Revana Arnelita...tidak ada niatan menjadi istri simpanan dari Pimpinannya di Kantor. namun kondisi keluarganya yang mempunyai hutang banyak, dan Ayahnya yang sakit-sakitan, membuat Revana menerima tawaran menjadi istri simpanan dari Adrian Wijaksana, lelaki berusia hampir 40 tahun itu, sudah mempunyai istri dan dua anak. namun selama 17 tahun pernikahanya, Adrian tidak pernah mendapatkan perhatian dari istrinya.
melihat sikap Revana yang selalu detail memperhatikan dan melayaninya di kantor, membuat Adrian tertarik menjadikannya istri simpanan. konflik mulai bermunculan ketika Adrian benar-benar menaruh hatinya penuh pada Revana. akankah Revana bertahan menjadi istri simpanan Adrian, atau malah Revana menyerah di tengah jalan, dengan segala dampak kehidupan yang lumayan menguras tenaga dan airmatanya. ?
baca kisah Revana selanjutnya...semoga pembaca suka 🫶🫰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Bab 26
...“Ya, Ayah… Ibu. Aku siap menanggung risikonya. Aku siap, jika itu bersama Adrian.” -Revana...
Hari demi hari berlalu, hubungan Adrian dan Revana semakin hari semakin intim, mereka kini tak ada lagi rasa canggung. Revana semakin memposisikan dirinya sebagai kekasih Adrian, tak ada lagi sikap ketus dan juga penuh penolakan. kehidupan Revana benar-benar berubah, wanita itu menjadi semakin cantik dan mempesona karena Adrian memberikan perawatan terbaik, menyokong segala kebutuhannya.
Hubungan Revana dengan Alesya dan Andrew juga semakin lengket, anak-anak sering membuat Adrian kesal, karena mereka sering mensabotase waktunya Revana ketika senggang.
Akhir pekan pagi ini, Revana sibuk melipat pakaian ke dalam koper miliknya. Suasana hatinya campur aduk, antara rindu pada kedua orangtuanya dan tekanan batin karena mendapat desakan Adrian.
Adrian berdiri di ambang pintu kamar, bersedekap sambil menatap gerak-gerik Revana. Wajahnya serius, tidak seperti biasanya.
“Sayang… sampai kapan kamu mau sembunyikan hubungan kita? Aku nggak mau terus-terusan jadi rahasia. Cepat atau lambat, orangtuamu harus tahu. Aku ingin resmi sama kamu.”
Revana berhenti melipat baju. Ia menghela napas panjang, lalu menoleh pada Adrian.
“Aku tahu… hari ini aku mau berusaha, meskipun aku takut. Ayahku sakit-sakitan, ibuku juga mudah khawatir. Aku nggak mau bikin mereka shock.”
Adrian melangkah masuk, lalu memegang kedua bahu Revana. Tatapannya dalam, penuh tekad.
“Justru karena ayahmu sakit, aku ingin segera bikin mereka tenang. Aku akan tanggung semua kebutuhan mereka. Aku serius, Sayang. Aku ingin menikahimu, bukan cuma main-main.”
Revana terdiam sesaat . Ia sadar, cepat atau lambat, ia memang harus bicara. Tapi keberanian itu belum sepenuhnya ia miliki.
“Kalau aku bicara pada mereka, gimana kalau mereka menolak? Gimana kalau mereka kecewa aku jatuh cinta sama pria beristri?”
Adrian mengangkat wajah Revana dengan lembut.
“Biar aku yang jelaskan. Kalau perlu, aku ikut ke sana. Aku nggak mau kamu sendirian hadapi semua ini. Aku ingin orangtuamu tahu… betapa aku mencintaimu.”
Revana terdiam lama, lalu akhirnya mengangguk kecil.
“Baiklah… aku akan coba bicara sama mereka. Tapi aku mohon… Kamu jangan desak aku terlalu keras.”
Adrian menariknya ke dalam pelukan, mencium puncak kepalanya.
“Yang penting, kamu janji. Kamu jangan pernah mundur lagi. Aku ingin kita segera sah. Aku ingin kamu jadi istriku, di hadapan semua orang.”
