Bukan Berondong Biasa
Bandung, 2025.
Hujan baru saja berhenti, meninggalkan aroma tanah basah yang samar-samar menyelinap masuk lewat celah jendela.
Di lantai dua gedung kaca milik PT Auralis Naturals, lampu-lampu kantor masih menyala meski jam sudah lewat pukul sembilan malam.
Di antara meja-meja yang mulai kosong, hanya Lucyana Putri Chandra yang masih duduk tegak di depan laptopnya.
Cahaya layar memantul di matanya yang mulai lelah, sementara jari-jarinya terus menari di atas keyboard, menyelesaikan laporan penjualan bulanan yang belum rampung sejak siang tadi.
Tumpukan kertas, sisa kopi hitam yang sudah dingin, dan ponsel yang bergetar tanpa dihiraukan. Semua jadi pemandangan biasa di meja kerjanya.
“Lucy, lo gak pulang?”
suara salah satu rekan kerjanya, Rina, memecah sepi.
“Sebentar lagi,” jawab Lucy singkat tanpa menoleh.
Beberapa karyawan lain mulai berkemas, berpamitan sambil bercanda kecil sebelum akhirnya meninggalkan kantor.
Begitu pintu lift menutup, ruangan itu terasa semakin sunyi.
Hanya terdengar suara ketikan dan dengung pendingin ruangan yang stabil.
Suara notifikasi ponsel memecah hening.
Lucyana melirik sekilas layar yang menyala di samping laptop.
Mama : "Teh, tong hilap transfer ka mamah 200k jang arisan enjing"
(Teh, jangan lupa transfer ke mamah 200k buat arisan besok)
Lucyana terdiam sejenak.
Dahi yang tadi berkerut karena laporan kini mengendur, berganti dengan helaan napas panjang yang nyaris tak bersuara.
Tangannya meraih ponsel, menatap pesan itu beberapa detik, lalu menekan layar dengan gerakan lambat.
Ia tak langsung membalas, hanya menatap angka-angka di aplikasi rekeningnya yang makin hari makin menipis, sebelum akhirnya mengetik pelan.
Lucy : "Muhun mah, ngke di transfer ku lucy"
(Iya mah, nanti lucy transfer)
Pesan terkirim.
Lucyana menatapnya sebentar, lalu meletakkan ponsel di meja, menutup mata sesaat.
Rasanya lelah bukan cuma di tubuh, tapi di hati.
Bekerja seharian penuh, lembur sampai larut malam, tapi tetap saja ada yang menunggu uang darinya di rumah.
Dan yang paling menyakitkan, semua orang menganggap itu sudah sewajarnya.
Langit Bandung sudah mulai gelap saat Lucyana menyalakan mesin mobilnya
Lampu-lampu kota berpendar samar di kaca depan, memantulkan sisa gerimis yang masih menempel di permukaannya.
Jarum jam di dashboard menunjukkan pukul 21.37.
Kantor sudah lama sepi, hanya satpam yang sempat melambai kecil saat ia keluar dari parkiran.
Sepanjang perjalanan menuju Apartemen Gateway Pasteur, radio mobilnya hanya memutar lagu-lagu lama yang terdengar seperti teman perjalanan yang setia.
Mobil melaju pelan melewati deretan lampu toko yang mulai padam satu per satu.
Lucyana menarik napas panjang, merasakan udara malam yang lembab menembus sela-sela kaca yang sedikit terbuka.
Dingin, tapi menenangkan.
Begitu sampai di depan gedung apartemen, ia memarkir mobilnya. Langkahnya terasa berat saat menenteng tas kerja yang isinya — laptop, berkas, dan sisa roti dari pantry kantor.
Lift menuju lantai sepuluh terasa lambat malam itu, seolah ikut lelah bersamanya.
Sesampainya di unit, Lucy langsung melepas heels-nya di depan pintu.
Dia berjalan dengan kaki telanjang menyusuri lantai yang dingin, menyalakan lampu ruang tamu yang temaram.
Rasanya sunyi, hanya suara pendingin udara yang berdengung halus.
Tanpa banyak pikir, dia menuju kamar mandi.
Air hangat mengalir di tangannya, menghapus sisa debu dan keringat seharian.
Setelah berganti baju santai dan mengeringkan rambutnya, perutnya mulai terasa kosong.
Dia menatap jam di dinding. Jam 22.03
Masih ada waktu buat cari makan.
Setelah selesai mengeringkan rambutnya, Lucyana menjatuhkan diri ke sofa.
Tangannya refleks meraih ponsel, membuka ShopeeFood sambil berharap masih ada resto yang buka di jam segini.
Jari-jarinya menelusuri layar, menggulir deretan nama restoran yang kebanyakan sudah bertuliskan “Tutup.”
