NovelToon NovelToon
Ketika Takdir Menemukan Langit

Ketika Takdir Menemukan Langit

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / CEO / Office Romance
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Embun Nadhira Putri, 28 tahun, terjebak antara tuntutan pekerjaan dan desakan keluarganya untuk segera menikah. Ketika akhirnya mencoba aplikasi kencan, sebuah kesalahan kecil mengubah arah hidupnya—ia salah menyimpan nomor pria yang ia kenal.

Pesan yang seharusnya untuk orang lain justru terkirim kepada Langit Mahendra Atmaja, pria matang dan dewasa yang tidak pernah ia pikirkan akan ia temui. Yang awalnya salah nomor berubah menjadi percakapan hangat, lalu perlahan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti.

Di tengah tekanan keluarga terutama sang Mama, rutinitas yang melelahkan, dan rasa takut membuka hati, Embun menemukan seseorang yang hadir tanpa diminta.
Dan Langit menemukan seseorang yang membuatnya ingin tinggal lebih lama.

Terkadang takdir tidak datang mengetuk.
Kadang ia tersesat.
Kadang ia salah alamat.

Dan kali ini…
takdir menemukan Langit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4 – Mulai Ketagihan Aplikasi Dating

Ruang HRD siang itu lumayan ramai, seperti biasanya ketika jam makan siang mulai mendekat tapi pekerjaan belum mau kompromi. Suara printer di pojokan ruangan berdenging tanpa henti—kadang mulus, kadang batuk-batuk seperti minta diperbaiki. Tawa kecil pegawai dari kubikel sebelah sesekali terdengar, menyatu dengan denting sendok yang mengaduk kopi instan, menciptakan suasana kantor yang riuh tapi tetap hangat.

AC ruangan berhembus terlalu dingin—dingin yang bikin karyawan merinding padahal lagi pusing ngerjain laporan. Di antara semua itu, Embun duduk di meja kerjanya, dikelilingi tumpukan berkas, sticky notes warna-warni, dan laptop yang sudah menghela napas panjang lebih sering daripada manusianya.

Ia menyeruput kopi sachet yang sudah hampir dingin. Kalau tadi pagi rasanya manis, sekarang rasanya lebih mirip teh hitam kejatuhan es batu. Tapi tetap saja diminum—karena hidup kadang perlu kompromi.

Matanya sayu, jelas sekali sisa begadang dari semalam masih nempel. Tapi tangannya tidak berhenti mengetik laporan absensi karyawan dengan kecepatan yang membuat Karin—teman sekubikel—pernah bilang, “Lo tuh kalau ikut lomba ngetik pasti menang, Bun. Sayang hadiahnya bukan jodoh.”

Embun menghela napas panjang sambil merapikan duduknya. Monitor di depannya menampilkan deretan nama karyawan, status hadir, izin, dan keterangan lembur. Angka-angka itu menari di kepalanya seperti perhitungan rumit yang tidak pernah selesai.

Sambil mengetik, Embun sempat mengangkat wajah, menatap sekeliling ruangan. Poster-poster motivasi menempel di dinding:

“Kerja Keras, Kerja Cerdas!”

“Hindari Drama, Fokus Kerja!”

“Tetap Semangat Walau Hati Penat.”

Yang terakhir bikin Embun ingin protes: “Ini poster apa curhat terselubung?”

Ia mendesah, mengambil satu berkas lain dari tumpukan, lalu kembali mengetik. Meski tubuhnya lelah, otaknya tersebar ke mana-mana—ke laporan absensi, ke meeting sore, ke tagihan yang mau jatuh tempo… dan tentu saja, ke tiga notifikasi yang masih menari-nari di HP-nya sejak pagi.

Di kantor yang penuh suara mesin dan tawa kecil ini, Embun berusaha keras berpura-pura profesional. Tapi jantungnya? Kayak HR yang lagi audit mendadak.