Revana menutup mata dalam pelukan itu. Hatinya berdebar kencang, antara takut dan lega. Ia tahu, pulang kampung kali ini akan menjadi titik balik dalam hidupnya.
Setelah perjalanan hampir empat jam lamanya, Mobil Adrian berhenti di depan rumah sederhana orangtua Revana. Revana yang sudah tidak sabar ingin bertemu ibunya, langsung tersenyum lega. Namun senyum itu segera pudar ketika ia melihat pemandangan tak biasa.
Di teras rumah, ada beberapa pria bertampang sangar. Tubuh mereka tegap, tato menghiasi lengan mereka, wajahnya penuh ancaman. Mereka duduk dengan gaya seenaknya, sebagian berdiri sambil menyulut rokok.
Revana tercekat.
“Papi… itu siapa ya?”
Adrian menyipitkan mata, segera tahu kalau situasi ini tidak baik. Ia menepuk lembut tangan Revana.
“Tenang. Jangan keluar dulu sebelum aku yang turun.”
Namun belum sempat Adrian membuka pintu, salah satu pria melihat kedatangan mobil mereka. Ia langsung bersiul, memberi kode pada teman-temannya.
“Loh, ini anaknya Pak Gavin ya? Akhirnya kamu pulang juga!” ucap salah satu pria itu.
Revana langsung pucat pasi. Ia mengenali wajah-wajah itu, beberapa kali ia mendengar ibunya bercerita tentang penagih hutang yang sering datang.
Pintu rumah terbuka, keluar Ibu Revana dengan wajah panik.
“Revana! Jangan turun dulu, Nak! Mereka… mereka orang depkolektor!”
tubuh Revana gemetar panik.
“Ya Tuhan… Ayah…ibu...”
Adrian akhirnya keluar dari mobil dengan langkah tenang, aura wibawanya langsung membuat para penagih hutang itu sedikit menahan diri.
“Ada masalah apa ini? Kalian datang dengan cara seperti ini, sikap kalian
itu sudah mengganggu keluarga ini?!”
Mereka semua tersenyum menyeringai, lalu salah satu dari mereka menjawab.
“Jangan ikut campur, Bos. Urusan ini bukan sama kamu. Bapak wanita ini punya hutang ratusan juta, dan sampai sekarang belum dibayar. Jadi anda jangan sok jadi pahlawan.”
Revana akhirnya keluar meski ditahan ibunya, wajahnya penuh cemas. Ia memeluk ibunya erat-erat, lalu menatap tajam pada para pria itu.
“Tolong, jangan kasar! Kami akan berusaha melunasinya!”
Bardi, salah satu depkolektor mendekat, menatap sinis.
“Berusaha? dari bulan lalu Ayah dan Ibu kamu cuma janji-janji saja. Kalian sudah nggak punya waktu lagi, dan rumah ini bisa jadi jaminan, atau… yang cantik ini ikut kami.”
Revana langsung ketakutan, tubuhnya gemetar hebat. Adrian bergerak cepat, berdiri di depan Revana, menahan pria itu dengan tatapan dingin.
“Jaga ucapanmu! Jangan sekali-sekali menyentuh dia. Kalau soal hutang, kita selesaikan secara baik-baik. Aku yang akan bayar semua ini.”
Heru melipat tangan, menatap Adrian dengan ragu.
“Siapa kamu, berani sok-sokan mau tanggung hutang mereka?”
Adrian mengeluarkan kartu namanya, meletakkannya di meja bambu yang ada di teras.
“Adrian Wijaksana. Cari tahu siapa aku. Aku janji, hutang ini akan segera beres. Sekarang pergi sebelum aku panggil aparat.”
Keheningan sesaat. Para pria itu saling pandang, lalu dengan kesal satu per satu mundur, meski masih melontarkan ancaman akan kembali lagi.
Saat mobil mereka menjauh, Revana langsung jatuh terduduk, menangis di pelukan ibunya.
Revana menangis sesenggukan.
“Ayah… sampai bisa segininya…”
Adrian mengepalkan tangan, matanya penuh tekad.
“Aku tidak akan biarkan Revana dan keluarganya dipermalukan begini. Aku akan selesaikan semua hutang ini, bagaimanapun caranya.” kata Adrian dalam hati.
