Hari yang seharusnya menjadi awal kebahagiaan Eireen justru berubah menjadi neraka. Dipelaminan, di depan semua mata, ia dicampakkan oleh pria yang selama ini ia dukung seorang jaksa yang dulu ia temani berjuang dari nol. Pengkhianatan itu datang bersama perempuan yang ia anggap kakak sendiri.
Eireen tidak hanya kehilangan cinta, tapi juga harga diri. Namun, dari kehancuran itu lahirlah tekad baru: ia akan membalas semua luka, dengan cara yang paling kejam dan elegan.
Takdir membawanya pada Xavion Leonard Alistair, pewaris keluarga mafia paling disegani.
Pria itu tidak percaya pada cinta, namun di balik tatapan tajamnya, ia melihat api balas dendam yang sama seperti milik Eireen.
Eireen mendekatinya dengan satu tujuan membuktikan bahwa dirinya tidak hanya bisa bangkit, tetapi juga dimahkotai lebih tinggi dari siapa pun yang pernah merendahkannya.
Namun semakin dalam ia terjerat, semakin sulit ia membedakan antara balas dendam, ambisi dan cinta.
Mampukah Eireen melewati ini semua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eireyynezkim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencurigai
Nahas, seolah sudah bisa menebak pikiran Eireen, Felix seketika berkata, "Ingat baik-baik perkataan, Tuan Besar. Kau kabur, mayat bos dan rekanmu yang akan kau lihat setelahnya!"
Eireen mengepalkan tangannya. "Saya tidak menyangka, jika seperti ini, Keluarga Alistair memperlakukan orang yang telah menolong mereka?"
"Siapa yang bisa membuktikan, kalau niat Anda sungguhan hanya menolong, Nona? Bahkan, banyak orang pura-pura menolong, tapi saat sudah dekat, menusuk dari belakang."
"Heh." Eireen menyeringai. "Kenapa tidak kau tanyakan saja pada Tuan Muda mu itu? Dia pasti tahu, aku tidak ada hubungannya dengan musuh kalian itu."
"Tuan Muda tidak keberatan Anda dibawa ke markas untuk interogasi, karena sepertinya, beliau juga mencurigai Anda."
"Apa?!" Mata Eireen sampai membulat, tidak menyangka. Ia pun jadi ingat, bagaimana Xav curiga padanya, bahkan sampai menodong senjata.
"Bahkan setelah kudonorkan darah untuknya, dia masih juga mencurigaiku? Gila dia?!" imbuhnya sudah lupa akan sopan santun.
Felix diam, walau dalam hati, ia membatin.
'Berani juga dia?'
"Mana sini? Aku mau bertemu dengan Tuan Muda menyebalkan itu!" Eireen berusaha melewati Felix.
Tapi, hanya beberapa langkah, laki-laki itu bergerak cepat, mau memukul tengkuk kepala Eireen.
Beruntungnya, gadis itu bisa merasakan gerakan dan segera menoleh, reflek tangannya menangkap tangan Felix yang mau memukul tengkuk kepalanya.
Felix menyeringai, tangan satunya lagi menancapkan sebuah suntikan kecil ke lengan Eireen dengan gerakan cepat.
"Ack!"
Eireen melepas tangan laki-laki itu, mencabut suntikan di lengannya. Ia menatap geram, mau membalas. Sayang, matanya mulai berkunang-kunang.
"Sial!" umpatnya, saat sadar, jika suntikan itu adalah obat bius.
Tubuhnya limbung, pingsan, kemudian ditangkap oleh Felix. "Hah. Harusnya menurut saja, kenapa harus dibuat pingsan dulu begini."
Beberapa jam kemudian.
Eireen mulai membuka matanya. Ia tegakkan kepala, menoleh ke kanan kiri, melihat sekitar.
"Dimana ini?" gumamnya karena merasa asing dengan tempat itu.
Ia mau menggerakkan tangan, tapi sayang, tangannya terborgol di pegangan kursi.
Kepalanya masih terasa pusing. Eireen pun ingat, kejadian sebelum pingsan tadi. "Sialan, awas saja kalau aku lepas, akan kubuat dia pingsan juga!" umpatnya kesal.
"Siapa?" Suara laki-laki menyahut dari arah belakangnya.
Eireen menoleh sebisa kepalanya. Ternyata Dokter Nathan yang datang ke ruangan mirip kabin pesawat itu.