Karin, teman sekantor yang duduk tepat di seberang Embun, sudah memperhatikan gelagatnya sejak lima menit lalu. Dengan dagu ditopang tangan dan alis terangkat curiga, ia memiringkan kepala seperti kucing yang baru dengar suara aneh.

“Bun,” katanya pelan tapi jelas, “gue perhatiin dari tadi kadang lo senyum-senyum sendiri.” Ia menyipitkan mata. “Ini lo abis dapet bonus, apa dapet cowok baru nih?”

Embun yang baru saja meneguk kopi sachetnya langsung tersedak sampai matanya hampir berair. “Hah? Nggak! Nggak ada, apaan sih!” jawabnya buru-buru sambil mengelap bibir dengan tisu. Suaranya jelas terlalu defensif untuk terdengar tidak mencurigakan.

Belum sempat stabil, muncul Doni—staf IT yang selalu kebablasan kalau ngomong—melintas sambil bawa kabel LAN segulung.

“Wah, wah…” katanya dengan nada sok detektif. “Kalo Mbun senyum-senyum sendiri gitu, fix lagi dating tuh.” Senyum nakalnya bikin Karin langsung meledak ketawa.

Embun meletakkan cangkir kopinya dengan dramatis, matanya membesar. “Lo berdua ya… emang nggak ada kerjaan selain ngerusuhin hidup orang lain?”

Karin malah makin semangat. Senyumnya melebar kayak kucing dapat sarden.

“Ngaku aja, Bun. Ini muka lo tuh bukan muka HRD yang stres mikirin payroll.” Ia menunjuk wajah Embun dengan ballpoint. “Ini muka orang yang lagi deg-degan nunggu notifikasi masuk.”

Embun akhirnya ikut tertawa kecil, menyerah total.

“Yaudah, yaudah… gue semalem cuma iseng doang download aplikasi dating. Tapi sumpah, Rin, isinya tuh absurd semua!”

Karin langsung duduk lebih tegak, matanya berbinar penuh harapan gosip. “Cihuyyy. Absurd gimana? Jangan-jangan ada yang pake foto kucing tapi ngakunya CEO start-up?”

Embun mengangkat tangannya dramatik, seperti mau kasih kesaksian pengadilan.

“Lebih parah,” jawabnya setengah menahan tawa. “Ada yang foto profilnya cuma… segelas kopi.” Ia memejamkan mata, menirukan trauma kecil itu. “Terus bio-nya: ‘Aku serius cari yang bisa diajak ngopi dan berargumen tentang takdir.’ Gue tuh sampe mikir, nih orang ngopi atau ngelantur?”

Karin sudah ketawa duluan, tapi Doni langsung menyambar, ikut nimbrung tanpa diundang.

“Halah, minimal yang itu masih filosofis,” kata Doni sambil duduk di tepi meja Embun. “Gue pernah liat bio: ‘Aku mantan alien yang nyasar ke bumi’. Fix orangnya kebanyakan nonton film Mars Attacks.”

Karin tepok meja saking ngakaknya. “Astaga gue nggak ngerti lagi. Kayaknya aplikasi dating itu tempat orang-orang yang… terlalu bebas berekspresi.”

Embun pura-pura melotot tajam, tapi senyumnya nggak bisa disembunyikan. “Makanya gue tuh nyesel download-nya. Tapi eh… ”

Kalimatnya terhenti.

HP di meja tiba-tiba bergetar pelan dua kali. Layar menyala, menunjukkan dua notifikasi yang bikin alis Embun langsung naik.

🔔 You have a new match!

🔔 Ari_21 mengirim pesan.

Dalam sepersekian detik, Karin sudah berada di sebelah Embun, kepalanya nyaris nempel ke layar HP.

“WAAAIIIT—match baru?!” pekiknya setengah berbisik, setengah teriak. “Tuh kaaan, semesta tuh lagi bener-bener dukung lo. Buruan dah, sikat, Bun!”

Embun hanya bisa menutup wajah sambil meringis malu.

“Rin… sumpah, ini kantor. Bisa nggak lo pelan dikit?”

