Langit senja berwarna jingga keemasan, perlahan memudar menjadi ungu lembut. Burung-burung kembali ke sarang, sementara kabut tipis turun dari gunung di kejauhan, menyelimuti desa kecil bernama Qinghe. Di ujung jalan berdebu, seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun berjalan tertatih, memanggul seikat kayu bakar yang nyaris dua kali lebih besar dari tubuhnya.
Bajunya lusuh penuh tambalan, rambut hitamnya kusut, dan wajahnya dipenuhi keringat. Namun, di balik penampilan sederhananya, sepasang mata hitam berkilau seolah menyimpan sesuatu yang lebih besar daripada tubuh kurusnya.
“Xiao Feng! Jangan lamban, nanti api dapur padam!” teriak seorang wanita tua dari rumah reyot di pinggir desa. Suaranya serak tapi penuh kasih. Dialah Nenek Lan, satu-satunya keluarga yang tersisa bagi bocah itu.
Xiao Feng menyeringai meski peluh bercucuran.
“Ya, Nenek! Sedikit lagi! Kayu ini lebih keras kepala dari banteng gunung, tapi aku akan menaklukkannya!”
Nenek Lan hanya mendengus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 – Ujian Pertama dalam Kultivasi
Matahari pagi muncul perlahan dari balik gunung, menyinari Desa Qinghe dengan cahaya hangat. Suara ayam berkokok bercampur dengan derap langkah para petani yang berangkat ke ladang. Bagi mereka, hari ini sama seperti kemarin, tidak ada yang istimewa.
Namun, bagi seorang bocah bernama Xiao Feng, hari ini adalah awal dari segalanya.
Ia bangun lebih awal dari biasanya, tubuhnya masih pegal dan penuh luka sisa ujian semalam. Tetapi matanya berkilat penuh semangat. Batu giok hijau peninggalan ayahnya ia genggam erat.
“Mulai hari ini, aku benar-benar akan berjalan di jalan kultivasi…” gumamnya lirih.
Di tepi sungai, sosok Wu Zhen sudah menunggu. Duduk bersila di atas batu, tubuh kurus tuanya tampak bagaikan gunung, tegak dan tak tergoyahkan.
“Kau datang,” kata Wu Zhen tanpa membuka mata. “Bagus. Mari kita lihat apakah kau benar-benar layak memulai.”
Xiao Feng menunduk penuh hormat. “Guru, apa yang harus kulakukan?”
Wu Zhen membuka matanya perlahan, menatap murid kecilnya.
“Langkah pertama kultivasi adalah mengendalikan napas dan menyatukan tubuh dengan alam. Kedengarannya mudah, tapi di sinilah banyak orang gagal. Karena hanya mereka yang tekun dan sabar bisa melangkah lebih jauh.”
Ia menunjuk ke arah sungai. “Masuklah ke air itu. Duduk bersila. Jangan bergerak sampai aku bilang berhenti.”
Xiao Feng menatap sungai yang berarus deras, dinginnya menusuk tulang bahkan dari tepi. Ia menggigil, tetapi tidak mengeluh. Dengan langkah mantap, ia masuk ke dalam air, duduk bersila di tengah arus yang mencapai dadanya.
“Sekarang tarik napas perlahan, biarkan tubuhmu menyatu dengan aliran sungai. Rasakan energi di sekitarmu.”
Air sungai begitu dingin hingga membuat tubuh Xiao Feng bergetar hebat. Setiap kali ia mencoba menarik napas panjang, arus deras membuat tubuhnya oleng. Giginya gemeretuk, tangannya membiru.
Namun ia mengingat kata-kata Wu Zhen: “Jangan bergerak sampai aku bilang berhenti.”
Waktu berjalan. Sepuluh menit terasa bagai sejam. Tubuh kecilnya semakin kaku, wajahnya pucat. Tapi ia tetap bertahan.
“Aku… tidak boleh menyerah…” pikirnya. “Kalau aku menyerah di sini, bagaimana aku bisa menantang langit?”
