NovelToon NovelToon
MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Istana/Kuno
Popularitas:510
Nilai: 5
Nama Author: penulis_hariku

“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8 Bayangan di Balairung

Pagi itu, udara di Samudra Jaya terasa lebih tegang dari biasanya. Di balairung, rapat kedua digelar untuk membahas langkah-langkah pengamanan perbatasan selatan setelah laporan Tumenggung Wiranegara kemarin. Mahapatih Nirmala memimpin rapat dengan ketenangan yang tampak sempurna, namun sorot matanya tetap menyiratkan kewaspadaan luar biasa.

“Pasukan harus disiagakan penuh,” tegasnya. “Setiap gerakan musuh harus tercatat. Kita tidak boleh lengah walau sedetik pun.” Raden Arya duduk di samping Mahapatih, wajahnya masih menegang setelah pertarungan kemarin. Tangannya mengetuk meja berulang kali, menandakan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan. Raksa, di sisi lain, tampak santai. Senyum tipisnya seperti menantang semua yang hadir.

“Menurutku, terlalu banyak was-was tidak selalu membawa kebaikan,” ujar Raksa pelan, matanya melirik ke arah Arya. “Jika kita terlalu takut, kita akan kehilangan kesempatan untuk mengeksekusi strategi yang tepat. Ambisi dan keberanian harus berjalan seiring.”

Arya menatapnya tajam. “Ambisi, Raksa… bukan berarti kita bisa mengabaikan keselamatan rakyat. Perbatasan selatan bukan sekadar garis batas itu benteng terakhir Samudra Jaya. Sekali goyah, seluruh kerajaan bisa terancam.”

Raksa hanya mengangkat bahu, tersenyum sinis. “Kau terlalu khawatir kangmas Arya. Dunia ini tidak menunggu mereka yang terlalu takut. Kadang, kita harus menempuh jalan yang berani.” Putri Dyah yang duduk di sisi ruangan menyadari ketegangan semakin memuncak. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan diri. Namun dalam hati, ia tahu bahwa badai intrik tidak hanya datang dari luar, tapi juga dari dalam—dari keluarga sendiri. Dia memejamkan matanya sejenak lalu berdiri membuat kegaduhan itu hening seketika.

“Kita disini untuk membahas penyusup yang akan menghancurkan samudra jaya bukan membuat perbedaan pendapat, apa jadinya jika perbedaan pendapat itu malah menghancurkan kerajaan kita sendiri. Yang ada kita akan hancur dari dalam bukan dari para penyerang dari luar kerajaan,”

Hening mendadak menyelimuti balairung. Suara Putri Dyah yang lantang dan penuh wibawa menggema, memaksa setiap kepala menunduk. Mahapatih Nirmala melirik sekilas, matanya mengisyaratkan rasa lega karena sang putri mampu mengendalikan rapat yang hampir pecah menjadi arena pertengkaran. Raden Arya menahan napas, genggaman tangannya di meja perlahan mengendur. Ia tahu ucapannya barusan sudah membuat ketegangan memuncak, namun tak ada yang bisa ia lakukan selain berdiam diri. Sementara itu, Raksa yang duduk tak jauh darinya menatap tajam ke arah Putri Dyah. Senyum tipis yang tadi menghiasi wajahnya sirna, berganti tatapan tajam yang penuh amarah tersembunyi.

Tangannya mengepal kuat, urat di punggung tangannya tampak menonjol. Ia mencoba menahan diri agar emosinya tidak meledak di depan semua abdi kerajaan. Namun dalam hatinya, bara dendam kian menyala. Baginya, perkataan sang putri adalah bentuk penghinaan, seakan-akan dirinya dianggap tak lebih dari pengacau di tengah rapat penting kerajaan.

Mahapatih Nirmala kembali membuka suara, mencoba mengalihkan perhatian.

“Gusti Putri benar,” ujarnya dengan suara berat namun tegas. “Kerajaan ini tidak bisa goyah hanya karena perbedaan pandangan di antara kita. Musuh sedang mengintai di luar sana. Jika kita berpecah, maka mereka akan dengan mudah menembus pertahanan kita.”

Tumenggung Wiranegara menundukkan kepala. “Benar adanya, Gusti Mahapatih. Armada laut sudah kami siagakan. Namun tanpa persatuan di pusat kerajaan, semua persiapan itu akan sia-sia.” Putri Dyah menatap satu per satu wajah yang hadir. Sorot matanya tajam, namun penuh ketegasan yang tak bisa digugat. “Aku ingin balairung ini menjadi tempat kita menyatukan kekuatan, bukan medan adu mulut. Jika ada perbedaan, sampaikan dengan bijak, bukan dengan api yang membakar persaudaraan.”

