Semua ini tentang Lucyana Putri Chandra yang pernah disakiti, dihancurkan, dan ditinggalkan.
Tapi muncul seseorang dengan segala spontanitas dan ketulusannya.
Apakah Lucyana berani jatuh cinta lagi?
Kali ini pada seorang Sadewa Nugraha Abimanyu yang jauh lebih muda darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jemiiima__, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akibat Andika!
Sebelum membersihkan luka-luka di tubuh Lucy, Detri sempat memotret semuanya satu per satu. Memastikan setiap memar, goresan, dan lebam terdokumentasi jelas untuk keperluan visum.
Setiap kali suara klik terdengar, Lucy refleks menunduk, merasa malu sekaligus perih mengingat semua yang baru saja terjadi.
“Maaf ya, Luc,” bisik Detri lirih, “ini cuma buat bukti. Supaya dia nggak bisa kabur lagi dari tanggung jawab.”
Lucy mengangguk pelan. “Iya, gue ngerti. Lakuin aja.”
Kemudian, Detri mengambil kotak P3K yang ada di sebelah rak buku. Dengan tangan gemetar, ia mulai membersihkan luka di sudut bibir Lucy yang pecah.
“Perih, ya?” tanyanya pelan.
Lucy menggeleng, walau wajahnya menahan sakit. “Nggak apa-apa, terusin aja.”
Sunyi sejenak. Yang terdengar hanya suara kapas yang menyentuh kulit dan desah napas keduanya.
Detri berusaha tersenyum walau matanya berkaca. “Semua terekam jelas, Luc. Kamera kecil itu kerja dengan sempurna. Dari lo didorong, sampai dia narik rambut lo, semua ada.”
Lucy menunduk, matanya menatap kosong ke arah meja ruang tamu. “Jadi nggak sia-sia, ya… semua ini.”
“Makasih, Det. Kalau bukan karena lo, mungkin gue udah nyerah dari dulu.”
Detri mengusap lembut pipi Lucy, hati-hati agar tak mengenai luka. “Udah, sekarang istirahat. Gue jagain lo malam ini. Dunia boleh kejam, tapi gue nggak akan biarin lo ngelawan sendirian lagi.”
Beberapa saat kemudian, ponsel Detri berdering. Ia melihat layar dan mendesah pelan.
“Nyokap gue, Luc. Katanya suruh pulang, nyokap minta anter kontrol ke rumah sakit.”
Lucy tersenyum lemah. “Gak apa-apa, Det. Aman kok, gue sendiri aja.”
“Yakin lo?”
“Iya. Lo kabarin aja kalau udah sampe rumah. Besok gue izin gak masuk, ya. Tolong bilangin ke Bu Anna.”
Detri menatap sahabatnya itu lama, lalu mengangguk. “Iya, udah. Lo istirahat aja. Besok abis kerja gue ke sini lagi, bawa makanan juga sekalian.”
Lucy hanya mengangguk kecil, mencoba tersenyum meski matanya sembab. Saat Detri melangkah pergi, apartemen itu kembali sunyi.
...****************...
Sore itu, di atas motornya,
Dewa masih bisa ngerasa deg-degan tiap ingat tatapan si perempuan di kantor polisi tadi. Bukan cuma cantik, tapi… tatapannya beda. Tenang, tapi tajam.
“Lucyana Putri Chandra…” gumamnya sambil lirih, membaca ulang kartu nama yang ditaruh di dasbor motor.
Dewa nyengir kecil sambil menyalakan mesin motor.
Begitu gas ditarik, ekspresi santainya perlahan memudar. Angin sore menyapu wajahnya, dan entah kenapa pikiran Dewa malah melayang ke masa lalu. Ke malam sialan yang bikin hidupnya jungkir balik.
Ia benci mengingatnya, tapi juga tak bisa lari dari rasa bersalah itu.
“Bandung udah cukup jauh dari Jakarta,” bisiknya lirih, “tapi ternyata gak sejauh itu dari rasa bersalah.”
Begitu sampai di gerbang kampus, Dewa berusaha menepis semua pikiran itu. Ia turun dari motor, menepuk pipinya pelan.
“Udah, fokus kuliah, jangan drama. Lo udah janji mau mulai hidup baru, Dewa.”
Beberapa mahasiswa keluar masuk kelas, sebagian nongkrong di depan kantin sambil ketawa-ketawa.
Dewa melangkah cepat ke gedung B sambil ngos-ngosan.
“Pak Budi… tolong jangan absen dulu, please,” gumamnya sambil setengah lari.
Begitu nyampe depan kelas, dosennya udah berdiri di depan papan tulis.
“Saudara Dewa…”
“...hadir, Pak!” potong Dewa cepat, langsung salim gaya bercanda.
Beberapa temannya cekikikan, dosennya cuma geleng-geleng.
“Kamu tuh, kalau otaknya secepat lidah kamu jawab ‘hadir’, mungkin udah lulus cumlaude.”
Seketika kelas pecah tawa.
Dewa duduk di bangkunya, disambut dua sahabatnya—Ryan dan Arka.
“Tumben lo hampir telat, diserempet polisi lo?” sindir Ryan.
