NovelToon NovelToon
Sebaiknya Kamu Lari

Sebaiknya Kamu Lari

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Ketos / Dosen / Nikahmuda / Duniahiburan
Popularitas:915
Nilai: 5
Nama Author: HARJUANTO

Hanya cerita fiktif belaka, jangan dijadikan keyakinan atau kepercayaan. Yang pasti ini adalah cerita horor komedi.

Awalnya dia hanyalah seorang ibu biasa tetapi saat dia kehilangan putrinya saat mengikuti masa orientasi penerimaan mahasiswi baru, dia tak tinggal diam. Kematian putrinya yang mencurigakan, membuatnya tak terima dan mencari tahu penyebab kematiannya serta siapa yang paling bertanggung jawab.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARJUANTO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7 : Tidak Ada Bukti

Agni terkejut melihat gadis itu menangis.

“Ayo masuk sini Nak,” ajak Agni ke dalam rumah. “Ada apa?” tanya kakek, Agni mengangkat bahunya. Setelah duduk dan memberikan segelas air, gadis itu mulai tampak tenang. “Gimana sudah lebih tenang sekarang?” tanya Agni. Gadis itu mengangguk. “Coba perkenalkan dulu namamu siapa, dari mana dan ada keperluan apa datang ke rumah Tante?” lanjut Agni.

“Nama saya Dina … saya temannya Anggi … dan saya orang terakhir yang bersama Anggi … saat … saat menjelang kematiannya,” cekat Dina.

Agni dan kakek terkejut bersamaan.

“Benarkah?”

Dina mengangguk lalu mengeluarkan sebuah jaket yang telah terlipat rapi dari dalam tasnya dan menyerahkannya pada Agni. “Ini jaket Anggi … malam terakhir orientasi, Anggi meminta saya untuk memakainya … saat itu kita dalam sebuah permainan,” tutur Dina. “Permainan?” tanya Agni. Dina mengangguk.  “Tolong ceritakan semuanya pada Tante ya, Din …” pinta Agni. Maka mulailah Dina menceritakan semuanya.

Menit-menit berlalu.

Agni dan kakek mendengarkan cerita Dina dengan seksama. Sesekali Agni mengusap wajahnya mendengar apa yang diceritakan Dina. Bahkan kakek sampai berteriak kesal, “Apa? Mereka menyuruh cucuku makan mie yang bercampur ludah? Brengsek!” Agni pun mengepalkan tangannya marah. Dina melanjutkan ceritanya kembali. Agni tidak menyangka ternyata selama di orientasi, Anggi tidak dalam kondisi yang bak-baik saja seperti yang disampaikan padanya. Agni baru mengetahui kalau Anggi menutupinya.

Akhirnya Dina menyelesaikan ceritanya seraya mengusap airmatanya.

Setelah mendengar semua, Agni dan kakek terdiam, terkejut bercampur marah hingga tak bisa berkata-kata. “Maafkan saya Tante, harusnya saat Tante datang ke rumah sakit PMI kemarin, saya segera menemui Tante untuk menyampaikan semua ini,” lirih Dina. “Tidak Din apa yang kamu lakukan ini sudah tepat … kalau kamu menyampaikannya saat di rumah sakit kemarin, dalam kondisi kalut, mungkin Tante tidak bisa mencerna ceritamu ini dengan baik,” ucap Agni menatap Dina.

“Sebentar … wajahmu dengan rambut ponimu itu membuat Tante ingat … apakah kamu gadis yang menangis dan berteriak memanggil nama putri Tante di rumah sakit saat itu?” tanya Agni, Dina mengangguk.

“Trus, saat itu ada seorang gadis bernama Evelyn datang pada Tante, menyampaikan duka citanya … apakah Evelyn yang ini, sama dengan Evelyn yang ada di ceritamu tadi Din?” lanjut Agni.

“Apakah dia punya tahi lalat di pipi?” tanya Dina.

Agni mengingat sebentar lalu mengangguk.

“Iya … maka itu Evelyn yang sama,” ujar Dina menegaskan.

Agni menggeleng seraya berdecak geram, “Pintar sekali dia berakting … dan berbohong, mengatakan kalau dia tidak ikutan masa orientasi itu, hih!”