Raden Arya menunduk hormat, mencoba menahan rasa bersalah. “Ampun, Gusti Putri. Hamba terlalu terbawa suasana. Hamba hanya ingin menjaga keamanan negeri ini sebaik mungkin.” Raksa tetap diam. Ia menunduk sekilas, seolah memberi penghormatan, tetapi tatapannya yang tersembunyi di balik bayangan alis menyiratkan penolakan. Di balik genggaman tangannya yang makin keras, ia berjanji dalam hati bahwa ia tidak akan melupakan penghinaan ini. Keheningan kembali menguasai ruangan. Mahapatih Nirmala lalu memberi perintah jelas kepada para pejabat dan tumenggung. “Kita akan tingkatkan pengawasan di perbatasan selatan. Setiap laporan sekecil apapun harus segera disampaikan ke balairung. Tidak boleh ada celah sedikit pun bagi musuh untuk masuk.” Para abdi kerajaan mengangguk serentak. Mereka paham situasi sudah terlalu genting untuk dipermainkan dengan perselisihan. Namun, meski rapat berlanjut, hawa dingin masih terasa menyelimuti antara Arya dan Raksa.

Putri Dyah kembali duduk perlahan. Tumenggung Wiranata melihat raut wajah Raden Raksa langsung merasakan perubahan suasana. Ia tahu Raden Raksa bukan sosok yang mudah menerima kekalahan, apalagi jika harga dirinya disentuh di depan banyak orang. Di sisi lain, Arya masih berusaha menenangkan dirinya, meski hatinya tetap penuh curiga. Ia sadar bahwa bukan hanya musuh di luar kerajaan yang berbahaya, tetapi juga ambisi tersembunyi yang ada di dalam keluarga sendiri. Sementara itu, Raksa menunduk, namun matanya menyala penuh bara. Dalam hatinya ia berbisik, “Kalian boleh menertawakan aku sekarang. Tapi saat waktunya tiba, kalian akan tahu siapa yang sebenarnya layak memimpin Samudra Jaya.” Rapat pun dilanjutkan dengan laporan para tumenggung lain, namun bagi sebagian orang, kata-kata Putri Dyah tadi menjadi pengingat bahaya yang paling mematikan bukan hanya tombak musuh di medan perang, melainkan api yang menyala di hati keluarga kerajaan itu sendiri. Di luar balairung, angin pagi berhembus kencang, seakan menjadi pertanda bahwa badai besar tengah menunggu di ufuk.

***

Di sisi lain, di dapur keputren, Sima masih menahan napas. Ia duduk di pojok dapur, menyeka keringat dingin di dahinya. Nyi Rengganis terus mengawasinya dari kejauhan, senyum tipis tetap tersungging di bibirnya.

“Jangan sampai ada yang mencurigai,” bisik Nyi Rengganis. “Setiap langkahmu menentukan hidupmu dan keluargamu. Ingat, rahasia ini harus tetap tersembunyi.” Sima mengangguk pelan, hatinya terasa berat. Ia tahu bahwa sedikit kelalaian bisa mengantarkan kematian bagi orang-orang yang ia cintai. Dengan hati-hati, ia menyusun kembali bungkusan ramuan di dapur, menatapnya seakan mencari keberanian untuk menghadapi hari yang penuh ancaman.

Tanpa mereka ketahui ada seseorang yang mengetahui apa yang Sima lakukan, dia melirik sekilas rahasia itu ia tahu tapi dia simpan rapat karena mungkin bukan hanya Sima saja yang akan bernasib tragis tapi juga dirinya. Seseorang melangkah pelan dari balik tirai dapur. Bayangan tubuhnya sempat membuat Sima tersentak, hampir menjatuhkan bungkusan yang baru saja ia rapatkan. Ternyata itu adalah Laras, salah satu dayang yang sering membantunya.

“Sim… kau kenapa? Wajahmu pucat sekali,” bisik Laras, sambil melirik sekilas ke arah pintu, memastikan tak ada yang mendengar. Sima terdiam sejenak, napasnya memburu. “Tidak… tidak ada apa-apa. Hanya lelah,” jawabnya tergagap.

