Alena Prameswari percaya bahwa cinta bisa mengubah segalanya.
Tapi setelah tiga tahun menikah dengan Arga Mahendra, ia sadar bahwa kesetiaan tak akan berarti bila hanya satu pihak yang berjuang.
Saat pengkhianatan terbongkar, Alena memilih pergi. Ia menerima proyek desain di Dubai... tempat baru, awal baru.
Tanpa disangka pertemuan profesional dengan seorang pangeran muda, Fadil Al-Rashid, membuka lembaran hidup yang tak pernah ia bayangkan.
Fadil bukan hanya pria miliarder yang memujanya dengan segala kemewahan,
tetapi juga sosok yang menghargai luka-luka kecil yang dulu diabaikan.
Namun cinta baru tak selalu mudah.
Ada jarak budaya, gengsi, dan masa lalu yang belum benar-benar selesai. Tapi kali ini, Alena tak lari. Ia berdiri untuk dirinya sendiri... dan untuk cinta yang lebih sehat.
Akankah akhirnya Alena bisa bahagia?
Kisah ini adalah journey untuk wanita yang tersakiti...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 8.
Malam di Dubai selalu terasa hidup, bahkan ketika kota itu sudah mulai beristirahat. Cahaya dari Burj Khalifa masih berkilauan, membentuk siluet megah di langit gurun yang hitam kebiruan.
Di apartemennya, Alena terbangun karena ponsel di meja kecilnya bergetar pelan.
Sebuah notifikasi muncul di layar : Nomor Indonesia +62…”
Alena menatapnya lama, jantungnya berdetak lebih cepat tanpa alasan. Ia tahu siapa di balik nomor itu bahkan tanpa membuka pesan.
Arga.
Tangannya bergetar sesaat sebelum akhirnya ia menggeser layar.
Pesan singkat itu muncul.
Arga : [Len, aku tahu kamu marah. Tapi bisa kita bicara sebentar? Aku salah, aku sadar itu.]
Alena terduduk di tepi tempat tidur.
Ponsel itu terasa berat di tangannya, seolah sedang menimbang antara harga diri dan nostalgia.
Dulu, pesan seperti ini bisa membuatnya menangis semalaman.
Dulu, ia akan langsung membalas dengan. “Kapan kamu bisa bicara?”
Tapi kini, hatinya sudah tak sama.
Ia mengetik pelan: [Mas... aku udah sering menunggu kamu meminta bicara denganku. Tapi sekarang, aku sudah selesai denganmu. Tolong, jangan hubungi aku lagi.]
Lalu ia menekan send, dan membiarkan layar ponsel redup begitu saja.
Pagi itu sinar matahari Dubai masuk ke kamar apartemen, membentuk garis-garis hangat di lantai. Ia baru saja selesai menyeduh kopi ketika ponselnya kembali bergetar, nomor yang kini tak asing lagi meski ingin ia hapus... Arga.
Pesan singkat muncul di layar.
Arga : [Aku akan segera ke Dubai, Len. Tolong temui aku... sekali saja.]
Alena menatap layar itu lama, ada rasa berputar di dadanya. Bukan rasa karena rindu, tapi karena tak menyangka orang itu masih berani muncul dalam hidupnya.
Ia menutup ponsel, beberapa menit kemudian ponsel itu kembali bergetar. Kali ini panggilan suara, ia mengangkatnya hanya untuk berkata dengan nada tenang. “Mas, jangan datang! Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan diantara kita!”
“Alena, kumohon. Aku cuma mau minta maaf langsung—”
“Tidak perlu! Maafmu... bukan kunci untuk pintu yang sudah kututup rapat-rapat.“ Ucap Alena sebelum menekan tombol end call.
Tangannya gemetar sedikit, tapi ia merasa lega. Dulu ia selalu takut kehilangan Arga. Sekarang ia tahu, kehilangan dirinya sendiri itu malah jauh lebih menakutkan.
Siangnya, di kantor Fadil memanggil Alena ke ruangannya.
“Aku dengar kamu terlihat tidak fokus tadi pagi,” katanya dengan nada ringan tapi penuh perhatian.
Alena mencoba tersenyum. “Hanya sedikit terganggu pikiran pribadi, maaf kalau terlihat tidak profesional.”
