zaira Kalya , gadis bercadar yang bernasib malang, seolah cobaan terus mendatanginya. Setelah Tantenya-tika Sofia-meninggal, ia terpaksa menerima perjodohan dengan albian Kalvin Rahardian-badboy kampus-yang begitu membencinya.
Kedua orang tua ziara telah meninggal dunia saat ia masih duduk dibangku sekolah menengah pertama, hingga ia pun harus hidup bersama tika selama ini. Tapi, tika, satu-satunya keluarga yang dimilikinya juga pergi meninggalkannya. tika tertabrak oleh salah satu motor yang tengah kebut-kebutan di jalan raya, dan yang menjadi terduga tersangkanya adalah albian.
Sebelum tika meninggal, ia sempat menitipkan ziara pada keluarga albian sehingga mereka berdua pun terpaksa dinikahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chayra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 22
"Aku yakin suatu saat kamu pasti bisa lebih unggul dari pada mereka yang udah ngebully kamu. Kamu harus tunjukin sama mereka kalo kamu juga bisa jadi kuat. Jangan pernah mau ditindas sama orang yang gak pantas menindas kamu. Padahal kamu dan dia sama-sama manusia," imbuh Zizi sambil menepuk bahu albian.
Tekad dalam diri albian seketika menjadi kuat. Berkat ucapan Zizi barusan, ia jadi semangat untuk bisa melawan pembullyan yang dilakukan vino selama ini padanya.
Albian menatap lekat Zizi sambil mengulas senyuman. "Lo mau gak temanan sama gue? Nama gue Zian. Nama lo?" Ia mengulurkan tangannya ke arah gadis di depannya.
"Panggil aja aku Zizi," balas gadis itu seraya menjabat tangan albian.
Flashback Off...
Dengan berat hati, albian memasukkan foto Zizi ke dalam tempat sampah yang ada di samping meja belajarnya. Ia sudah bertekad untuk melupakan gadis yang telah membuatnya bangkit dari keterpurukan. Penantiannya pada Zizi selama ini tak kunjung menemukan ujung. Setelah wisuda di sekolah mereka, albian tak pernah lagi melihat Zizi di taman. Setiap hari ia menunggu Zizi datang, tapi gadis itu tak pernah datang lagi menemuinya. Bahkan nomor Hp nya pun tak dapat lagi dihubungi. Zizi seolah hilang ditelan bumi tanpa meninggalkan jejak dan tanpa berpamitan.
"Maafin gue, Zi. Gue harus mulai lupain lo mulai sekarang. Gue cuma berusaha untuk menerima takdir gue yang sekarang ini udah jadi suami orang. Semoga di mana pun lo berada, lo selalu dihampiri kebahagiaan," ucap albian setelah tutup kotak sampah itu tertutup.
***
"Ayo berangkat sekarang. Udah jam delapan. Gue ada kelas jam 9 nanti," ajak albian seraya bangkit berdiri setelah menghabiskan sarapannya.
Ziara yang belum selesai makan seketika terkesiap. Gadis itu segera meraih segelas minuman di sampingnya dan merapikan cadarnya setelahnya.
"Kamu kok buru-buru banget sih, bian?
Zia aja belum selesai sarapan." Dianq mencoba protes pada putranya yang terkesan terburu-buru ke kampus.
"Masalahnya aku jam sembilan nanti ada kelas, Ma. Males kalo telat. Apalagi dosen hari ini Pak Edo. Orangnya lumayan ketat kalo soal absensi," balas albian seraya mengenakan tas ranselnya. "Lo masih mau lanjutin makan lagi?" tanyanya pada ziara bangkit berdiri.
Gadis bercadar itu menggeleng singkat.
"Enggak. Aku udah selesai makannya," jawab ziara. Padahal tinggal satu suapan lagi sarapannya habis.
"Ya udah ayo berangkat," ajak albian yang berjalan lebih dulu meninggalkan ziara setelah selesai mencium tangan sang Mama.
Bukannya mengejar albian, langkah ziara mendadak terhenti setelah gadis itu berpamitan pada Mama mertuanya.
"Astaghfirullah," katanya sambil memegangi dada. "Bian, tunggu! Tugasku ketinggalan di kamar," sambungnya pada albian yang sudah jauh di depan.
Albian berbalik badan dengan wajah sok galak. Pemuda itu berkacak pinggang sambil berdecak pelan. "Dasar pikun lo! Buruan ambil sana! Gue tunggu lo di mobil. Gak pake lama," balas albian sebelum melanjutkan langkahnya menuju pintu keluar.
Dengan langkah terburu-buru, ziara berlari menuju tangga sambil mengangkat sedikit roknya ke atas agar lebih leluasa berlari. Sebelum itu ia sudah memperhatikan sekitar dan tak ada seorang pun di sana selain Mama mertuanya.
"Hati-hati, Zia. Jangan lari-lari. Nanti kamu jatuh," teriak diana khawatir.