Namun Laras menatapnya lekat, sorot matanya penuh curiga. “Aku melihat apa yang kau sembunyikan barusan. Jangan mengira aku buta.” Suaranya rendah, tapi jelas menusuk hati Sima. Dia menunduk, tubuhnya bergetar. Ia berusaha menyangkal, namun bibirnya kaku. “Laras… tolong. Jangan katakan pada siapa pun. Kalau ada yang tahu… bukan hanya aku yang celaka.” Laras menarik napas panjang, lalu mendekat. “Aku tidak bodoh, Sim. Aku tahu betul, permainan seperti ini bisa menyeret siapa saja ke dalam jurang. Aku pun bisa jadi korban kalau aku bicara sembarangan.” Ia melipat tangan di dada, menatap Sima dengan tatapan berat.

Sima menggenggam pergelangan Laras, hampir memohon. “Aku tidak punya pilihan, Laras. Mereka memaksa. Jika aku menolak, keluargaku habis. Kumohon… rahasiakan ini.” Laras menatap sahabatnya itu lama, lalu berbisik lirih. “Aku akan diam. Tapi ingat, Sim… rahasia sebesar ini tidak mungkin tersembunyi selamanya. Cepat atau lambat, semua akan terungkap.” Sima hanya bisa menunduk, air matanya menetes tanpa suara. Dari kejauhan, Nyi Rengganis yang memperhatikan dari celah pintu tersenyum puas—tak menyadari bahwa benih pengkhianatan justru sedang tumbuh di dalam lingkarannya sendiri.

****

Sore harinya, di arena latihan, suasana kembali tegang. Para prajurit sedang berlatih, namun mata semua orang diam-diam melirik ke arah pondok Putri Dyah. Raksa muncul lagi, kali ini tanpa diikuti Sangkara dan Jaya Rudra. Tatapan matanya seperti menembus jiwa setiap orang yang ada di arena.

“Latihan hari ini cukup menarik,” katanya pelan, namun setiap kata menimbulkan hawa dingin di antara mereka. “Tapi ada hal yang lebih penting daripada sekadar kekuatan fisik. Strategi, loyalitas, dan… pengaruh, menentukan siapa yang bertahan.” Putri Dyah menggenggam kain di tangannya lebih erat. Puspa berdiri di sisi, matanya masih menyorot Arya yang berlatih, hatinya dipenuhi kecemasan. Ia tahu, Raksa tidak hanya ingin menunjukkan kekuatannya—ada niat lain, yang lebih gelap, tersembunyi di balik senyum dan ejekannya.

Raden Raksa melihat kearah pondok disana dia melihat Puspa yang begitu khawatir dengan Raden Arya. Membuat Raden Raksa mengepalkan tangannya erat, Aruna yang melihat perubahan langsung melirik kearah pondok dimana Puspa sang sepupu berdiri. Dia menghela nafas panjang, semua ini tidak akan mudah ada dua pangeran yang merebutkan seorang bawahan yang tak berpengaruh. Aruna menatap putri Dyah sejenak kecemasannya sirna, mata teduh nan tegas itu mampu menghilangkan rasa gundah dihatinya. Latihan pun dimulai, adipati Surabrata memimpin latihan kedua pangeran Samudra Jaya itu.

“Puspa...buka matamu dan lihatlah siapa yang akan berkuasa suatu saat nanti dan kau yang akan menjadi saksinya berdiri disampingku,” gumam Raden Raksa dalam hati bersiap dengan posisinya begitu juga Raden Arya.

Suara dentuman kayu bertemu kayu bergema di arena. Dua batang senjata latihan saling beradu, memercikkan semangat sekaligus amarah yang terpendam. Raden Raksa bergerak lincah, tubuhnya berputar seperti angin topan, setiap serangan diarahkan dengan kekuatan penuh. Tatapannya tajam, bukan sekadar berfokus pada pertarungan, melainkan pada sosok yang berdiri di pinggir arena—Puspa.

Arya bertahan sekuat tenaga, kedua tangannya terasa perih menahan hantaman demi hantaman yang datang tiada henti. Namun berbeda dari latihan sebelumnya, kali ini ia tak hanya bertahan membabi buta. Ada pola yang mulai terbentuk dari gerakannya langkah-langkah kecil yang menghindari serangan, gerakan cepat yang menutup celah.

“Bagus, Raden Arya,” seru Adipati Surabrata, yang mengawasi dari samping dengan sorot mata tajam. “Kau mulai memahami irama medan. Ingat, bukan sekadar kekuatan, tapi keseimbangan yang menentukan.” Raksa mendengus lirih. Ia menambah tekanan, serangannya semakin cepat dan ganas. Setiap gerakan seakan ingin menegaskan bahwa dialah yang paling unggul, dialah yang pantas dihormati. Namun di sela sengitnya adu senjata, bayangan senyum Puspa yang beberapa hari lalu ia lihat masih menghantui. Senyum itu… bukan untuknya.