“Tante, Kakek … sepertinya saya harus kembali ke Bogor, saya harus naik kereta sore ini, supaya besok saya bisa tetap masuk kuliah,” ucap Dina bermaksud pamit. “Kalau gitu biar Kakek antar ke stasiun, sekalian Kakek mau jemput si kembar,” ujar kakek. Agni segera memeluk Dina. “Terima kasih Din, kamu sahabat yang baik,” bisik Agni. “Bukan Tante … tapi Anggi-lah sahabat yang paling baik … dia mau menolong siapa saja, berani dan setia kawan … secara pribadi saya mengaguminya … dia seorang sahabat yang akan selalu kami kenang,” ucap Dina membuat Agni terharu.

Setelah kepulangan Dina yang diantar kakek, Agni mengusap airmatanya, ia melipat rapi selimut biru yang selalu dibawa-bawanya itu kemudian diletakkan di kaki tempat tidur Anggi. Ia menempelkan ujung jemarinya di bibir lalu ujung jemarinya itu ia tempelkan pada foto Anggi yang sedang tertawa di dinding. “Love you Nggi,” bisik Agni. Kemudian ia berkaca dan terkejut betapa berantakannya dirinya. Maka Agni segera mengambil handuk menuju kamar mandi. Menyalakan shower dan membiarkan air itu menyirami kepala hingga ujung kakinya. Kemudian berganti pakaian dan menyisir rapi rambutnya. Setelah itu, ia menyiapkan makan malam untuk si kembar.

Dan saat si kembar pulang dari sekolah, mereka sangat terkejut melihat meja makan telah tertata rapi. Mata Anindya dan Aditya membelalak lebar. “Ma! Ma!” panggil Anindya mencari mamanya diikuti Aditya. Mereka melihat Agni sedang memasak nasi goreng dengan daging bistik. Agni menoleh pada si kembar dan tersenyum maka si kembar menghambur memeluk mama mereka itu. Agni membalas dengan memeluk mereka lebih erat. “Udah, udah pelukannya … ntar nasi goreng Mama gosong tuh … sekarang kalian mandi, ganti pakaian dan kita makan bareng ya,” ujar Agni. “Yes! Akhirnya nasi goreng bukan nasi gosong!” seru Aditya gembira seraya menuju kamarnya untuk menuruti perintah mamanya.

Anindya menatap Agni, tersenyum, “Mama baik-baik saja?”

Agni pun tersenyum, “Iya, Mama akan baik-baik saja.”

“Senang, Mama sudah kembali seperti semula,” ucap Anindya.

“Yup … glad to be back Nin,” balas Agni.

Malam itu mereka pun makan bersama dengan penuh tawa.

***

Tengah malam setelah berdoa, Agni mengambil telepon genggamnya yang lama tak disentuhnya. Ia mengisi kembali dayanya dan beberapa saat kemudian telepon genggam itu menyala kembali. Terdengar banyak suara notifikasi berbunyi. Agni memeriksanya, semua notif itu masuk melalui pesan whatsapp-nya dan pesan fesbuknya. Adalah Anindya yang membuatkan fesbuk itu untuk dirinya suatu hari dengan alasan, biar ga gaptek.

Semua pesan itu menyampaikan belasungkawa untuknya.

Agni melewati semua pesan itu kecuali terhadap satu pesan yang mengucapkan belasungkawa sekaligus penyesalan tidak bisa menolong Anggi. Agni membaca nama akun fesbuk tersebut, “Big Boba”. Kemudian ia melihat foto-foto di akun tersebut dan melihat bros mawar yang dipakai mereka. Agni segera mengambil jaket Anggi yang tadi siang diserahkan Dina padanya dan ia menemukan bros mawar itu pun tersemat di jaket Anggi. Ia mencari tahu soal arti bros mawar itu. Setelah mencari-cari, akhirnya ia menemukan penjelasannya. Bros mawar itu adalah lambang dari sebuah perkumpulan persaudarian di kampus tersebut, sebuah perkumpulan eksklusif khusus mahasiswi di kampus tersebut yang telah berdiri sejak tahun 1990-an.

Ia menelusuri akun-akun lain yang berkaitan dengan Big Boba tersebut. Dan ia menemukan akun Ovi disusul akun milik Evelyn. Dan keduanya pun memakai bros mawar. Hal itu membuat Agni semakin yakin cerita Dina benar dan mereka berkaitan dengan kematian putrinya. Ia mengecek satu persatu foto-foto di akun-akun tersebut. Hatinya dibuat geram melihatnya. Mereka masih bisa menghirup udara segar, bersenang-senang, berkumpul di klub malam, menikmati hidup, sedang anaknya terkubur di tanah merah yang dalam.