"Kau mau membuat pingsan siapa, Eir?" tanyanya lagi, sambil berdiri di depannya.
"Kau mengenalku?" Eireen justru heran, karena dokter itu tahu namanya.
"Liontin di kalungmu."
Eireen menunduk, melihat liontin di kalungnya, yang terjuntai keluar. Ia tidak suka, kalung itu keluar begitu. Tapi sayang, tangannya terborgol, jadi ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Eireen menatap nanar ke arah Dokter Nathan. Laki-laki itu justru tersenyum ramah. "Tenanglah. Aku yakin, kalau kau memang tidak ada maksud lain, kau dan Tuan Kalan akan baik-baik saja."
"Heh. Sejak kapan kenal bosku?"
"Sudah cukup lama."
"Kau menjawab tidak spesifik, pasti karena takut kelepasan menyebut sesuatu, kan?"
Dokter Nathan tersenyum tipis. "Kau sangat mirip Tuan Kalan kalau begini."
"Mengalihkan pembicaraan, semakin jelas sudah."
Dokter Nathan terkekeh. Eireen menatapnya kesal. "Apa yang lucu, hah? Oh... jangan-jangan, kau sedang mencoba membuatku lengah agar bercerita lebih lancar setelah basa-basi ini? Siapa? Apa Tuan Besar yang menyuruhmu? Kenapa dia tidak tanya sendiri?"
"Kau tidak takut padanya, Eir?"
"Awalnya ya. Sekarang tidak sama sekali!"
"Kenapa cepat berubah begitu?"
"Aku... hanya takut pada orang yang bisa kuhormati. Nyatanya, Tuan Besar yang kupikir berprinsip justru memperlakukan orang yang menolong anaknya seperti penjahat begini!"
"Hei, bukankah kau tahu, percakapan ini di dengar olehnya?"
"Tahu! Dan ini justru adalah bukti... kalau aku... sudah tidak takut padanya lagi!"
Dokter Nathan terdiam. 'Gadis ini bersungguh-sungguh.'
Sementara, Ayah Xav yang mendengar percakapan dari ruang sebelah juga merasakan hal yang sama. Felix, anak buahnya yang melirik-lirik penasaran.
Baru ini, ada perempuan yang seberani itu pada atasannya, ya selain istrinya sendiri dulu.
Merasa dilihati, Ayah Xav melirik tajam kepada Vico. Seketika itu juga, Felix menganggukkan kepala. "Maaf, Tuan Besar."
"Cari tahu semua hal tentang gadis ini, keluarga, termasuk latar belakangnya. Hal sekecil apapun, laporkan padaku!"
"Siap, Tuan Besar!"
Sementara itu, di rumah Savero, tampak Zeya dan Ibunya sedang bercakap-cakap.
"Tidak dibalas, Bu. Bahkan aku hubungi, nomornya hanya berdering terus. Pasti dia kabur, karena malu, tidak bisa bawa siapa-siapa ke resepsi mewahku nanti!" kata Zeya.
"Bisa jadi. Ck. Tapi bagaimanapun caranya, dia harus datang, karena ibu.... akan mempermalukannya lebih dari dia mempermalukan kita waktu itu!"
"Iya sih. Lantas bagaimana? Kita saja tidak tahu dia kerja dimana?"
"Coba minta calon suamimu menyelidiki. Dia kan kenalannya pejabat, masa' mencari orang tidak bisa?"
"Mencari siapa?" Suara Savero terdengar, membuat Zeya dan ibunya saling mengkode dengan pandangan mata, seolah jangan sampai rencana mereka diketahui Savero saja.
"Kenapa diam?" tanya Savero lagi.
"Aku itu mau cari bunga yang cocok, buat hari pernikahanku, Paman. Masa' begitu saja harus laporan?" Zeya berkelit.
"Ya sudah. Awas saja kalau kalian macam-macam lagi. Aku pergi ke kebun dulu!"
"Ehm."
Savero berangkat menuju ke kebun milik warga, bekerja di sana. Walau Eireen sudah mencukupi kebutuhannya, Savero tidak mau berpangku tangan.
Savero sudah tidak terlihat, Zeya berkata kepada sang ibu. "Sebentar, aku mau hubungi Pram dulu, Bu."
"Ya."