Setelah para depkolektor itu pergi, Mira menyuruh mereka masuk ke dalam rumah.
Suasana rumah terasa berat. Bau obat-obatan samar memenuhi ruang tamu kecil itu. Ayah Revana, Pak Gavin, duduk di kursi tua dengan tubuh lemah, wajahnya tampak lebih tua dari usianya. Matanya tertunduk, malu karena anak dan atasannya harus melihat semua ini.
Revana langsung menghampiri ayahnya, berlutut di samping kursi itu.
“Ayah… kenapa tidak bilang semuanya sama aku? Kenapa harus dipendam sendiri begini?” kata Revana lirih, menahan tangis.
Pak Gavin menghela napas panjang, suaranya serak.
“Ayah tidak ingin merepotkanmu, Nak. Kamu sudah bekerja keras di kota, masa harus ikut memikul beban ayah yang gagal… Usaha ayah bangkrut, modal habis, hutang menumpuk. Ayah pikir masih bisa menyelesaikan, tapi ternyata—”
Suaranya patah, tangannya bergetar menutup wajahnya.
Revana memegang tangan Ayahnya.
“Tidak, Yah… aku anakmu, aku pasti bantu. Jangan pernah merasa sendirian…”
Adrian yang sejak tadi berdiri memperhatikan akhirnya melangkah maju, suaranya tegas tapi penuh wibawa.
“Pak Gavin, mulai sekarang jangan khawatir lagi soal hutang itu. Saya yang akan menanggung semuanya.”
Pak Gavin tersentak, begitu juga dengan Bu Mira, Ibu Revana.
Ibu Revana terkejut
“Lho… Pak Adrian… hutang itu jumlahnya besar sekali. Tidak mungkin…”
“Tidak ada yang tidak mungkin, Bu. Saya sudah terbiasa mengurus hal-hal besar. Bagi saya, yang terpenting sekarang adalah Revana tidak perlu hidup dalam ketakutan dan bapak ibu bisa tenang.”
Pak Darma menunduk, suaranya bergetar.
“Tapi… Pak Adrian, saya malu. Bagaimana harga diri seorang ayah, kalau semua harus ditanggung orang lain?”
Adrian menatapnya dalam-dalam, lalu menepuk bahu Pak Gavin dengan hormat.
“Harga diri seorang ayah justru terlihat ketika anaknya tidak dibiarkan hancur. Saya tidak melihat ini sebagai beban, Pak. Saya melihat ini sebagai tanggung jawab, karena saya sudah memilih Revana untuk jadi bagian dari hidup saya.”
Ucapan itu membuat Revana tertegun. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. Ia menatap Adrian dengan campuran terharu, kaget, sekaligus bingung.
Ibu Mira terkejut dengan kalimat Adrian, ia menyeka matanya.
“Maksud Pak Adrian apa ya, maaf kami tidak mengerti.”
Pak Gavin dan Bu Mira saling pandang, jelas terlihat ada pertanyaan besar yang mengganjal di hati mereka. Adrian duduk tenang di kursi, sementara Revana menunduk, merasa jantungnya berdegup lebih keras dari biasanya.
Meski dengan kondisi sedikit lemah, Pak Gavin bersuara menjaga wibawanya.
“Pak Adrian… saya ingin bertanya terus terang. Apa tujuanmu ikut Revana pulang ke rumah kami? Kamu seorang pimpinan besar, bukan? Tidak biasanya seorang atasan repot-repot sampai mengantar karyawannya ke kampung kecil begini.”
Revana terperanjat, segera menatap Adrian dengan wajah panik.
“Yah, Pak Adrian cuma… cuma ingin memastikan aku baik-baik saja setelah urusan kantor. Jangan salah paham…” kata Revana menyahut cepat-cepat.
Namun Adrian justru menepuk lembut tangan Revana, membuatnya semakin gugup. Tatapan Adrian tetap tegas pada kedua orangtua Revana.
“Saya datang ke sini bukan hanya untuk menemani Revana. Ada alasan lain yang lebih besar.”
Bu Mira mencondongkan tubuhnya, penasaran.
“Alasan besar? Maksudmu apa, Pak?”
Adrian menarik napas dalam, lalu berbicara dengan penuh keseriusan.