Agni berpikir sambil memeluk jaket putrinya itu, meringkuk menunggu Subuh.

***

Fajar menyingsing dan kaki-kaki itu berlari cepat menjejak tanah.

Saat udara pagi masih belum tercemari polusi maka itulah waktu yang tepat untuk lari pagi. Menyusuri jalan-jalan yang belum ramai. Nafas terengah-engah terdengar jelas di pagi sepi ini. Sudah lama sejak terakhir ia berlari, rasanya sungguh berbeda sekali. Ia merasa tak selincah dulu tapi Agni bertekad untuk tidak berhenti. Ia terus berlari, meningkatkan staminanya. Keringat menetes dari dahi tak henti begitu pun di punggungnya, tetapi itu tidak membuat langkahnya menjadi melambat, sebaliknya ia berlari lebih cepat.

Setelah melirik jamnya di pergelangan tangan, Agni kembali pulang dan segera menyiapkan sarapan pagi dengan menu favorit untuk si kembar. “Nin! Dit! Cepat mandinya! Nanti kesiangan loh!” teriak Agni. Agni pun bergegas mandi di kamar mandinya, setelah rapi ia bergabung dengan si kembar yang sedang sarapan bersama kakek. “Ma! Baru dua minggu lari kok sudah keliatan kurusan sih? Wow!” seru Anindya terkagum melihat mamanya yang menarik kursi lalu duduk di depannya. “Ah masa sih Nin, kamu bikin Mama seneng aja deh,” ujar Agni bergaya malu-malu. “Beneran Ma … Mama jadi keliatan lebih muda dan cantik!” seru Anindya lagi. “Ah Ma, dia sengaja puji-puji Mama tuh supaya ga dimarahin kalau nilai ulangan matematiknya nol hahaha,” tawa Aditya.

Anindya melotot pada Aditya. “Ooooh jadi itu toh tujuannya muji-muji Mama, ada udang di balik kerupuk ternyata,” sahut Agni. “Ga Ma! Memang Mama terlihat lebih muda kok!” pungkas Anindya. “Trus soal ulangan itu betulkah?” selidik Agni melirik. Anindya menjawabnya dengan cengar-cengir. Agni hanya geleng-geleng.

“Oiya Pak, setelah sarapan ini Agni akan ke Bogor dan sepertinya nginap di sana, titip anak-anak ya,” ujar Agni. Kakek memandang Agni, “Memang ga ada kabar dari Bu Rosa?” Agni menggeleng, “Agni sudah menghubunginya tapi ga ada respon. Sepertinya, Agni harus langsung menanyakannya sendiri.”  Anindya dan Aditya saling pandang. “Berapa lama di sana Ma?” tanya Anindya. “Belum tau Nin … tapi tenang ga akan lama-lama kok” jawab Agni, “untuk makan, Mama sudah beli makanan beku, kalian tinggal panaskan saja di microwave atau digoreng.” Anindya dan Aditya mengangguk.

“Kalau pergi ke sekolah ada Bu Erna yang akan mengantar dan menjemput mereka Pak, soalnya mobil Agni yang bawa, Bapak ga usah khawatir,” sambung Agni, kakek mengangguk dan terdengar suara klakson mobil dari depan rumah. “Tuh Bu Erna sudah siap, cepat, cepat!” cetus Agni. Dengan bergegas Anindya dan Aditya segera berangkat. “Love you Ma!” teriak mereka bersamaan. “Love you too twins!” balas Agni.

Setelah si kembar pergi, Agni mengambil tasnya yang telah disiapkan sejak semalam lalu mengenakan jaket milik Anggi, ia memandangi dirinya di cermin dengan memakai jaket putrinya itu sebentar, ia seperti melihat bayang wajah Anggi yang membias lalu menghilang. Agni melangkah keluar kamar. Kakek menatap Agni, berkata, “Hati-hati Ni.”

Agni mengangguk dan mobilnya menggerum melesat pergi.

***

Di perjalanan Agni merasa ada sesuatu di dalam kantong jaket yang dipakainya.

Ia merogoh kantong yang berada di dalam jaket itu lalu mengeluarkan isinya. Terkejutnya Agni ketika melihat sebuah telepon genggam berada di tangannya. Telepon genggam Anggi! batin Agni. Dengan tangan kanan tetap memegang kemudi, tangan kiri Agni mencari-cari kabel cas di laci dashboard-nya. Setelah menemukan, ia segera mengisi daya telepon genggam yang telah mati itu. Mobil masih terus berjalan dan telah memasuki tol Cikampek.