Zeya meletakkan telepon genggam di samping telinganya. "Halo, Sayang?"
"Ehm, rindu sekali. Tapi... ini nih, aku kesal sekali, Sayang."
....
"Si Eireen, masa' dia tidak menanggapi undangan pernikahan kita? Aku takut kalau dia tidak hadir, nanti kita tidak bisa memanas-manasi dia kan?"
"Benarkah? Serius ya? Cari dia sampai dapat? Kalau perlu, seret dia agar datang ke resepsi kita!"
"Ah... terima kasih, Sayangku... Kau memang calon suami terbaik!"
"Ehm. Ya sudah, aku bilang ke ibu dulu. Love you....!"
Panggilan berakhir, Anabia bertanya kepada putrinya. "Bagaimana? Bisa?"
Zeya menganggukkan kepala mantap. "Ehm. Aslan akan melakukan segala cara, agar Eireen datang ke resepsi pernikahan kami, Bu. Tenang saja, kita pasti... bisa mempermalukan dia!"
Anabia tersenyum sangat lebar. Matanya bahkan berbinar-binar, sudah membayangkan akan melakukan apa, agar ia bisa mempermalukan Eireen di resepsi putrinya.
Di sisi lain, di markas kurir dunia gelap, semua pekerjaan tampak lumpuh total.
Si Bos dan Double J terlihat masih berada dalam ruangan, bersama dengan para anggota lainnya.
Satu orang laki-laki masuk, mengabarkan.
"Kalian boleh keluar dari ruangan ini, tapi hanya bisa berkeliaran di dalam markas ini saja, sampai penyelidikan selesai kami lakukan nanti."
Orang-orang tampak lebih lega, si Bos yang merasa heran. Ia segera mendekati laki-laki tadi. "Maaf, Tuan? Tapi... boleh saya tahu bagaimana kondisi anggota saya yang di rumah sakit sana?"
"Dia dibawa ke markas Keluarga Alistair untuk interogasi."
Si Bos terhenyak. Jimmy seketika protes, "Kenapa harus dibawa ke sana?"
Si Bos segera merentangkan tangan, mencegah Jimmy agar tidak terbawa emosi. "Tenang dulu!"
"Bagaimana bisa tenang, Bos? Eireen dibawa ke markas mereka!"
Jaden yang biasanya tenang pun juga tampak sudah akan ikut protes. Tapi, anggota Keluarga Alistair itu segera berkata, "Kalau dia tidak salah, maka tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Atau... memang dia bersalah, makanya sampai kalian panik begini?"
"Kau..." Jimmy sudah mau menerobos Bosnya, tapi masih dipegangi.
"Eireen hanya menolong Tuan Muda saja. Dia... terlalu peduli pada orang lain. Itu saja kesalahannya!" tandas Joey dengan ekspresi mengintimidasi.
Anggota Keluarga Alistair berjalan mendekatinya, adu membusung dada. "Kalau begitu harusnya kalian tenang saja. Toh kami tidak akan menghukum orang tanpa bukti yang jelas!"
"Tapi kalian seringkali menyiksa untuk dapat buktinya!" Joey tidak takut sama sekali. "Kalau sampai terjadi sesuatu pada Eireen, lihat saja!"
"Oh... berani sekali?"
Si Bos yang panik. Ia tarik Joey mundur.
Lantas, maju ke depannya. "Ma-maaf, Tuan. Sungguh, kami hanya tidak ingin saja, anggota kami, rekan kami tersakiti karena melakukan hal baik."
Anggota Keluarga Alistair hanya menyeringai, kemudian berbalik arah, meninggalkan ruangan itu. Selepas laki-laki itu pergi, Si Bos menyugar rambut kepalanya sendiri. Double J dan semua anggota lain menghadapnya.
Jimmy yang masih emosi berceletuk, "Bagaimana, Bos? Mau biarkan Eireen dibawa begitu saja?"
"Ya, kita bahkan tidak tahu kondisinya di sana bagaimana, Bos." Joey ikut berusul. "Kita harus lakukan sesuatu!"
"Tidak!" Sayang, Bos yang bernama Kalan itu seketika menolak. "Kita tidak boleh melakukan apa-apa, atau semuanya akan memperburuk kondisi Eireen di sana."
"Tapi, Bos..."
"Aku... akan mencari tahu kabar Eireen. Kalian jangan lakukan apa-apa, tetap di sini, selagi aku mencari informasi."