Wu Zhen memperhatikan dari jauh. Matanya menyipit, namun ada sedikit senyum. “Anak ini keras kepala… jauh lebih keras kepala daripada murid-murid bangsawan yang pernah kulatih dulu.”
Tepat ketika tubuhnya hampir mati rasa, Xiao Feng tiba-tiba merasakan sesuatu. Arus sungai yang tadinya hanya dingin, kini seperti berirama. Ia bisa merasakan detak aliran air, seolah menyatu dengan napasnya.
Hembusan angin di sekelilingnya juga terasa berbeda, seakan mengelus kulitnya lembut. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa dunia ini… hidup.
Matanya terpejam, napasnya melambat. Sebuah aliran hangat samar masuk melalui pori-porinya, berputar di dalam tubuhnya. Itu bukan sekadar udara—itu adalah Qi, energi kehidupan yang mengalir di alam semesta.
“Ini… Qi?” gumamnya lirih.
Wu Zhen mengangguk pelan. “Bagus. Kau berhasil merasakannya. Terus pertahankan, jangan lepaskan.
Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Dari kejauhan, beberapa anak desa melihat Xiao Feng duduk di sungai.
“Lihat, itu Xiao Feng!” seru salah satunya. “Apa yang dia lakukan? Duduk di air? Hahaha, dia benar-benar gila!”
Li Shen, yang ikut bersama mereka, menyipitkan mata. “Huh, dasar pengemis. Dia pikir dirinya kultivator? Dasar bodoh. Ayo kita lempari dia, lihat apakah dia bisa tetap duduk seperti patung!”
Mereka mengambil batu kecil dan melemparkannya ke arah Xiao Feng. Batu itu menghantam bahunya, lalu satu lagi mengenai kepalanya. Darah mengalir di pelipisnya.
Tubuh Xiao Feng berguncang, hampir kehilangan fokus. Namun ia menggertakkan giginya, menahan rasa sakit.
“Tidak… aku tidak boleh goyah… Kalau aku menyerah sekarang, semua akan sia-sia…”
Qi yang baru saja mengalir dalam tubuhnya bergetar, hampir pecah. Tetapi di dalam hatinya, api tekad menyala lebih kuat.
Wu Zhen berdiri, mengibaskan tangannya. Angin kencang bertiup, membuat anak-anak desa terpelanting mundur.
“Pergi dari sini, bocah-bocah bodoh!” bentaknya. Tatapan tajamnya membuat mereka lari terbirit-birit.
Ia lalu menoleh kembali pada Xiao Feng. Anak itu masih duduk tegak, meski darah menetes dari pelipisnya ke sungai.
Wu Zhen mengangguk puas.
“Bagus. Bahkan saat diganggu, kau tidak menyerah. Inilah yang membedakan calon kultivator sejati dari pengecut.”
Akhirnya, ia mengibaskan tangannya sekali lagi. Arus sungai mereda, dan Xiao Feng perlahan membuka matanya. Wajahnya pucat, tetapi sorot matanya tajam, berbeda dari sebelumnya.
“Guru… aku berhasil merasakannya… Qi itu… masuk ke dalam tubuhku…” katanya dengan suara bergetar.
Wu Zhen tersenyum samar. “Ya. Itu adalah benih pertamamu. Hari ini kau resmi melangkah ke jalan kultivasi.”
Xiao Feng keluar dari sungai dengan langkah goyah. Air menetes dari tubuhnya, bercampur dengan darah di pelipisnya. Tapi senyumnya merekah, penuh kepuasan.
Ia menatap langit biru yang perlahan bersih dari kabut pagi.
“Langit… kau boleh tinggi. Kau boleh dingin. Tapi mulai hari ini, aku akan mengejarmu.”
Wu Zhen berdiri di belakangnya, menatap dengan sorot penuh arti.
“Anak ini… benar-benar akan jadi badai di masa depan.”