Setelah baterai telepon genggam itu terisi, Agni segera menyalakannya. Ia membawa mobilnya pindah ke jalur lambat, dan berhenti di pinggir jalan, menyalakan dua lampu sen belakangnya untuk memberi tanda darurat lalu Agni mulai memeriksa isi telepon genggam itu. Tidak ada yang mencurigakan semua tampak normal, tetapi tanda merah di simbol audio itu membuat Agni penasaran. Ia memijit simbol itu dan terlihat sebuah file hasil perekaman dengan durasi waktu yang cukup panjang. Agni melihat tanggal rekaman tersebut dan terkesiap. “Itu tanggal saat Anggi masih di orientasi,” gumam Agni.

Ia menyalakan rekaman itu untuk mendengarkan, seraya menyalakan mesin mobilnya dan melanjutkan perjalanan. Hasil rekaman itu tidak terdengar terlalu jelas karena direkam dari balik kantong jaket, tetapi Agni bisa menangkap kata-katanya. Rekaman itu dimulai ketika mereka akan memulai permainan. Agni membesarkan volumenya untuk mendengarkan kata-kata mereka.

Dalam benaknya ia bisa membayangkan kondisinya.

Ada sekelompok mahasiswi baru yang dipaksa untuk mengikuti permainan paintball oleh kating mereka meski dengan kondisi tubuh yang sudah letih, karena Agni mendengar kata senapan paintball disebutkan, tapi posisinya tidak imbang, para mahasiswi ini tidak diberi senapan paintball juga, melainkan mereka hanya untuk diburu karena ia mendengar kalimat, “… kami adalah pemangsa dan kalian yang dimangsa, kami adalah pemburu dan kalian yang diburu …”

Ya Tuhan, gumam Agni semakin tegang mendengarkan rekaman tersebut.

Mobil sudah memasuki kota Bogor dan Agni segera mengarahkan mobil tersebut menuju kampus putrinya. Dari rekaman itu ia mendengar suara pukulan dan suara putrinya yang mengaduh kesakitan. Agni terkejut bukan kepalang, ia menahan geram hingga jemarinya mencengkeram kuat kemudinya mendengar bagaimana anaknya diperlakukan. “Brengsek,” geram Agni. Lalu terdengar suara berteriak, “Hey Nggi! Sebaiknya lo lari! Hahaha …” disusul suara letusan senapan yang membuat Agni terpekik kaget ketika mendengar suara letusan tersebut.

“Ini bukan permainan, ini adalah rencana pembunuhan! Para kating itu bermain-main dengan nyawa adik tingkatnya!” gusar Agni.

Mobil telah memasuki kawasan kampus, Agni memarkirkan mobilnya dan mematikan rekaman lalu membawa telepon genggam tersebut. Ia segera turun, bergegas menuju ruangan kemahasiswaan. Sesampainya di ruang kemahasiswaan ia diterima oleh seorang wanita penerima tamu. “Saya ingin bertemu dengan Bu Rosa,” ucap Agni. “Apakah Ibu sudah punya janji?” tanya wanita penerima tamu tersebut. “Katakan saja pada Bu Rosa kalau Ibunya Anggi ada di sini … dia pasti mau menemui saya.”

Wanita itu mengangguk dan meminta Agni menunggu.

Beberapa saat kemudian ia telah kembali dan berkata, “Maaf Bu … Bu Rosa tidak bisa menerima Ibu ….” Agni terkejut, “Apa? Kenapa? Saya jauh-jauh datang kesini loh … untuk menanyakan soal investigasi internal kampus atas kematian putri saya!!” di ujung kalimat Agni berteriak tak sabar membuat semua yang berada di ruangan kemahasiswaan itu menoleh padanya. Wanita penerima tamu itu terdiam. Dari ujung matanya, Agni melihat Rosa keluar dari ruangannya secara diam-diam menuju pintu keluar samping.

Agni melihat itu dan memanggilnya, “Bu! Bu Rosa!”