Double J menghela napas kesal. Bosnya pergi dari ruangan itu. Para anggota saling tatap, saling bicara untuk mencari solusi bersama.
Di depan ruangan tadi, ternyata si Bos menyusul anggota Keluarga Alistair tadi. "Tuan?"
Laki-laki itu menghentikan langkah, menoleh ke arahnya. Si Bos bertanya, "Bisa saya menghubungi seseorang? Dokter Nathan, anggota Keluarga Alistair juga."
Telepon genggamnya di sita, bahkan mungkin semua jalur komunikasi di markas itu sudah disegel oleh Keluarga Alistair, makanya, ia minta kepada laki-laki itu.
"Saya mohon, Tuan. Saya... hanya ingin tahu kabar anggota saya saja." Si Bos sampai menangkupkan kedua tangannya.
"Hmm." Anggota Keluarga Alistair itu menghela napas. "Nanti... saat waktunya tepat."
Paham maksudnya, si Bos mengangguk paham.
"Baiklah, Tuan. Saya percaya."
Laki-laki itu melanjutkan langkah. Si Bos menatap punggungnya yang semakin menjauh. 'Berarti Dokter Nathan juga ikut penerbangan, makanya dia bilang nanti. Hah. Semoga saja sungguhan begitu.'
Waktu penerbangan biasanya sangat dirahasiakan, untuk mencegah serangan udara.
Makanya, anggota Keluarga Alistair tadi tidak langsung menjawab begitu.
Beberapa jam kemudian.
Pesawat yang membawa Eireen sudah mendarat sempurna di salah satu pulau tersembunyi, di perairan antara pulau S dan K. Ia dibiarkan berjalan keluar pesawat tanpa borgol tangan, tapi diawasi oleh Felix.
Xav dibawa dengan ambulance bersama Ayahnya, Eireen dan Felix naik mobil merk M menyusul di belakang.
Melihat banyaknya senjata dan prajurit di markas itu, Eireen terperangah.
Semuanya lebih dari yang pernah ia dengar.
'Astaga... barak militer pemerintahan negara ini pun kurasa kalah dengan markas ini.'
Merasa dilihati, Eireen menoleh ke samping, dimana Felix duduk. Ia lirik tajam laki-laki itu. "Bisa tidak, jangan melihatku terus menerus begitu? Tidak sopan sekali dengan perempuan!"
"Maaf, aku hanya mengawasimu, Nona. Anggaplah, sebagai ganti, borgolmu yang dilepas."
"Heh. Tapi kenapa? Kok tiba-tiba borgolku kalian lepas?"
"Perintah Tuan Besar saja. Mungkin, kau bisa tanya beliau nanti."
Eireen menyipitkan mata curiga. Sebenarnya, Ayah Xav agak tersindir dengan ucapan gadis itu tadi, saat bicara dengan Dokter Nathan.
Bagi orang dunia gelap, mereka selalu membalas lebih dari yang mereka dapat. Tidak melulu kejahatan, tapi, termasuk dengan kebaikan juga.
Katakanlah, entah ada maksud lain atau tidak.
Tapi, Eireen sudah menolong Xav dan bahkan mendonorkan darah di saat darurat untuknya.
Jadi, Ayah Xav melepas borgolnya, agar jika memang benar Eireen bukan musuh, ia tidak akan terlampau malu mengkhianati prinsip hidupnya sendiri. Terlepas dari, laki-laki itu mulai tertarik dengan kepribadian Eireen yang berani padanya.
Eireen hanya menjembikkan bibir, kemudian melengos, mengalihkan pandangan ke jendela.
'Awas saja, kalau sampai aku tidak terbukti bersalah!'
Felix masih mengamatinya. Mobil itu melaju, melewati hutan lebat yang masih sangat asri. Suasananya tenang, tidak seperti di lapangan terbang tadi, banyak senjata seperti barak. Setengah jam kemudian, barulah mobil itu sampai di area seperti perkotaan, banyak rumah di kanan kiri jalan, bangunan rumah sakit, gelanggang olahraga, stadion.
"Wah...!" Eireen sampai keceplosan, karena melihat air mancur menari-nari yang di tampung kolam besar di bawahnya.
Felix mengernyit. Kali ini, gadis itu lebih tampak seperti anak kecil. 'Tidak, bahkan mata-mata pun jago sekali berpura-pura gila.'