Sesampainya di kamar, ziara mempercepat langkahnya menuju meja sofa yang ada di sudut ruangan. Diambilnya tas besar yang diletakkan di samping sofa dan mengambil buku tebal bersampul putih dari dalam sana.
Karena tak memiliki meja belajar sendiri, ziara memilih meletakkan semua bukunya pada tas karena tak ingin dibilang lancang oleh albian yang tak suka kalau barang-barangnya disentuh oleh ziara. Menitipkan buku-bukunya pada meja belajar albian yang terbilang masih luas tempatnya juga tak dibenarkan. Kecuali albian sendiri yang mengizinkannya seperti meminjamkan laptop padanya semalam.
"Aku harus buru-buru nyusul albian sebelum dia marah besar. Dia kan paling gak suka kalo disuruh nunggu lama," gumam ziara sambil memeluk buku tebalnya.
Saking terburu-burunya, ziara tak sengaja menendang kotak sampah yang ada di samping meja belajar albian hingga semua isinya berhamburan keluar. Untungnya cuma ada kertas bekas di dalam kotak sampah itu. Jadi tak akan sulit untuk membersihkannya.
Di tengah aktivitasnya memasukkan kembali sampah kertas tadi ke dalam kotak sampah, pandangannya teralihkan pada
sebuah foto yang ditemukannya diantara kertas-kertas itu.
Dahi ziara mengernyit melihat foto seorang gadis yang dibuang oleh albian beberapa waktu yang lalu.
"Foto ini... Apa ini foto yang sempat aku jatuhkan waktu itu?" gumam ziara sambil memasukkan foto tadi ke dalam tasnya.
***
Sepanjang perjalanan menuju kampus, albian tak mengeluarkan sepatah kata pun seperti biasanya. Bahkan wajah pemuda itu terlihat datar. Sorot matanya memancarkan kegelisahan, bahkan beberapa kali albian hampir saja menabrak mobil di depannya saking tak fokusnya pemuda itu mengendarai mobil.
Niatan ziara untuk menanyakan perihal foto yang ia temukan di kotak sampah tadi pun diurungkan setelah melihat albian yang terlihat banyak pikiran. Bisa-bisa ia kena semprot albian kalau tetap menanyakan masalah foto itu padanya seperti beberap waktu yang lalu.
Ziara memilih diam sepanjang jalan meski hatinya tak tenang karena dipenuhi rasa penasaran..
Sampai akhirnya mereka tiba di area parkiran fakultas ekonomi. Albian yang sebelumnya tak mengizinkan ziara keluar sebelum situasinya aman, kini justru meminta gadis itu keluar saat di sekeliling mobil itu banyak mahasiswa yang baru datang.
"Lo gak keluar?" tanya albian dingin. "Gue lagi buru-buru mau masuk kelas. Sepuluh menit lagi kelas gue dimulai. Buruan lo keluar sekarang!" sambungnya dengan sedikit penekanan.
Ziara menunjuk mahasiswa di sekitar mobil yang tengah parkir. "Kamu minta aku keluar sekarang? Kalo mereka semua ngeliat gimana? Nanti kita bisa jadi bahan omongan."
Albian menghela napas kasar. Lalu tangannya terulur menekan kunci seatbelt yang melingkar di tubuh Zivana dan membantu melepaskannya. "Lo turun sekarang atau gue gendong biar lo turun?"
Mata ziara mengerjap seraya menggeleng kuat. "I-iya. Aku turun. Aku gak mau digendong," katanya gugup.
Benar saja. Semua pasang mata seketika tertuju padanya. Tak sedikit yang mulai berbisik begitu melihat ziara yang dihampiri albian setelah keluar dari dalam mobil.
"Nanti gue selesai jam lima sore. Lo jam berapa?" tanya albian begitu sampai di depan ziara.
"A-ku jam empat," jawab ziara
terbata. Ia mulai risih dengan semua tatapan para mahasiswa lain padanya. Kepalanya sontak menunduk dalam.
"Tunggu gue di mobil aja selama satu jam. Lo gak perlu nunggu gue di kantin atau di taman. Gak usah keluyuran." Albian mengulurkan kunci mobil pada ziara. "Lo bisa kan buka mobilnya pake ini? Lo tingal tekan tombol yang ini, nanti pintunya otomatis bisa terbuka," terangnya sambil menunjukkan tombol yang harus ditekan.
Ziara mengangguk cepat. Ia ambil kunci mobil dari tangan albian dan segera memasukkannya ke dalam tas.
“Kalo gitu aku pergi dulu,” ucap ziarq. “Assalamualaikum, bian.”
“Waalaikumsalam, zia,” balas albjan dengan seulas senyuman.
Tanpa ia sadari di belakangnya sudah ada Agra yang tengah membekap mulut dengan kedua tangan. Dan seketika berteriak begitu ziara menghilang dari pandangan.
“Waaaw.... Hot news... news... news...
Albian sama ziara ternyata udah damai dan jadian!” teriak pemuda itu keras-keras membuat semua mahasiswa lain di sekitar sana ikutan gaduh karena ucapannya barusan