“Duh, jam segini yang masih buka apa sih…” gumamnya pelan.
Sampai akhirnya, di antara nama resto yang tutup, matanya berhenti pada satu nama.
Reddog Pasteur.
Foto hotdog keju mozzarella yang meleleh di layar terlihat menggoda banget.
Lucyana menatapnya beberapa detik, lalu tanpa pikir panjang menekan tombol Order Now.
Ia memilih menu Cheese Hotdog Combo, tambah Tteokbokki kecil buat pelengkap, dan segelas cola.
Begitu pesanan dikonfirmasi, dia meletakkan ponsel di atas meja kopi.
Matanya melirik ke arah balkon kecil apartemennya. Dari sana terlihat lampu-lampu jalan Pasteur yang berderet seperti bintang buatan manusia.
...----------------...
Di outlet Reddog Pasteur, jam sudah hampir menunjuk pukul 22.10.
Tiga orang pegawai lain sudah mulai beres-beres, menutup wadah saus dan membersihkan meja dapur.
Di balik kasir, Sadewa sedang menghitung uang hasil penjualan hari ini.
Raut wajahnya datar, tapi kelihatan banget dia pengen cepet-cepet pulang.
Tumpukan uang sudah hampir selesai dihitung ketika suara khas tablet ShopeeFood berbunyi keras di meja.
TING! Pesanan baru masuk!
Sadewa mendongak cepat, alisnya langsung naik.
“Apaan lagi sih, udah jam segini?”
Ia menatap layar dan membaca nama pemesan: Lucyana.
Menu: Cheese Hotdog Combo + Tteokbokki kecil + Cola.
“Serius, Bu Lucy? Tengah malam gini craving hotdog?” gumamnya pelan sambil menekan layar.
Dia menoleh ke arah dapur, berseru cukup keras,
"Bro, tahan dulu bersihinnya! Ada satu order lagi, Cheese Combo sama Tteokbokki kecil!”
Dari dalam, suara rekan kerjanya bersahut,
“Lah, kirain udah close order, Bangdew?”
“Tadi sih iya, tapi ShopeeFood-nya belum gue off-in,” jawab Sadewa agak sebal.
Beberapa menit kemudian, setelah pesanan selesai dipacking rapi, notifikasi kedua berbunyi di ponselnya.
Kali ini dari aplikasi ShopeeFood Driver.
Sadewa spontan menatap layar, lalu mendecak pelan.
“Ah, sial…”
Ternyata mode driver di akunnya belum dimatikan sejak siang. Dan sistem otomatis langsung kasih orderan itu ke dia sendiri.
Rekan kerjanya cuma bisa ngakak dari dapur.
“Wah, rejeki nggak ke mana, Bangdew! Sekalian nganterin, biar cepet balik!”
Sadewa menatap plastik pesanan di meja, lalu menghela napas panjang.
“Ya udahlah… keburu dingin juga kalau nunggu driver lain.”
Dia menggantungkan jaket hitam di pundak, mengambil helm yang tergantung di belakang pintu, dan menyalakan motor matic-nya.
Malam Bandung terasa dingin, tapi entah kenapa perasaan Sadewa agak berbeda kali ini. Ada sedikit rasa penasaran pada nama yang barusan muncul di layar:
Lucyana.
Begitu pesanan selesai dipacking, Sadewa menarik resleting jaketnya pelan.
Salah satu karyawannya, Asep masih sibuk membereskan area dapur yang penuh tepung.
“Sep,” panggilnya sambil mengenakan helm.
“Cek semua sebelum pulang, ya. Pastikan freezer sama kompor udah off, pintu belakang jangan lupa dikunci.”
Asep menoleh cepat, sedikit bingung.
“Siap bangdew , eh bang rek kamana? lainna geus aya driverna?”
(eh bang mau kemana? Bukannya udah ada drivernya?)
Sadewa cuma mengangkat plastik berisi pesanan.
“Driver-nya gue sendiri malam ini.”
Asep tertawa kecil.
“Aslina ieu teh bang? Dunungan nga rangkap jadi kurir?”
(Seriusan ini bang? Bos merangkap jadi kurir?)
Sadewa hanya tersenyum tipis, lalu menepuk bahu bawahannya.
“Teu nanaon lah (Gak apa-apa). Lagian deket, sekalian angin-anginan. Daripada nunggu driver lain kelamaan.”
Sadewa melangkah keluar dari outlet kecil itu.
Udara malam Bandung menusuk kulit, bercampur aroma minyak goreng yang masih tersisa di bajunya.
Ia menyalakan motor dan menatap sejenak papan neon kecil bertuliskan Reddog K-Food
Siapa pun yang melihat dari luar tak akan mengira pria berjaket hitam lusuh itu adalah pemilik tempat itu. Satu-satunya cabang Reddog yang ia bangun sendiri setelah bertahun-tahun memperbaiki hidupnya.