Laki-laki itu sendiri, punya sisi percaya pada Eireen, tapi, satu sisi, ia juga harus memberikan tempat untuk kecurigaan, karena masalah akhir-akhir ini. Pengkhianatan, mata-mata, selalu jadi isu sensitif. Jadi, kehati-hatian dan kewaspadaan di markas ini sedang dalam puncaknya, setelah kejadian terakhir.
Sekitar tiga puluh menit setelahnya, ia sampai di bangunan putih yang dijaga ketat oleh orang bersenjata. 'Apa ini? Akan dibawa kemana aku?'
Ia turun dan dikawal oleh Felix, melewati gerbang, masuk ke bangunan itu.
"Mau kemana?" tanya Eireen penasaran. Lagaknya biasa saja, padahal mulai khawatir juga.
"Yang jelas bukan penjara."
Eireen justru semakin bertanya-tanya. 'Kalau bukan penjara kemana? Astaga... lama-lama aku bisa gila kalau begini.'
Ia melewati banyak orang bersenjata, menatapnya seolah penjahat saja.
Tapi, Eireen tidak terintimidasi. Ia tatap balik orang-orang itu dengan berani.
Sampai, di depan pintu, Felix menyuruhnya masuk. "Silakan!"
Tentu saja, gadis itu curiga, menyipitkan mata.
Felix menghela napas. "Ini tempat istirahat, selagi kau menunggu proses penyelidikan berjalan. Bukan tempat penyiksaan. Silakan!"
"Siapa yang mengira tempat penyiksaan? Kau pikir aku takut? Tidak!" Eireen terpancing, masuk ke dalam.
Benar saja, itu kamar cukup mewah, seperti yang diidamkan Zeya selama ini. 'Argh, kalau dia tahu, aku tidur di sini, pasti kejang-kejang.'
Sayang, ia bahkan tidak memegang telepon genggam sama sekali.
"Pakaian ada di lemari, makanan akan diantar ke sini. Apa ada yang perlu kau tanyakan?" ucap Felix membuatnya menoleh ke belakang.
"Jadi... aku akan jadi tahanan kamar?"
"Harusnya kau senang, karena tidak dipenjara!"
"Heh. Dasar kalian seenaknya saja. Sampai kapan?"
"Sampai penyelidikan selesai."
"Iya, waktunya. Aku juga punya kehidupan, Tuan!"
Felix menyeringai. "Maka menurutlah, jangan banyak tanya, jika ingin, kehidupan yang kau banggakan itu tetap aman sampai selesai penyelidikan nanti, Nona. Ah ya, jangan lupakan rekanmu juga, hidupnya, bergantung padamu."
Ancaman dengan seringaian, Eireen mengepalkan tangan. Ia tidak bisa melawan.
"Kalau tidak ada yang ditanyakan, saya undur diri. Permisi."
Eireen reflek menggerakkan tangan, sudah seperti mau memukul, walau yang dipukul hanya udara saja. "Dasar menyebalkan!" lirihnya.
Felix bisa merasakan gerakannya, bahkan suara omelan Eireen juga terdengar. Tapi, ia biarkan, karena tidak ada hawa menyerang yang sesungguhnya dari gadis itu.
"Awas saja, aku tidak terbukti, kalian pasti akan malu kepadaku!"
Felix tetap tidak memberi respon, membuka pintu, kemudian menutupnya kembali setelah keluar.
Eireen mulai menjelajah kamar itu. Ia terpikir mencari alat komunikasi, tapi tidak ada sama sekali.
Ia kesal, karena kamar itu nyaris tidak memiliki celah untuk bisa ia jadikan jalan keluar selain pintu.
Ia pun membaringkan tubuh di atas ranjang, menatap atap. 'Aku benar-benar terkurung di sini. Ck. Mana belum mencari orang untuk datang ke resepsi itu pula. Astaga....!'
Gadis bermata abu-abu kebiruan itu menggelengkan kepala. 'Tidak... tidak boleh, aku harus datang, kalau tidak mereka pasti akan besar kepala. Tapi bagaimana? Sekarang saja kau terkurung di sini, Eireen....! Argh, kau sih, buat apa juga, kau sok kebaikan menolongnya hingga runyam begini!'