Karin mendekat, menunjuk layar HP. “Kantor bodo amat. Yang penting… CINTAA!”

Doni dari jauh teriak, “Jangan lupa backup datanya dulu, Bun!”

Karin langsung balas, “Doni, lo backup hati lo dulu, baru ngomong!”

Embun tertawa keras—kantor benar-benar berubah jadi talk show tanpa kamera.

Embun menarik napas panjang sebelum akhirnya mendorong kursinya sedikit mundur. Perutnya mulai protes—dari tadi sibuk ketawa dan deg-degan, belum sempat makan apa pun. Ia membuka laci bawah meja dan mengeluarkan bekal makan siang buatan Mama Raina yang sudah menunggu sejak pagi: nasi hangat, telur balado yang warnanya menggoda, dan capcay yang masih wangi bawang putih.

Ia membuka tutup kotak pelan-pelan, membiarkan aroma masakan rumah memenuhi kubikal kecil itu. “Haaah… kayaknya cuma makanan yang ngerti gue,” gumamnya sambil tersenyum kecil.

Embun menarik napas dalam-dalam, memandang bekalnya dengan penuh syukur. “Untung Mama masak enak. Tanpa ini gue bisa tumbang.”

Ia mengambil sendok, mulai menyendok nasi dan capcay, dan pada saat yang sama… ponselnya bergetar lagi di sebelah kotak makan.

Karin langsung menengok dari kubikal seberang. “Makan sambil chat? Itu namanya multitasking emosional, Bun.”

“Rin, gue cuma manusia, bukan robot,” jawab Embun sambil memasukkan telur balado ke mulutnya. “Biarkan gue menikmati hidup sedikit.”

Tapi kenyataannya… menikmati hidup = makan sambil cek HP.

Dengan satu tangan memegang sendok, tangan satunya membuka notifikasi baru dari Ari.

📱 Ari_21: Lagi makan siang juga?

Embun mengunyah pelan sambil mengetik balasan pakai satu jempol—gaya multitasking ibu-ibu yang sedang gosip sambil masak.

📱 Embun_Pagi: Yups. Tapi sambil multitasking, lagi ngobrol plus disindir sama orang random 😌

Tidak butuh waktu lama, balasan Ari muncul lagi. Tangan Embun berhenti di udara, sendok masih berisi nasi.

📱 Ari_21: Random? Waduh. Aku kira udah naik level jadi “orang lucu tapi misterius.” 🐟

Embun memandang sendoknya, lalu HP-nya, lalu sendoknya lagi. “Kenapa emoji ikan muncul sih? Ini kenapa cowok satu ini kayak punya afiliasi sama ikan goreng?”

Sambil memakan sesuap lagi, ia membalas:

📱 Embun_Pagi: Kok di akhir kalimat ada emoji ikan goreng, Ar?

📱 Ari_21: Ikan goreng tuh filosofi hidup sederhana tapi renyah di ujungnya.

Embun mematung. Kemudian ia menatap telur balado di bekalnya. “Jangan-jangan hidup gue juga harus renyah di ujungnya…” gumamnya sambil meringis.

Karin dari kejauhan ngeliatin. “Lo kenapa liatin telur kayak liatin jodoh? Ada apa sih?”

“Udah deh, Rin,” Embun menutup bekal sementara. “Gue lagi mencerna filosofi ikan goreng.”

Karin langsung ngakak, sampai-sampai nyaris menjatuhkan keripik kentangnya.

Embun memutuskan membalas sedikit pedas:

📱 Embun_Pagi: Gak ada yang pernah bilang lo normal ya?

📱 Ari_21: Normal itu overrated. Yang penting, chat gue bikin lo senyum kan?

Embun mendengus, pipinya memanas lagi. Ia menulis cepat:

📱 Embun_Pagi: Gue gak senyum 🙃

Setelah mengirim pesan itu, Embun buru-buru meletakkan ponsel seperti orang takut disambar petir. Ia kembali fokus pada makanannya, atau berusaha fokus.