Arya terdesak, tapi kali ini ia tak mudah dijatuhkan. Beberapa kali ia berhasil memutar serangan Raksa, bahkan sempat membuat lawannya mundur setapak. Hal itu membuat suasana arena bergemuruh kecil para prajurit berbisik, kagum melihat perkembangan sang pangeran yang biasanya hanya jadi bulan-bulanan adiknya

Putri Dyah memperhatikan dari pondok. Senyumnya samar, ada kelegaan melihat Arya mulai menemukan keberaniannya. Puspa yang berdiri di sampingnya tak sadar bibirnya melengkung tipis, sorot matanya penuh bangga pada Arya yang akhirnya menunjukkan perubahan. Raksa menyadarinya. Saat ia melirik ke arah pondok, matanya bertemu dengan senyum Puspa—tapi senyum itu bukan untuknya. Senyum itu jelas ditujukan pada Arya, yang tengah terengah namun tetap berdiri tegak di hadapannya.

Hati Raksa mendidih. Genggamannya semakin kuat, setiap serangan berikutnya menjadi lebih liar, lebih berat, seakan ingin menghancurkan bukan hanya tubuh Arya, tapi juga harga dirinya. Arya akhirnya goyah. Sebuah pukulan keras dari samping membuatnya terhuyung, lututnya hampir menyentuh tanah. Raksa tak menyia-nyiakan kesempatan, ia menghantam lagi dengan dorongan penuh hingga Arya terjatuh ke tanah berdebu. Suasana hening sejenak. Hanya terdengar napas berat Arya dan langkah Raksa yang mendekat. Ia menunduk, menatap kakaknya yang terkulai di tanah. “Lihatlah,” suaranya rendah namun menusuk. “Kekuatan seperti inilah yang menentukan siapa yang berhak memimpin. Bukan sekadar senyum atau belas kasihan.” Arya mencoba bangkit, tangannya gemetar menopang tubuh. Wajahnya berlumur peluh, tapi matanya tetap menyala, menolak menyerah sepenuhnya. “Aku mungkin kalah, Raksa. Tapi aku tidak akan berhenti belajar. Dan suatu hari nanti, aku akan berdiri sejajar denganmu.”

Raksa terdiam sepersekian detik, namun matanya menyipit tajam. Ia berbalik tanpa berkata apa-apa lagi, meninggalkan arena dengan langkah cepat. Di balik punggungnya, ia masih merasakan perih—bukan karena pertarungan, melainkan karena tatapan Puspa yang jelas-jelas memihak Arya. Adipati Surabrata menghela napas, lalu menoleh pada Arya yang mulai bangkit dengan bantuan dua prajurit. “Itu sudah lebih baik, Raden. Kau belajar menghadapi tekanan. Ingat, kemenangan bukan hanya sekali duel. Kadang kekalahan hari ini adalah dasar kemenangan esok hari.”

Arya mengangguk lemah, menundukkan kepala tanda hormat. “Terima kasih, Adipati. Hamba akan terus berlatih.” Putri Dyah yang melihat kejadian itu segera melangkah turun, menghampiri. Wajahnya teduh, tapi ada kebanggaan yang tak bisa disembunyikan. “Arya, kau sudah menunjukkan keberanian. Itu yang paling penting.”

Arya menatap kakaknya dengan mata berkaca-kaca, lalu menunduk dalam-dalam. “Ampun, Gusti Kakanda. Hamba hanya ingin… tidak menjadi beban bagi Samudra Jaya.” Puspa yang berdiri tak jauh dari sana hanya bisa menggenggam tangannya erat. Senyum tipis tadi hilang, berganti rasa khawatir yang dalam. Namun hatinya tetap dipenuhi rasa bangga melihat Arya berani melawan meski akhirnya tumbang. Sementara itu, jauh di koridor luar arena, Raksa berdiri membelakangi semuanya. Tangannya kembali mengepal, bibirnya bergetar menahan emosi. Ia menoleh sejenak, menatap bayangan Arya yang masih berdiri di tengah arena meski terluka. Dalam hatinya, kata-kata yang penuh bara terngiang“Kau boleh mendapat senyum itu sekarang, Arya. Tapi suatu saat, aku akan membuatmu kehilangan segalanya—bahkan dia yang kau sayangi.” Langkah Raksa kemudian menjauh, meninggalkan arena dengan dada sesak. Tak seorang pun berani menyapanya, seakan aura amarah yang dipendamnya mampu membakar siapa saja yang mendekat.