Rosa yang tahu kalau penyelinapannya diketahui Agni segera berlari. “Bu! Hey Bu! Saya ingin bicara!!” teriak Agni. Ia heran mengapa Rosa berlari menghindarinya. Maka dengan cepat Agni pun mengejarnya. Rosa terus berlari melintasi lapangan luas. Agni pun tidak mau kehilangan Rosa, ia terus mengejarnya. Rosa menaikki tangga masuk ke dalam sebuah gedung dan terus berlari melewati ruang-ruang kelas begitu pun Agni yang terus menempelnya di belakang. Ia juga menaikki tangga masuk ke dalam gedung itu dan melihat di depannya Rosa telah melewati ruang-ruang kelas dan berbelok ke kanan. Agni berlari mengikuti. Setelah keluar dari gedung kelas, Rosa masih terus berlari melewati parkiran motor, kini langkah kakinya tidak secepat tadi ia mulai terengah-engah. Di belakangnya Agni semakin dekat.

“Bu! Tunggu!” teriak Agni.

Rosa menaikki tangga lagi, kali ini anak tangganya cukup banyak, membuat nafasnya makin tersenggal saja, kemudian ia mendorong pintu ruang perpustakaan untuk masuk berlari di antara ra-rak buku dan mahasiswa-mahasiswi yang sedang duduk membaca di meja-meja. Agni menggeram kesal melihat Rosa tidak mau berhenti. Ia pun menaikki tangga gedung perpustakaan itu. Dalam hatinya Agni bersyukur, ia telah menyiapkan staminanya sejak dua mingu lalu sehingga bisa menghadapi situasi mendadak yang mengharuskan kekuatan fisik seperti ini.

Langkah kaki Agni bergema membelah ruang perpustakaan membuat sebagian mahasiswa-mahasiswi itu melihatnya. Agni terus berlari keluar gedung perpustakaan dengan mempercepat larinya, ia melihat Rosa sudah berjarak dekat di depannya. “Makanya olahraga huh!” gumam Agni melihat Rosa berlari semakin lambat. Mereka menyusuri pinggir lapangan terbuka untuk parkir mobil khusus dosen dan staf kampus. Agni berbelok masuk ke sebuah jalan pintas yang diapit antara gedung kampus dan kantin untuk memotong.

Tidak sulit, dengan cepat Agni berhasil menghadang Rosa sebelum ia masuk ke dalam mobilnya yang diparkir di ujung lapangan. Rosa terpekik melihat kemunculan Agni yang tiba-tiba itu dan sudah berada di depannya itu. Rosa menghentikan larinya berkata dengan terengah-engah, “Eh Bu Agni … maaf … saya ada rapat … dengan … para pengurus kampus … jadi saya … terburu-buru.”

“Rapat dengan pengurus kampus? Sampai harus berlari mengelilingi setengah kampus? Jangan bohong Bu, Ibu hanya ingin menghindari saya!” cetus Agni kesal.

Rosa terdiam mengatur nafasnya, kemudian bicara, “Ada apa Bu?”

“Bu, jangan berlagak pilon … Ibu bilang Ibu akan membantu saya waktu itu … Ibu menjanjikan pada saya kalau pihak kampus akan melakukan investigasi internal atas kasus kematian putri saya bukan? Dan sudah selama ini saya belum mendapatkan kabar apa pun dari Ibu ataupun pihak kampus! Apakah karena ini Ibu tadi lari dari saya? Karena tidak bisa bertanggung jawab?” cecar Agni.

Rosa terdiam seperti sedang menyiapkan kata-kata.

“Saya menghubungi Bu Rosa tapi tidak pernah dijawab … karena itu saya datang kesini, untuk langsung bertanya pada Ibu!” lanjut Agni gemas.

“Saya menghindari Ibu bukan karena apa yang Ibu katakan tadi … kami sudah bertanggung jawab, investigasi itu sudah kami lakukan Bu … tapi … karena hasilnya akan mengecewakan Ibu, maka saya menghindar tadi … saya ga enak hati.”

Agni mengerutkan kening.

“Apa hasilnya?”

Rosa mengambil satu bundel dokumen dari dalam tasnya lalu menyerahkannya pada Agni. Agni menerima bundel itu. “Semua hasil investigasi tertulis di situ … kesimpulannya, tidak ditemukan pelanggaran dalam aktivitas orientasi yang dilakukan Bu … panitia sudah melakukan sesuai aturan dan tidak ada penyiksaan atau tindakan berlebih yang menyakiti,” beber Rosa.

“Tapi Ibu melihat sendiri bagaimana kondisi jenasah putri saya bukan? Dan apakah Ibu tahu, malam orientasi itu tidak dihadiri oleh satu dosen pengawas pun?!”