Fadil menatap wanita itu dalam diam. “Aku tidak bertanya untuk memperingati mu, aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja.”
Nada suara pria itu lembut, tulus. Tidak menuntut jawaban, hanya menawarkan ruang.
“Kadang... kita tidak perlu menjelaskan luka. Cukup istirahat, lalu lanjut berjalan.” Tambahnya.
Alena menatap pria itu. “Tuan... pernah terluka juga, ya?”
Fadil tersenyum samar. “Pernah, tapi aku memilih berdamai... bukan menghapusnya dari hidupku.”
Ucapan itu mengendap di hati Alena, ia pulang malam itu dengan pikiran penuh. Tentang Fadil, yang mengajarkannya cara menatap masa lalu tanpa tenggelam.
Seminggu kemudian, Alena menerima pesan singkat dari Fadil.
Fadil : [Besok malam, jam 7. Ada jamuan kecil di rumahku. Semua tim inti diundang... datanglah.]
Hatinya berdetak aneh membaca kalimat itu. Ia tahu ini acara kantor, tapi tetap saja bayangan makan malam di rumah Fadil membuatnya gugup.
Ia memilih gaun panjang sederhana berwarna biru gelap dan kerudung satin lembut. Saat tiba di rumah besar itu, ia disambut aroma mawar dan lampu taman yang redup.
Rumah Fadil bukan rumah megah seperti yang ia bayangkan, justru terasa hangat. Ada sentuhan tradisi Arab berpadu modern, penuh buku dan karya seni.
Beberapa rekan kerja sudah hadir, tapi Fadil sendiri yang membukakan pintu untuknya.
“Selamat datang, Alena.” Katanya, tersenyum hangat.
Alena balas tersenyum. “Rumah Anda indah sekali seperti museum yang berjiwa.”
“Terima kasih, Alena. Tapi rumah ini belum hidup sampai ada seseorang yang membuatnya terasa... nyata. Aku sedang mencari wanita yang bisa menjadikan rumah ini tempatku pulang...“
Kalimat itu menggantung, samar. Tapi anehnya, malah membuat pipi Alena memanas.
Selama makan malam, Fadil duduk di seberangnya. Sesekali pandangan mereka bertemu, tidak lama tapi cukup untuk membuat waktu terasa melambat.
Ia menceritakan sedikit tentang ibunya yang seorang desainer karpet tradisional di Qatar, dan bagaimana ia belajar makna keindahan dari hal-hal sederhana. Namun, Fadil tetap merahasiakan jika dirinya adalah seorang pangeran.
“Menurutku... keindahan itu bukan kemewahan, tapi keseimbangan antara luka dan harapan.” Ucapnya seraya menatap Alena, seolah pria itu tau jika Alena pernah terluka.
Alena hanya menundukkan wajahnya.
Ketika hendak beranjak pulang, Fadil melangkah mendekat ke arah Alena. Suaranya terdengar tenang, namun ada nada ragu di dalamnya.
“Aku sebenarnya ingin mengantarmu sendiri. Tapi… situasiku tidak memungkinkan malam ini. Supirku yang akan mengantarmu pulang.”
Alena menatap pria itu sejenak, tak benar-benar mengerti maksud di balik ucapannya. Namun ia memilih tersenyum lembut, menahan rasa ingin tahunya.
“Saya mengerti, Tuan.” Jawabnya pelan, sopan seperti biasanya.
“Hati-hati di jalan…” ucap Fadil, suaranya terdengar hangat namun menahan sesuatu. Ia sempat membuka mulut seolah ingin menambahkan kalimat lain, tapi akhirnya memilih diam.
Tatapannya mengikuti langkah Alena yang menjauh. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi tidak bisa.
Identitas aslinya bukan sesuatu yang bisa ia bagikan begitu saja, terlalu berisiko — terlalu banyak rahasia di baliknya. Ia harus berhati-hati… terutama jika mulai melibatkan hati dalam urusan yang seharusnya sederhana.
Kan kamu sendiri yang secara ngga langsung menyuruh Alena pergi dari hidupmu... 😤
Kalo Arga meminta Alena untuk balikan, jangan harap deh yah.. 😫
Kaya Jailangkung aja, datang tak dijemput pulang tak diantar /Facepalm/