Tapi belum habis tiga suap, ponselnya bergetar lagi.

🔔 You have a new match: Dion_Pion

“YA ALLAH…” Embun menahan napas, lalu membuka match barunya sambil menahan sendok yang masih menggantung di udara. Begitu melihat foto profil Dion, Embun langsung menurunkan sendoknya ke dalam bekal.

“Yang ini vibes-nya rapih banget… Investor. Senyum formal. Kayak menu kopi mahal.”

Ia menatap layar sambil memiringkan kepala. “Yang satu bahas ikan goreng, yang satu bahas strategi bisnis. Gue harus pilih jalur mana nih…”

Karin yang seharusnya kerja malah merapat ke meja Embun, kepalanya muncul dari sisi kubikal.

“Woooow… siapa tuh? Yang pakai dasi? Investor bank?” serunya.

“Investor coffee, kayaknya,” koreksi Embun sambil memelototinya.

Karin mengedip centil. “HRD + investor. Gue kasih nama pasangan kalian: HR-vestor. Cakep nggak?”

Embun menepuk wajahnya sendiri dengan tisu. “Rin… kenapa sih lo begini banget? Gue lapar tau.”

“Tapi hati lo kenyang, Bun.”

Sambil mendesah pasrah, Embun kembali mengetik sambil makan pelan—tangan kiri buat makan, tangan kanan buat flirting. Multitasking level malaikat pencatat amal.

Ia membalas pesan Dion dengan nada manis dan formal, sementara pipinya masih merona.

Dan saat dua notifikasi muncul bersamaan—Ari dan Dion membalas di waktu yang sama—Embun hanya bisa menatap layarnya, sendok terhenti di tengah udara.

“Keren banget lo, Bun, bales chat sampe dua orang sekaligus kaya—”

Karin belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika Embun langsung mendongak, menatapnya tajam seperti HR yang baru menemukan fraud di slip gaji.

“Karin.”Suara Embun rendah, tegas.

Karin berkedip polos. “Apa?”

“Muka lo boleh cantik, tapi kalimat lo barusan… udah melanggar UU Privasi HRD Bab Satu Pasal Sabar.”

Karin langsung ngakak. “Ah elah, lebay lo. Nih ya, Bun—gue cuma mau bilang…” Ia mendekat dramatis, suara diturunin setengah oktaf.

“Lo bales chat sampe dua cowok sekaligus itu levelnya udah kaya… operator call center premium.”

“Rin, sumpah… lo bercita-cita jadi stand-up comedian ya?”

Karin mengangkat bahu sok polos, sambil memutar kursi dengan gaya presenter ajang pencarian bakat. “Gue cuma bantu pilih calon mantu buat Bu Raina. Masa anak secantik lo masih jomblo? Kan nggak estetik kalau diliat keluarga besar.”

Embun menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, terkekeh tak berdaya. Rambutnya sedikit berantakan, tapi ekspresinya jelas antara malu dan stres.

“Gue nggak tau harus ketawa atau nangis.”

Karin langsung menyodorkan tisu. “Nih. Buat ketawa kalo lucu, atau buat nangis kalo dua-duanya bales barengan lagi.”

Embun menepis tisu itu. “Gue nggak segitunya, Rin.”

Karin malah makin semangat. “No seriously, Bun. Lo tuh nggak sadar… jarang-jarang lo aktif gini. Biasanya HP lo cuma penuh notifikasi aplikasi HR dan reminder bayar tagihan listrik!”

Embun mendesah panjang. “Makanya jangan dibahas-bahas.”

“Gue harus bahas lah!” Karin menunjuk Embun pakai pulpen. “Ini pertama kalinya gue liat HRD kayak lo senyum, deg-degan, terus ngetik cepat sambil pipi merah kayak abis lari dari kenangan mantan.”

Embun langsung menutup pipi. “Gue nggak merah!”