Sementara Eireen lagi-lagi mengomeli dirinya sendiri, di salah satu ruang rawat, di bangunan rumah sakit Markas Keluarga Alistair itu, Xav tampak dipeluk seorang gadis.
"H-hei... aku tidak bisa napas!" ketusnya sambil menyingkirkan kepala gadis itu.
Xeviena Leanard Alistair. Begitulah nama gadis yang tidak lain kembarannya.
Xev, sapaan akrabnya, cemberut, matanya melotot. "Aku khawatir, tahu...!"
"Yang penting aku tidak mati. Sudahlah, sana jauh-jauh!"
Xev mendengus. Gadis yang memakai jubah dokter itu kesal, karena saudara kembarnya tetap saja tidak peka kalau dikhawatirkan.
"Kondisi Fareno bagaimana?"
"Belum siuman, masih koma seperti terakhir kali."
Xav diam. Ajudannya, ternyata masih belum sadar juga, setelah koma karena menyelamatkan nyawanya.
"Ck. Kau gila, sampai mematikan alat penyadap lokasi segala? Ibu murka, kau tahu?!" Xev marah-marah, Xav tidak menyahut.
Ia sudah tahu perangai ibunya, jadi ia bisa menebak. Setelahnya, langkah kaki terdengar.
Ternyata, sang ibu datang, bersama ayahnya, masuk ke dalam kamar itu.
Xev menyingkir, Xav sudah bersiap akan dimarahi. Namun, sang ibu justru menangkup wajahnya, memeriksa semua lukanya dengan ekspresi takut campur khawatir.
Xav terhenyak. Belum pernah ia melihat ibunya seperti ini. Perempuan yang sangat ia hormati, karena ketangguhannya sebagai pemimpin pertama Keluarga Alistair, matanya kini berkaca-kaca.
"Bu," lirih Xav karena tidak enak hati, membuat ibunya sedih begitu.
Navya Myria Alistairmemaksakan diri tersenyum tipis. Ia usap kepala putranya. "Terima kasih sudah selamat, Xav. Kalau tidak... ibu mungkin akan..."
"Maaf!" Xav segera menyela. Ia tidak mau, ibunya mengucap kata yang selalu dianggap buruk dan dihindari penyebutannya di keluarga mereka.
Ibunya masih menatapnya, seolah menunggu lanjutan dari permintaan maaf itu. Dari dulu, ibunya mendidiknya untuk pintar-pintar mengevaluasi diri, mengakui kesalahan, dan sama-sama memikirkan solusi.
"Hmm." Xav menghela napas. "Maaf, Bu. Tapi kali ini, aku sungguhan tidak akan berhenti, sampai aku berhasil membunuh perempuan itu dan semua rekannya. Maaf."
Ayahnya hanya bisa menatap datar. Xev menepuk dahinya sendiri sambil menatap saudara kembarnya itu. "Dasar keras kepala!"
"Tapi tidak seperti itu caranya, Xav!" Ibunya berusaha menasehati. "Kau bahkan sampai dehidrasi, mengejar orang itu ibu tidak larang, tapi kau juga harus perhatikan tubuhmu, biar tetap fit. Katamu mau balas dendam, tapi kau lebih seperti orang yang mau bunuh diri dengan cuma-cuma begini!"
"Ibumu benar, Xav. Segila-gilanya ibumu ini, dia tidak pernah seceroboh kau sekarang ini." Ayahnya menimpali, tapi justru mendapat lirikan tajam dari sang istri.
"Sorry, my bad!"
Xev terkekeh dengan kelakuan ayahnya. Sang ayah hanya mengerlingkan mata kepadanya.
Laki-laki itu memang sedang ingin mencairkan suasana, menghibur istrinya yang sedih, sekaligus, menasehati putranya dengan cara berbeda.
"Kami tahu, semua kenekatan dan kegilaanmu adalah cerminan kami sendiri sebagai ayah ibumu. Tapi, kenapa kau tidak mencontoh juga, cara kami yang tetap mengutamakan keselamatan? Balas dendam, tidak harus sekarang juga harus terbayar lunas. Semua bisa kita rencanakan, tanpa ada yang harus kita korbankan, kecuali ego untuk sedikit saja menahan diri akan kemarahan. Paham, Nak?" Ibunya yang biasanya terlihat garang di depan anggota, pelan-pelan mencoba membuat Xav mengerti.