Dengan satu tarikan gas, Sadewa melaju pelan menyusuri jalan Pasteur yang mulai lengang.
Ia menatap nama di struk pesanan itu sekali lagi. Lucyana. Unit 1004, Gateway Pasteur.
Motor Sadewa berhenti di depan lobi apartemen Gateway Pasteur.
Lampu-lampu taman berpendar redup, memantulkan embun di dedaunan.
Ia menurunkan helm, mengambil kantong plastik merah berisi pesanan hangat yang masih beruap, lalu melangkah ke arah pos satpam.
“Punten, Pak,” sapanya sopan sambil menunjukkan ponsel, “ini ada pesanan ShopeeFood buat… Lucy—eh, Lucyana, unit 1004.”
Satpam yang sedang duduk santai sambil menyeruput kopi menoleh malas, lalu tersenyum ramah.
“Oh, iya kang, biasanya penghuni sini minta taruh di pos aja. Nanti turun sendiri kok."
Sadewa mengangguk.
“Siap, Pak.”
Ia meletakkan kantong makanan di meja kecil dekat pintu masuk, lalu kembali membuka aplikasi untuk menekan tombol pesanan diantar.
Tapi sebelum jarinya sempat menekan layar, notifikasi baru muncul.
Chat dari pelanggan.
“A, bisa tolong antar ke depan unit aja ya? Saya lagi gak bisa turun. Nanti saya kasih tip tambahan 😊”
Sadewa menatap layar itu cukup lama.
Napaknya datar, tapi matanya sedikit berkedut antara malas dan heran.
Dia melirik jam di layar 22.32.
“Tip tambahan katanya…” gumamnya pelan sambil tersenyum miring.
Ia melirik ke arah satpam.
“Pak, katanya disuruh antar ke unit aja. 1004 ya, lantai sepuluh.”
Satpam itu mengangkat bahu santai.
“Ya udah, sok we Kang, tapi cepetan ya, udah mau lock lobi"
“Siap,” jawab Sadewa.
Ia kembali menggenggam plastik pesanan itu dan menuju lift, langkahnya pelan tapi pasti.
Begitu pintu lift menutup, wajahnya terlihat di pantulan logam dingin. Sedikit lelah, tapi entah kenapa kali ini ada rasa penasaran yang nggak bisa ia jelaskan.
Bunyi “ting” dari lift menandakan pintu terbuka.
Sadewa melangkah keluar, membawa plastik pesanan di tangan kanannya.
Koridor apartemen itu sepi hanya deretan lampu putih pucat dan aroma karpet baru yang samar.
Belum sempat dia mencari nomor unit 1004, pintu di ujung koridor terbuka pelan.
Seorang perempuan keluar sambil menunduk, matanya fokus di layar ponsel, rambutnya masih sedikit lembap sehabis mandi.
Kaos oversized abu muda yang ia kenakan membuatnya tampak santai tapi tetap berkelas tanpa usaha.
“Ah, pesanan saya ya?” katanya cepat, tanpa benar-benar menatap wajah pengantarnya.
Ia meraih plastik dari tangan Sadewa, senyum sekilas terukir di bibirnya.
“Makasih, ya. Nanti saya kasih tip-nya lewat aplikasi.” Suaranya lembut tapi datar.
Sadewa hanya mengangguk kecil, tidak sempat berkata apa-apa.
Dalam sepersekian detik itu, pandangannya terpaku.
Ada sesuatu pada perempuan itu bukan sekadar wajahnya yang cantik, tapi ketenangan yang terasa asing.
Lucyana sudah berbalik, hanya tersisa aroma lembut sabun mandi yang tertinggal di udara.
Pintu apartemen sudah tertutup, tapi Sadewa belum juga bergerak.
Di tangan kirinya, ia masih memegang bekas struk pesanan atas nama “Lucyana.”
Ia menatap nama itu lama-lama.
Ada sesuatu yang tertinggal…
Dan entah kenapa, ia ingin tahu apa itu.
...----------------...
Hai Hai.....
Karya ke 3 kuu, gimana? Semoga suka yaa 😍
Jangan lupa vote like dan komentar nya ya 😘✨
Have a great day all 💕
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Goresan_Pena421
bandung dengan kenangannya.
penasaran memang membuat sebagian orang ingin segera tahu jawaban dari apa yang buat dia penasaran.
2025-10-13
1
𝙋𝙚𝙣𝙖𝙥𝙞𝙖𝙣𝙤𝙝📝
emngnya lusy tulang punggung keluarga ya thor?
2025-10-17
1
Winer Win
mampir...keknya menarik nh..ijin lanjut baca ya...🙏🙏
2025-10-22
1