“Merah, Bun. Merah banget. Kalo dipakein label, bisa jadi blush on shade ‘Love Struck HRD Pink’.”

“Astaga Rin…” Embun menunduk sambil ketawa nggak kuat.

Belum selesai mereka debat, tiba-tiba Doni lewat sambil bawa kabel LAN dan obeng—lagi-lagi tidak jelas mau memperbaiki apa, padahal ini lagi jam makan siang.

Dia berhenti begitu dengar percakapan itu.

“Ohh…” katanya sambil mengangguk-angguk sok paham. “Berarti lo sekarang open recruitment calon pasangan ya, Bun?”

Embun memicing. “Lo nih ya…”

Doni tidak mundur sedikit pun. “Saran gue, Bun… interview dua cowok itu satu-satu. Biar adil. Nanti siapa yang lulus psikotes, itu yang jadi pacar.”

Karin langsung tepok paha sambil ngakak. “Bener banget! Bener banget! Kita bikin sesi wawancara digital!”

Embun mendecak. “Gila lo berdua. Ini hidup gue, bukan acara audisi Idola Cinta.”

“Cocok tau jadi acara!” Doni makin semangat. “Judulnya: Mencari Jodoh Mbak HRD—Siapa yang Lulus Administrasi Cinta?”

Karin langsung menambahkan, “Tahap pertama: tes baca niat. Tahap kedua: tes kesabaran dengerin curhatan jam kerja. Tahap ketiga: simulasi ‘ketika wifi kantor mati’.”

Embun akhirnya melempar tisu ke arah mereka berdua. “GUE MAU MAKAN TENANG, BOLEH NGGAK?!”

Karin menangkis tisu itu sambil ngakak. “Boleh. Tapi cowok lo dua-duanya udah nunggu di notifikasi, Bun. Jangan sampe ada yang resign gara-gara nggak direspons.”

Embun menutup muka, suara diganti lirih.

“Gue nggak tau lagi… kenapa sih hidup gue berasa komedi romantis low budget gini?”

Karin menepuk bahunya pelan. “Tenang. Kita upgrade jadi high-budget kok, Bun.”

Embun mendesah. “Rin, sumpah, mulut lo”

Tepat saat itu— HP Embun bergetar lagi, dua kali.

Keduanya menatap layar HP Embun… dan Karin langsung memekik kecil.

“YAAAH BENER KAN! Itu dua cowok lo bales bareng lagi!!”

Embun hanya bisa menutup wajah pakai bekalnya. “Gue resign aja lah…”

Notifikasi kembali muncul.

📱 Dion_Pion: Halo, Embun. Salam kenal. Kamu terlihat menarik di foto profilmu. Apa kabar hari ini?

Embun mengetik sambil menjaga nada profesional.

📱 Embun_Pagi: Halo juga. Baik, lagi istirahat kerja. Kamu sendiri?

📱 Dion_Pion: Baru selesai meeting. Lagi di coffee shop, sambil nyusun strategi bisnis kecilku.

📱 Embun_Pagi: Bisnis apa tuh, kalau boleh tahu?

📱 Dion_Pion: Coffee beans import. Lagi buka cabang di Bali. Kamu suka kopi?

Embun tersenyum sambil menggigit bibir. Aduh… kok keren.

📱 Embun_Pagi: *S*uka banget. Tapi tergantung kopi mana dulu nih yang lagi bikin deg-degan ☕😉

Begitu tombol send ditekan, Embun langsung menutup mulutnya sendiri dengan refleks.

“YA ALLAH… kenapa gue jadi flirting balik?!” desisnya, panik.

Karin yang mengintip dari samping langsung bersiul panjang. “Wihhh… Embun flirting. Catat tanggalnya. Ini sejarah besar.”

Embun menatapnya tajam, tapi tetap tersenyum malu. Belum sempat ia menarik napas panjang, dua notifikasi muncul bersamaan—satu dari Ari, satu dari Dion.

📱 Ari_21: HRD, jangan bilang lo lagi selingkuh chat sama orang lain ya? Aku bisa ngerasain getaran notifikasinya loh.