“Bu … sebetulnya itu sudah menjadi acara rutin tiap tahun dan memang tidak ada pengawas setiap tahunnya juga … apa yang mereka lakukan pun sama seperti tahun lalu dan tidak menimbulkan korban … selain itu para panitia juga mengatakan kalau … ” ragu Rosa, ia terdiam.

“Katakan saja Bu ….”

“Mereka semua mengatakan kalau putri Ibu selalu melawan mereka, tidak menurut, bahkan saat permainan paintball putri Ibu dengan sadar menyerahkan jaketnya untuk dipakai temannya, padahal panitia telah mengingatkan untuk memakai jaket supaya melindungi dari peluru-peluru paintball tersebut.”

“Apakah Ibu mau mengatakan kalau luka di tubuh putri saya akibat kelalaiannya sendiri?”

“Semua panitia mengatakan seperti itu.”

Agni menggeleng, “Bukan seperti itu cerita aslinya Bu.”

“Maaf Bu, saya tidak bisa menolong Ibu ….”

“Apa?” kaget Agni.

Rosa melangkah melewati Agni yang berdiri termangu menuju mobilnya.

“Tapi kemana saya akan mencari keadilan Bu? Seharusnya pihak kampus mendengar dari dua sisi.”

Rosa berdiri di samping pintu mobilnya.

“Bu … yang melemahkan posisi Ibu adalah … dengan berat hati saya harus bilang ini, kalau putri Ibu memakai narkoba … bahkan kalau kasus ini dibawa ke jalur hukum pun, Ibu tetap kalah.”

“Anak saya bukan pemakai! Dia diberi minuman yang sudah diberi narkoba!” tegas Agni.

“Ibu punya buktinya?” tanya Rosa.

“Ada saksi yang bisa menceritakan apa yang terjadi sebenarnya,” tukas Agni seraya membalikkan badannya menghadap Rosa.

Rosa menggeleng, “Itu hanya kata-kata melawan kata-kata … Ibu perlu bukti konkrit … yang tak terbantahkan … karena semua kesalahan menunjuk pada putri Ibu, semua orang menganggap putri Ibu melanggar aturan dan pemakai.”

Agni geleng-geleng lalu teringat rekaman itu.

“Bu! Saya ada bukti! Bukti rekaman suara! Itu semua menggambarkan situasi apa yang sebetulnya terjadi di sana, ini bisa kita bawa ke tim investigasi kampus bukan?” ujar Agni berharap. “Saya ga yakin Bu, di era segala sesuatu bisa dimanipulasi dengan edit-an maka rekaman suara pun dianggap begitu. Apakah betul itu suaranya, apakah itu hasil edit? Tidak ada pihak yang akan mau menjadikan itu sebagai alat bukti,” jelas Rosa. Agni menghela nafas berat.

“Lalu apa yang harus saya lakukan?” lirih Agni.

“Melanjutkan hidup dan menerima keadaan,” saran Rosa.

Agni menatap Rosa, berucap, “Terima kasih untuk bantuan Ibu,” lalu mengembalikan bundel tadi, membalikkan badannya dan berjalan. Rosa hanya bisa diam, memakai kacamata hitamnya, menaiki mobilnya lalu pergi.

***

Agni duduk di belakang kemudi, berpikir.

Semua kata-kata Rosa terngiang di telinganya. Posisinya yang lemah di mata hukum, tidak adanya bukti yang tak terbantahkan, dan lain lain. Ia mengusap-ngusap wajahnya kesal, akhirnya setelah merenungi cukup lama, Agni mengambil keputusan nekat.

Saat itu juga, ia mencari penjual senapan paintball dan pelurunya di Bogor melalui internet kemudian mengajak penjualnya bertemu untuk membelinya. Setelah mendapatkan senapan tersebut, ia menuju Pasar Bogor dan membeli kacamata bening yang tidak minus untuk menyamarkan wajahnya. Kemudian mengirim pesan pada fesbuk “Big Boba”.

Setelah menunggu, pesannya pun terbalas.

Agni membaca balasan pesan itu dan mereka berjanji untuk bertemu malam ini. Agni menatap foto putri sulungnya di telepon genggam, menciumnya lembut lalu menatap senapan paintball yang telah terisi penuh peluru tersebut di kursi sebelahnya.

“Waktunya pembalasan Sayang …” ucap Agni memakai kacamatanya.

1
HARJUANTO
😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!