perbedaan rampak jaipong.
Diantara kesendirian langkahnya, otaknya begitu berisik memikirkan semua obrolan teh Nuroh dan yang lainnya tadi.
Tentang susuk, tentang amih Mayang, nyai Ajeng, lalu beralih membicarakan moment langka ronggeng yang sampai diberi jamuan minum dan disuapi saat ngibing. Dan itu....adalah salah satu pencapaian bagus untuk seorang ronggeng, amih Mayang pernah beberapa kali diperlakukan istimewa begitu oleh tamu pejabat dulu, sekelas camat dan wakil bupati. Menjadikannya ronggeng tersohor disini dan pujaan kaum Adam. Terlebih ia sering diperebutkan.
Tak banyak yang Sekar harapkan saat ini, ia hanya ingin kehidupan keluarganya lebih baik, itu saja. Adik-adiknya mengenyam pendidikan setinggi cita-cita mak dan bapak.
Dan
*Crattt*!
Sekar cukup terkejut saat lumpur tiba-tiba menyiram bajunya.
"Heh Sekar! Apa sih yang dilihat amih Mayang dari kamu!" Ajeng datang dengan kemarahan luar biasa.
Cukup sudah! Kesabarannya habis. Sekar melirik ke kanan dan kiri tak sulit baginya yang masih berada di kebun bambu sebab jalanan tanahnya yang becek.
Ia meraup itu dan...
*Crattt*!
"Maksudmu apa!" ia marah, benar-benar meledak, membalas Ajeng dengan melemparkan tanah merah basah ke arah dada baju Ajeng, "aaa! Gadis miskin ngga tau diri! Saya tau kalo yang acara pabrik kerupuk itu bakalan kedatangan keluarga kasepuhan! Pake cara hina, ya kamu? Pelet? Susuk?! Apa yang kamu pakai?!" Ajeng ingin meraih rambut Sekar, namun Sekar mengelaknya dan mendorong Ajeng kemudian ia berlari.
"Dasar gadis miskin ngga tau diri! Awas ya kamu!" teriak Ajeng menghentak kakinya. Sekar melambatkan langkahnya namun kini dadanya sudah naik turun, ia tak lagi menghiraukan aroma lumpur di bajunya yang bau. Yang jelas, ia sudah menitikan air matanya. Ternyata sesulit ini perjuangan hanya untuk menjadi seorang penghibur saja.
Sadar jika ia sudah hampir mendekati rumah, Sekar segera menghapus kasar air matanya. Berlari segera menuju jam ban. Mencoba membersihkan cipratan lumpur, oh bukan! Lebih tepatnya lemparan lumpur yang hampir memenuhi kaos bagian depannya hingga ke leher dan dagu, bahkan rambutnya ikut terciprati.
Kenapa harus benda bau ini? Ia kesal, dan membuka begitu saja baju kaosnya dengan wajah yang merah padam, "dasar cewek setan." Umpatnya dengan mata yang telah kembali berkaca-kaca dan terisak, ia menangkup ember dari kedua sisi lengannya, dan menunduk menangis tertahan, ia benar-benar harus menahan tangisannya itu, ia harus kuat, ia tak boleh cengeng dan terlihat rapuh, ia harus jadi benteng kokoh. Tak ada suara isakan kencang, namun sesenggukannya jelas sudah menggambarkan betapa ia sudah ada di batas kesabaran dan sakit hati.
Sekar menghapus dan mencuci mukanya segera meskipun ia tak janji mak tak curiga. Ia hanya-----celingukan ke arah luar jam ban, lalu berjinjit meraih handuk di jemuran tali tambang luar dan kembali masuk ke kamar mandi sepetak yang jauh dari kata bagus itu untuk bergegas bersih-bersih.
.
.
.
.
" jembar kisruh" aja si teh🤭🤭🤭😂😂😂🙏