📱 Dion_Pion: Haha, nice one. Kalau kamu suka kopi, aku buatin blend khusus buat kamu kapan-kapan.

Embun membeku. Tangannya menggenggam ponsel erat-erat, bingung mau buka yang mana.

“Dua-duanya bales barengan…” katanya lirih sambil mengembuskan napas. “Gila… ini apa kompetisi ‘Rebut HRD 2025’?”

Karin meledak ketawa. “Selamat datang di dunia baru, Bun—di mana cowok absurd dan cowok elegan mulai duel tanpa babak penyisihan.”

Embun akhirnya ikut tertawa, menutupi muka dengan tangan. “Gue capek… tapi kok seneng juga, ya?”

Karin menepuk bahunya lembut. “Wajar, Bun. Lo baru ingat rasanya disukain.”

Embun terdiam sesaat. Senyumnya pelan, lembut, tidak berlebihan—sekadar senyum seseorang yang baru sadar hidupnya mulai punya warna lagi.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Embun memiliki perasaan aneh itu: ramai, kikuk, geli, deg-degan… dan entah kenapa, menyenangkan. Seperti secangkir kopi pagi—hangat, harum, dan bikin jantung kerja sedikit lebih cepat.

*

Malam itu udara terasa lebih hangat dari biasanya. Embun baru saja selesai mandi, rambutnya masih lembap dan wangi sampo melati samar tercium setiap kali ia bergerak. Di meja kerja kamarnya, laptop menyala tapi sudah ditinggalkan — niat awalnya mau lanjut laporan kantor terus buat beberapa program, tapi fokusnya malah ke ponsel yang terus bergetar.

🔔 Dion_Pion: Kamu udah makan malam?

🔔 Ari_21: HRD, gue nemu meme ikan goreng, lo harus liat!

Embun menatap kedua notifikasi itu dengan ekspresi bimbang. “Tuhan, ini ujian apa latihan multitasking perasaan?” gumamnya, menatap dua nama yang seolah berebut perhatian di layar.

Dia akhirnya menenggak segelas air putih dan duduk di kasur, menarik napas panjang. “Baiklah, satu-satu dulu.”

📱 Embun_Pagi: Udah kok, makan ayam geprek. Kamu sendiri?

📱 Dion_Pion: Sama, tapi aku masak sendiri. Simple aja, pasta dan grilled chicken.

Embun tersenyum kecil sambil mengetik

📱 Embun_Pagi: Wah, cowok bisa masak tuh bonus gede loh.

📱 Dion_Pion: Haha, harus bisa dong. Soalnya aku suka bikin orang tersenyum lewat makanan.

Embun berhenti sejenak, matanya membulat. “Aduh... ini kalimatnya lembut banget. Kenapa jadi kayak scene drakor?” Ia menutup wajah dengan bantal sambil menahan tawa malu.

Tapi belum sempat menikmati efek senyum itu, notifikasi baru muncul lagi dari Ari.

📱 Ari_21: Nih, gue kirim meme ikan goreng filosofis versi 2.0. (gambar ikan goreng dikasih caption: “Kalo kamu nggak bisa jadi pelangi buat orang lain, jadilah sambal yang bikin hidup mereka sedikit pedes.”)

Melihat captionnya seketika membuat Embun mendengus

📱 Embun_Pagi: Ini apaan sih, Ar?

📱 Ari_21: Seni, Bulan. Seni rasa lapar.

Melihat balasan dari Ari membuat Embun memutar bola matanya

📱 Embun_Pagi: Kadang gue ngerasa lo tuh kayak karakter random yang nyasar ke chat gue.

📱 Ari_21: Tapi karakter random ini bisa bikin lo ngetik terus, kan? 😏

Embun spontan melempar bantal ke arah dinding. “Astaga, nih orang!” Tapi senyum di wajahnya nggak hilang. Ia mengetik cepat.

📱 Embun_Pagi: Gue bukan ketawa, gue kesel.

