Selina harus menelan pahit kenyataan di kala dirinya sudah bercerai dengan mantan suami hasil perjodohan. Ternyata tak lama setelah itu, dia menemukan dirinya tengah berbadan dua.
Selina akhirnya memutuskan untuk membesarkan bayinya sendiri, meskipun harus menjadi ibu tunggal tak membuatnya menyerah.
Berbeda dengan Zavier. Mantan suaminya yang hidup bahagia dan mewah dengan kekasihnya. Seseorang sudah hadir di hidup pria itu jauh sebelum kedatangan Selina.
Akankah kebenarannya terungkap seiring berjalannya waktu? Belum lagi Selina Kini harus terjebak dengan seorang bos yang sangat menyebalkan.
Ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28
Sementara Jayden kian panik karena tak juga menemukan Selina. Pria itu sudah berkeliling hampir setengah kota di mobilnya, menyusuri jalanan yang mulai lengang.
“Awas saja kalau wanita itu berani-beraninya kabur di saat seperti ini…” gerutunya kesal.
Tiba-tiba Jayden teringat sesuatu. “Bodoh. Kenapa baru kepikiran sekarang?” desisnya. Jayden kemudian memberhentikan mobilnya Ialu buru-buru merogoh ponselnya dan mencari nomor Selina.
Drttt…
Ponsel Selina berdering di dalam tas kecilnya. Wanita itu masih terduduk di bangku taman kota, matanya kosong, pikirannya sibuk memikirkan orang tuanya. Sesekali ia menghela napas panjang, bingung harus mencari ke mana.
Drttt…
Ponsel itu bergetar lagi, disusul notifikasi pesan yang masuk bertubi-tubi.
Selina tersentak, buru-buru merogoh tasnya. Ia mengernyit melihat nomor asing yang menghubunginya. Dengan ragu, akhirnya ia menggeser ikon hijau.
“H… halo?” suara Selina terdengar parau.
“Di mana kamu!?” suara berat langsung menyambar telinganya.
“Pa… Pak Jayden?” kata Selina setengah kaget.
“Ya, aku. Apa segitu patah hatinya kamu sampai kabur begitu saja dari gedung pesta?” suara Jayden meninggi.
Selina terdiam, menggigit bibirnya.
“Tidak bisakah kamu melupakannya?” lanjut Jayden. “Apa istimewanya orang yang sudah jelas-jelas menyakiti hatimu itu? Kenapa kamu masih membiarkan dia menguasai hidupmu?”
Hening. Selina tak menjawab apa-apa.
“Apa kamu dengar apa yang aku katakan!? Sekarang di mana dirimu!?” bentak pria itu lagi.
Tut!
Jayden mengumpat kesal saat sambungan telepon terputus. “Sial!” desisnya, mengepalkan tangannya di setir.
Selina menunduk, menggenggam ponselnya erat-erat. Ia tak ingin ada yang mengganggunya. Bertemu dengan Jayden hanya akan membuat hatinya semakin sesak.
•
•
Selina membuka matanya perlahan. Cahaya lampu kamar langsung menusuk pandangannya. Ia mengerjap beberapa kali, berusaha mengenali sekeliling.
“Di… mana ini?” gumamnya lirih. Seingatnya, terakhir ia berada di taman. Kenapa bisa tiba-tiba berada di kamar asing ini?
Ia bangkit pelan, merasakan selimut tebal tersampir di tubuhnya. Pandangannya turun, mendapati dirinya kini memakai sweater hitam yang menutupi gaun pesta yang tadi malam ia kenakan.
Baru saja ia hendak turun dari kasur, pintu kamar terbuka. Selina tersentak kaget saat sosok Jayden masuk, menatapnya dengan ekspresi datar, sorot matanya sulit ditebak.
Selina meneguk ludahnya kasar saat pria itu berjalan mendekat.
Bagaimana bisa Jayden menemukannya?
Seakan tahu kebingungan di wajah Selina, pria itu akhirnya membuka suara.
“Aku menemukannya di taman. Kamu hampir digerayangi beberapa pria brengsek. Kalau saja aku terlambat sedikit saja…” Jayden menghentikan kalimatnya, rahangnya mengeras, nada suaranya dingin tapi jelas mengandung amarah yang ditahan.
Selina membeku. “A… apa?” suaranya bergetar.
Jayden mendengus pelan, matanya menusuk Selina.
“Kalau aku tidak punya hati nurani, mungkin sudah kubiarkan mereka melakukan seenaknya pada tubuhmu.”
Selina meremas selimut erat-erat, tubuhnya gemetar. Matanya tiba-tiba memanas.
Jayden mendengus lagi.
“Jangan menangis,” katanya dingin. “Aku tidak suka wanita yang sedikit-sedikit mengeluarkan air mata. Itu hanya membuatmu terlihat lemah.”
“Sekarang kita pulang. Putramu tadi malam menelpon dan menangis ingin bertemu denganmu,” kata Jayden datar.
Selina lekas mengangguk, buru-buru turun dari kasur. Ia mengikuti langkah Jayden tanpa banyak bicara. Begitu keluar kamar, barulah ia sadar kalau ternyata mereka ada di sebuah hotel.
Selama perjalanan pulang, Selina hanya menatap ke luar jendela. Matanya tampak sembab, lingkar hitam menghiasi kelopak seperti mata panda. Bibirnya pun kering pecah-pecah, membuatnya tampak jauh berbeda dari biasanya.
“Penampilanmu sudah seperti orang yang baru pulang dari hutan,” sindir Jayden sinis, matanya melirik ke arah Selina.
“Kuyakin tak ada pria waras yang mau melirik wanita dengan kondisi begini,” lanjutnya.
Selina menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan sakit hati. “Saya juga nggak berminat menarik perhatian pria lain,” jawabnya lirih, tatapannya masih lurus ke jalanan di luar.
Jayden hendak menyahut lagi, tapi tiba-tiba—
Kryuukkk…
Suara perut Selina yang berbunyi cukup keras. Wajah Selina sontak memerah, ia meringis malu dan buru-buru mengusap perutnya.
Jayden mendecak pelan, sudut bibirnya terangkat tipis. “Terlalu banyak pikiran sampai melupakan makan. Wanita ceroboh,” sindirnya, nada suaranya terdengar seperti mengejek.
Selina menunduk, tak berniat membantah. Wajar saja dia kelaparan karena dari sore sampai pagi dia tidak makan apapun.
Tanpa berkata banyak lagi, Jayden menepikan mobilnya ke sebuah restoran yang masih buka di pinggir jalan. Ia mematikan mesin, lalu menoleh sekilas ke arah Selina.
“Turun. Makan dulu. Aku tidak mau membawa pulang orang yang bisa pingsan di tengah jalan.”
padahal lembek