Namun, Xav hanya diam. Ia masih belum bisa menahan amarahnya, kepada orang yang ingin sekali ia tangkap sekarang juga, untuk mempertanggung jawabkan pengkhianatannya.
Melihat putranya begitu keras, Navya pun berdiri.
"Sudahlah, renungkan dulu kata-kata ibu tadi. Sampai kau sadar dan pulih benar, kau boleh pergi kemana-mana!"
Akhirnya sang ibu berubah tegas. Xav tetap diam. Xev geleng-geleng kepala. "Padahal tinggal bilang iya paham ibu, tidak akan kuulangi, kenapa begitu saja susah sekali?"
Xav tetap tidak menyahut. Ia tidak pernah berbohong kepada orang tuanya.
Navya menatap suaminya. Sang suami hanya menggelengkan kepala. Anaknya memang tidak bisa dipaksa.
Laki-laki itu pun merangkul istrinya pergi. "Ayo, biar dia istirahat dan pemulihan dulu!"
Orang tuanya keluar dari ruangan, Xev masih bersedekap tangan, menatap saudara kembarnya.
Lelah ditatap begitu, Xav memejamkan mata. "Pergilah sana!"
"Awas kalau kau sampai minta bantuanku setelah ini! Tidak akan aku gubris!" Xev melangkah pergi.
Xav membuka mata saat mendengar suara pintu tertutup. Ia mau menggerakkan tubuh, tapi masih sakit semua.
Wajahnya tampak kesal. Padahal, ia sudah mau kabur lagi. Ada hal yang mau ia lakukan, tapi kondisi tubuhnya justru tidak memungkinkan.
Satu jam kemudian.
Di kamar yang ditempati, Eireen melihat ke arah kanan, seketika terdengar suara pintu terdengar.
'Ck. Pasti laki-laki itu lagi! Mau apa kembali ke sini?' gumamnya kesal di hati.
Sengaja ia berkata dengan nada malas. "Apalagi? Pergilah, aku mengantuk, jangan ganggu!"
Namun, saat suara berdehem terdengar perempuan, ia membuka mata.
Ia lirik ke arah sumber suara. Matanya membulat, karena ternyata bukan Felix, melainkan Kepala Keluarga Alistair.
Ia pun buru-buru berdiri, menghadap. "Maaf, Nyonya Besar."
Ibu Xav itu beranjak mendekat, menatap lamat-lamat ke arah wajah Eireen dengan tatapan matanya yang tajam, begitu mengintimidasi.
Dia satu-satunya Kepala Keluarga Perempuan, di antara Tiga Keluarga Penguasa Dunia Gelap lain.
Walau perempuan, Eireen pernah dengar, jika ia termasuk dua terkejam, dibanding Kepala Keluarga lainnya.
Lantas, tiba-tiba saja, perempuan itu meraih dagunya. Eireen mau berontak, tapi, perempuan itu lebih dulu bertanya, "Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Matamu ini... tampak tidak asing bagiku."
Eireen melepas paksa tangan Navya itu, tapi tidak berhasil, hanya bisa memegangnya.
"Dengan segala hormat, Nyonya. Ini pertemuan pertama kita dan saya harap, Anda bisa lebih sopan, dengan bicara pakai mulut saja tanpa tangan ikut campur segala!" tandas Eireen dengan suara tegas.
Ibu Xav menyeringai, melepas tangannya dari dagu Eireen. Tidak banyak orang yang berani berkata begitu padanya.
Namun, ia masih menatap Eireen curiga.
"Terlalu berani, untuk seorang yang bukan dari Keluarga Mafia. Postur tubuh, tatapan mata, bahkan kuda-kuda pertahananmu sekarang..."
Eireen baru sadar, jika ia sudah pasang kuda-kuda pertahanan. Ia selalu reflek begitu.
"Melihat ekspresimu, kau itu pasti hanya reflek bukan? Dan aku yakin... itu dilatih sejak dini!" Tiba-tiba saja, Navya mencengkram leher Eireen, mendorongnya dengan cepat hingga menabrak dinding.
"Ack!" Eireen berusaha melepas cekikan di lehernya.
"Siapa kau sebenarnya, hah? Kenapa mendekati putraku?!" imbuh Ibu Xav dengan nada suara penuh penekanan dan tatapan mata nyalang.
Sementara, wajah Eireen sudah memerah karena cekikannya yang mematikan.