📱 Ari_21: Kesel tapi gak left chat, kan? 😎

Embun memutar bola matanya, tapi hatinya terasa hangat entah kenapa.

“Gila sih, absurd tapi nyenengin,” bisiknya pelan.

Beberapa menit berlalu, dan tanpa sadar Embun berpindah-pindah antara dua chat itu.

Dion nanya hal-hal manis dan sopan: tentang pekerjaan, kopi favorit, film yang ia suka.

Sementara Ari… sibuk ngirim meme random dan bercanda soal hal hal absurd, sambil sesekali nyelipin gombalan absurd.

📱 Dion_Pion: Aku suka perempuan yang punya passion, kayak kamu

📱 Ari_21: Kalo gue sih suka perempuan yang bisa ngetik tanpa typo — soalnya itu tanda dia fokus sama gue.

Embun menatap layar, menutup mulutnya biar nggak ketawa keras-keras. “Ya ampun, dua-duanya beda planet tapi kok sama-sama lucu,” gumamnya sambil menggeleng.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas lewat tiga puluh. Ruang kamar Embun hanya diterangi cahaya layar ponsel. Matanya mulai berat, tapi jempolnya masih sibuk menari di atas keyboard kecil itu.

📱 Dion_Pion : Jangan begadang ya. Besok kerja kan?

📱 Embun_Pagi: Iya, kamu juga jangan lupa istirahat.

📱 Ari_21: HRD, tidur gih. Nanti lo telat, gue nggak mau disalahin sama perusahaan lo.

Embun tertawa kecil sembari meletakkan ponselnya diatas nakas  “Nih dua orang serempak banget ngomongin tidur.”

Ia akhirnya mematikan lampu kamar, berbaring, dan memeluk bantal. Tapi senyum di wajahnya belum juga hilang.

“Dulu rasanya gue cuma kerja, pulang, rebahan... sekarang malah nunggu notifikasi dua orang,” gumamnya pelan sambil menatap langit-langit.

Di layar ponsel yang masih menyala, dua chat terakhir terpampang berdampingan —Satu dengan emoji kopi ☕, satu lagi dengan emoji ikan goreng 🐟.

“Hmm, kita lihat aja besok ada hal absurd apalagi dari kalian berdua” ucap Embun sembari meletakkan ponselnya diatas nakas.

**

tbc

1
Bia_
ferdi lu bener bener ya,
Al_yaa
greget banget sama bab ini, gak sabar nunggu lanjutannya, updatenya bisa langsung 5 bab gak thor,penasaran bangettt
Al_yaa
cepatt cari orang bodoh itu papiiii
Al_yaa
cefatt rekrut diaa langitttt
KaosKaki
rasakno koe fer
KaosKaki
boleh gak berkata kasar buat di Ferdi /Panic//Panic/
Bubuuu
ceritanya bagus banget 👍👍😍😍
Al_yaa
yg buat virus perempuan, diremehin pulak tapi bikin satu gedung gonjang ganjing /Joyful/
aRa_
hebat banget embun, langsung ulti si Ferdi pake virus biar kicep
aRa_
bajigur banget si Ferdi /Panic/
aRa_
baru telponan aja udh deg degan ya embun
Al_yaa
ferdi, lo syibal banget yakk/Angry/
Al_yaa
pandangan pertama awal aku berjumpa /Hey//Hey/
Al_yaa
one step closer langit, berawal dari callan lama lama video callan dehhh
Bia_
akhirnya akhirnya /Scream/
Bia_
yaloh mereka udah Callan aja
KaosKaki
huuwwaaa akhirnya mereka ketemu tapi gak kenal /Sob//Sob//Sob/
KaosKaki
ada apa inih, kenapa bapaknya angkasa nongol. tor ada apa ini coba jelaskan
KaosKaki
bener bener dah ya, embun sama langit udah kaya anak abg banget /Facepalm/
Bia_
wow apakah akan ada plot twist Pemirsa 🤭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!