Dewa manyun. “Ehh jangan salah bre, demi apa gue hampir dipenjara tadi, gara-gara ada ibu-ibu nuduh gue nabrak dia, padahal dia modus doang lah"
“Serius?” tanya Arka sambil ngakak. “Lo tuh magnet masalah, sumpah.”
Dewa cuma nyengir, tapi matanya kosong sesaat.
Magnet masalah—iya, mungkin bener. Dari dulu hidupnya kayak gak pernah jauh dari masalah.
"Terus, kok ini lo bisa lolos?" tanya Ryan penasaran.
“Ini dia,” Dewa tiba-tiba balik nyengir, “Tiba-tiba ada bidadari turun dari langit bantuin gue!”
Ryan langsung nyeletuk, “Nah tuh mulai, gak jelasnya kumat.”
“Eh serius, geulis pisan siah. Cocok lah sama gue yang ganteng ini"
“Ganteng dari Hong Kong!” jawab Ryan dan Arka serempak.
Suasana kelas kembali riuh, tawa mereka menutup sesak di dada Dewa yang sesekali masih teringat masa lalunya. Tapi untuk pertama kalinya sejak lama, ada hal lain yang ngisi pikirannya selain rasa bersalah—seorang perempuan bernama Lucyana Putri Chandra.
...****************...
Besoknya Lucy terbangun dengan banyak luka dan memar di tubuhnya.
Hari ini ia meminta izin kepada atasannya—Bu Anna untuk tidak masuk karena alasan pribadi.
Ia duduk perlahan, menatap pantulan wajahnya di cermin meja rias — sobek di sudut bibirnya, pipinya memar samar, dan beberapa luka memar lainnya.
Lucy berjalan gontai sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya menuju dapur. Mencari sesuatu yang dapat dimakan, namun nihil tidak ada apa-apa. Ia menarik napas panjang, lalu memesan bubur hangat lewat ShopeeFood—satu-satunya makanan yang bisa ia makan sore itu.
Sementara itu, Sadewa baru saja pulang dari kampus dengan tas selempang masih menempel di bahu. Begitu menyalakan ponselnya, notifikasi driver ShopeeFood berbunyi.
Ia sempat melirik nama pelanggan yang muncul di layar, lalu tersenyum lebar.
“Lucyana?” gumamnya, setengah tak percaya.
Senyumnya mengembang lebih lebar. Ia bahkan lupa waktu itu mau menghubungi Lucy untuk mengucapkan terimakasih atas bantuannya di kantor polisi, karena hampir telat masuk kelas Pak Budi. Tapi ternyata, semesta memberinya cara lain—lebih manis, lebih kebetulan.
“Wah, jodoh emang gak ke mana,” ucap Dewa sambil menyalakan mesin motornya, semangat kembali memancar di wajahnya.
Sadewa tiba di area lobi apartemen Gateway Pasteur. Di tangannya, kantong plastik berisi bubur ayam Gibas—khas bandung yang hangat masih mengepulkan uap. Ia melirik layar ponselnya—pesanan atas nama Lucyana Putri Chandra.
Sudah lima menit ia menunggu di pos satpam, tapi tak juga ada balasan dari pelanggan. Ditelepon tak diangkat, pesan pun tak dibaca. Awalnya ia santai saja, mungkin pelanggan sedang di kamar mandi. Tapi menit demi menit berlalu, rasa tak enak mulai muncul.
“Pak, ini gimana ya? Pelanggannya udah sepuluh menit gak jawab-jawab,” tanya Dewa, menghampiri satpam yang berjaga di meja pos.
Satpam yang lebih tua itu mengangkat wajahnya. “Atas nama siapa, Kang?”
“Lucyana Putri Chandra.”
Satpam mengerutkan kening. “Neng Lucy? Perasaan udah beberapa hari ini saya gak lihat deh. Biasanya suka nyapa kalo lewat.”
Dewa spontan menatap satpam itu, dada mulai terasa berat. “Serius, Pak? Waduh kenapa ya…”
Suasana mendadak hening.
Dewa menggenggam erat plastik berisi bubur di tangannya. “Pak, kalo gitu kita liat aja ke atas, gimana? Takutnya kenapa-kenapa.”
Satpam awalnya menolak. “Saya gak bisa ninggalin pos, Kang. Akang aja yang ke atas.”
Dewa menggeleng cepat. “Ah, saya takut disalahin, Pak. Saya juga gak kenal tetehnya. Mending Bapak ikut aja, biar jelas.”
Satpam sempat terdiam, lalu menghela napas panjang. “Yaudah, saya nitip dulu sama temen di pos. Kita naik bareng.”
Dewa mengangguk cepat. “Siap Pak hayu.”
Begitu pintu unit terbuka, udara di dalam terasa pengap dan dingin. Lampu ruang tamu masih menyala redup. Di lantai dekat sofa, Seseorang terbaring tak sadarkan diri,
ASTAGA!
...----------------...
Apa Lucy bisa selamat?
Ikuti terus kisah Lucy dan Dewa, jangan bosen-bosen yaa 😍
Jangan lupa juga untuk vote like dan komentar nya ya✨
See you! 💕