“Saya ingin meminta restu Bapak dan Ibu. Niat saya datang adalah untuk melamar Revana menjadi istri saya.”
Ruangan seketika hening. Hanya detak jarum jam dinding yang terdengar, Revana membelalakkan mata, terperangah, hampir tak percaya Adrian bisa mengucapkan itu begitu blak-blakan.
Revana tercekat.
“Pak Adrian… jangan—”
Pak Gavin dan Bu Mira kompak tertegun.
“Melamar? Kamu… sudah beristri kan ? Apa maksudmu dengan ini?”
Adrian menunduk sebentar, lalu kembali menatap mereka dengan tulus.
“Benar, saya sudah beristri. Tapi rumah tangga kami sudah lama retak, saya sedang berusaha menyelesaikannya. selama ini Saya bertahan hanya demi anak-anak. Saya tidak ingin hidup dalam kepalsuan lagi. Revana telah hadir dalam hidup saya… dengan caranya sendiri, dia mengisi kekosongan yang tidak pernah bisa saya dapatkan di rumah.”
Bu Siti menutup mulutnya, kaget.
“Ya Allah… Revana… apa yang kamu sembunyikan dari kami?”
Revana tak bisa berkata-kata, wajahnya memanas, hatinya berperang antara malu, marah, sekaligus terenyuh.
Pak Gavin menatap Adrian tegas.
“Ini berat, Pak Adrian. Bagaimana nasib istrimu? Bagaimana pandangan orang? Dan bagaimana Revana bisa menerima semua ini?”
Adrian menoleh pada Revana, sorot matanya tajam tapi lembut, seakan menantang sekaligus memohon.
“Itu sebabnya saya bawa dia pulang. Agar semua jelas. Agar orangtuanya tahu niat saya tidak main-main. Saya ingin Revana jadi bagian dari keluarga saya, dengan restu kalian.”
Revana hanya bisa terdiam, air mata menggantung di pelupuk matanya.
Suasana begitu tegang. Adrian menundukkan kepala sebentar, lalu berkata dengan suara penuh keyakinan.
“Saya berjanji akan menjaga Revana dengan seluruh hidup saya. Menyayanginya, menghormatinya. Saya juga berjanji akan bertanggung jawab penuh atas hidupnya. Tidak ada lagi kekhawatiran soal masa depan, semua yang ia butuhkan akan saya penuhi. Saya mohon, izinkan saya membuat Revana bahagia.”
Pak Gavin menarik napas panjang, wajahnya berat. Bu Mira menatap anak gadisnya yang hanya bisa menunduk dengan mata berkaca-kaca.
“Pak Adrian, kata-katamu memang meyakinkan. Tapi keputusan ini bukan hanya soal restu kami. Semua kembali pada Revana sendiri. Kami tidak ingin anak kami terjebak dalam kehidupan yang penuh luka.”
Bu Mira mengulurkan tangannya, menggenggam jari Revana.
“Revana… jawab jujur pada Ayah dan Ibu. Bagaimana sebenarnya perasaanmu? Maukah kamu menerima Pak Adrian… dan bersedia menjadi istri kedua?”
Ruangan hening. Revana menutup mata sejenak, dadanya naik turun menahan emosi. Air mata akhirnya jatuh tanpa bisa dibendung.
dengan suara lirih dan bergetar Revana menjawab.
“Aku… aku tahu semua orang akan menilai aku buruk. Aku tahu ini akan sulit, sangat sulit. Tapi aku tidak bisa lagi membohongi hatiku. Pak Adrian… dia lelaki yang selama ini selalu melindungiku, membuatku merasa berarti. Aku… aku mencintainya.”
Adrian menatap Revana dengan sorot mata penuh rasa haru, seolah dunia di sekitarnya berhenti berputar.
Pak Gavin menutup mata, menahan perasaan.
“Kalau begitu, kamu benar-benar sudah memilih jalanmu sendiri, Nak?”
Revana mengangguk pelan, meski air matanya terus mengalir.
“Ya, Ayah… Ibu. Aku siap menanggung risikonya. Aku siap, jika itu bersama Adrian.”
...⚘️...
...⚘️...
...⚘️...