Di belakangnya, arena kembali dipenuhi suara latihan, namun ketegangan tetap menggantung di udara. Semua orang tahu, apa yang baru saja terjadi bukan sekadar latihan. Itu adalah tanda, bahwa pertarungan sesungguhnya baru saja dimulai—bukan hanya soal kekuatan, tapi juga soal hati yang diam-diam diperebutkan. Dan Samudra Jaya, tanpa disadari, sedang menuju pusaran badai yang lebih besar.

Beberapa saat kemudian, menjelang sore, Puspa berjalan sendirian di taman dalam istana. Angin siang membawa aroma bunga kamboja dan melati. Ia berniat kembali ke kediamannya setelah selesai mengantar putri Dyah ke pasren. Tak disangka, langkahnya terhenti saat sebuah tangan kuat tiba-tiba menarik lengannya ke sisi taman yang lebih sepi.

“Puspa...” suara itu dalam, penuh gejolak.

Puspa menoleh kaget. “Raden Raksa... apa yang panjenengan lakukan?” Tubuhnya sudah terdesak pada batang pohon, sementara Raksa menatap dengan sorot mata yang menyala. “Sejak kapan engkau berani memberikan senyum kepada Arya?” katanya dengan nada menahan amarah.

Puspa bergetar, menundukkan wajah. “Ampun, Kanjeng Raden... hamba tiada maksud...” Namun Raksa tak membiarkannya menyelesaikan kata. Tangannya merengkuh pinggang Puspa, mendekatkannya hingga jarak di antara mereka begitu rapat. “Engkau milikku, Puspa,” bisiknya, hampir seperti desahan. “Tiada seorang pun boleh membuatmu tersenyum kecuali aku.” Puspa menahan napas, wajahnya pucat. Ketika Raksa mendekatkan wajahnya lalu mengulum rakus bibir Puspa, gadis itu melawan dengan mendorong serta memukul dadanya tapi kekuatannya jauh dari Raden Raksa hingga tiba-tiba naluri ketakutan membuat tangan Puspa bergerak spontan. Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi Raksa.

Hening sejenak. Puspa terkejut oleh tindakannya sendiri, tubuhnya gemetar. Ia menduga Raksa akan murka. Namun justru bibir Raksa perlahan melengkungkan senyum tipis—sebuah senyum yang lebih menyeramkan daripada amarah.

“Ah... bahkan kemarahanmu pun indah,” katanya dengan nada meremehkan. “Semakin engkau melawan, semakin aku ingin menaklukkanmu, Puspa.”

Puspa tak sanggup lagi menahan tangis. Ia melepaskan genggaman Raksa dengan sisa tenaga, lalu berlari meninggalkan taman dengan langkah terburu. Gaunnya berkibar, hatinya diliputi rasa takut dan ngeri. Raksa berdiri mematung, mengusap pipinya yang masih terasa hangat oleh tamparan. Namun senyum tipis tak juga hilang dari wajahnya. Sorot matanya menandakan satu hal—ia semakin yakin takkan melepaskan Puspa begitu saja.

***

Malam itu, ketika cahaya lampu minyak menerangi setiap sudut istana, Putri Dyah duduk termenung di pasren. Ia memikirkan semua yang terjadi ancaman dari perbatasan, intrik keluarga, dan racun yang diam-diam mengintai permaisuri. nyi Ratna duduk di sebelahnya, masih mencoba menenangkan hati.

“Gusti… aku merasa semua ini terlalu berat,” bisik nyi. Ratna. “Seakan bayangan gelap mengepung kita dari segala sisi.” Putri Dyah menarik napas panjang, menatap jauh ke arah cahaya lampu yang berkelip. “Benar, nyi. Kita harus tetap waspada. Namun kita juga harus kuat. Sekuat apapun badai yang datang, kita tidak boleh menyerah. Selama kita bersatu, Samudra Jaya masih bisa bertahan.” Di luar balairung, Raksa menatap ke arah istana dari balik jendela. Senyumnya mengembang, tapi matanya menyimpan rencana yang jauh lebih besar daripada yang terlihat oleh Arya maupun Putri Dyah. Ambisinya, yang kini mulai menyatu dengan rasa iri dan dendam lama, menunggu saat yang tepat untuk meledak.

Malam itu menutup hari dengan nuansa tegang, Samudra Jaya seakan berdiri di ambang badai. Setiap langkah, setiap keputusan, kini menentukan nasib kerajaan, keluarga, dan orang-orang yang dicintai. Bayangan gelap tidak lagi sekadar ancaman—mereka telah menjadi bagian dari kehidupan yang harus dijaga dengan waspada.

1
Yuuko Ichihara
Tersentuh banget dengan kisah ini.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
kokichi.oma.panta
Wuihh! Simpel tapi menghibur banget ni novel.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!