NovelToon NovelToon
Pengganti Yang Mengisi Hati

Pengganti Yang Mengisi Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengantin Pengganti / Pengganti / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Tukar Pasangan
Popularitas:481
Nilai: 5
Nama Author: Vanesa Fidelika

Seharusnya hari itu jadi momen terindah bagi Tiny—gaun putih sudah terpakai, tamu sudah hadir, dan akad tinggal menunggu hitungan menit.
Tapi calon pengantin pria... justru menghilang tanpa kabar.

Di tengah keheningan yang mencekam, sang ayah mengusulkan sesuatu yang tak masuk akal: Xion—seseorang yang tak pernah Tiny bayangkan—diminta menggantikan posisi di pelaminan.

Akankah pernikahan darurat ini membawa luka yang lebih dalam, atau justru jalan takdir yang diam-diam mengisi hatinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanesa Fidelika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14: Rumah Dan Status Baru

Xion diam. Pandangannya terpaku ke wajah Tiny yang kini pura-pura sibuk membuka tutup botol. Tak ada yang aneh sebenarnya. Tapi kata-kata itu…

“Minum bekas kamu.”

Kalimat sederhana—tapi cukup membuat otaknya nge-lag satu detik.

Bukan karena jijik. Tapi karena... itu terdengar dekat. Terlalu dekat untuk dua orang yang menikah tanpa cinta.

Xion mengangguk pelan. “Oke. Kalau kamu nggak keberatan.”

Tiny menjawab dengan senyum. Lalu meneguk air itu, pelan, tapi pasti. Dan setelahnya, matanya melirik ke arah Xion, yang sekarang tampak… kikuk.

Kikuk? Xion?

Tiny menahan tawa dalam hati. Kali ini, saltingnya bukan sepihak.

Giliran dia, batinnya puas.

°°°°

Mereka sudah sampai di depan rumah Xion.

Bukan kost. Bukan kontrakan. Tapi rumah milik Xion sendiri—meskipun mungil, sederhana, dan jauh dari kata mewah.

Xion turun lebih dulu. Dengan tenang, ia membuka pintu dua daun itu. Suara engselnya berdecit ringan.

“Masuk aja,” ucapnya santai sambil berjalan ke arah bagasi, “aku mau angkat koper.”

Tiny mengangguk cepat. Ia sudah membawa tas kecil dan perlengkapan-nya sendiri, jadi urusan berat-berat biar Xion saja.

Tapi anehnya… dia tidak langsung masuk. Langkahnya terhenti di ambang pintu.

Matanya mengitari bagian dalam rumah. Ruang tamu mungil. Dinding krem polos. Rak buku kecil di pojok.

Dan… aroma khas rumah yang tak dikenal, tapi mulai terasa sebagai “rumah sendiri”.

Ia berdiri diam. Menunggu.

Xion kembali dengan dua koper besar di kedua tangan. Matanya langsung tertumbuk pada sosok Tiny yang masih berdiri di sana.

Alisnya naik sedikit. “Kenapa nggak masuk?”

Tiny menggaruk tengkuk pelan. “Nunggu kamu aja.” Suara cemprengnya terdengar sedikit malu.

Xion mengangguk kecil. Lalu berkata, “Koper ini aku letak di depan pintu dulu, ya. Masih ada satu lagi di bagasi.”

Ia melengos ke arah bagasi, lalu melirik Tiny. “Kamu duduk aja di dalam.”

Tiny akhirnya mengangguk pelan. Melangkah masuk. Pelan-pelan. Seperti seseorang yang baru pindah ke dunia baru.

Ia duduk di sofa abu-abu kecil di ruang tamu. Rapi. Bersih. Tapi aura laki-lakinya terasa jelas.

Tak banyak dekorasi. Tak ada bantal lucu. Tak ada pot bunga hias.

Hanya rumah. Tapi rumah milik pria yang sekarang jadi suaminya.

Di sisi lain, Xion berhenti sejenak di ambang pintu luar sebelum menaruh koper ketiga di dalam.

Ia menghela napas panjang.

Terakhir kali ia berdiri di tempat ini… Statusnya masih lajang.

Dan sekarang, saat pintu itu kembali terbuka untuknya—dia kembali sebagai suami.

Perubahan itu diam-diam terasa besar. Bukan hanya soal ada orang baru di rumah. Tapi soal tanggung jawab baru, ritme baru, dan… kemungkinan baru yang belum pernah ia pikirkan.

Matanya mengarah pada ruang tamu. Tiny sedang melihat-lihat interior rumah sambil menahan komentar.

Tak berkata apa-apa. Tapi ekspresinya cukup mewakili: rumah ini butuh sentuhan perempuan.

Xion meletakkan koper terakhir di sisi dinding, lalu berdiri tegak menghadap Tiny yang masih duduk di sofa.

“Tiny,” ucapnya pelan.

Tiny yang sedang melihat-lihat susunan buku di rak kecil itu menoleh cepat. “Hm?”

“Kamu tunggu di sini bentar, ya. Aku mau urus sesuatu.”

Tiny mengernyit sedikit. “Urus apa?”

“Ngurus soal nikahan kita ke RT. Biar warga sini tau kamu istri aku yang sah.” Nada suaranya masih datar. Tapi ada kesan serius di situ.

Tiny diam beberapa detik. Lalu akhirnya mengangguk. “Oh… iya, bener juga.”

Ia baru sadar. Mereka menikah mendadak. Tanpa undangan. Tanpa resepsi. Dan jelas… tanpa kabar ke tetangga.

Padahal ini rumah pribadi, bukan kos yang bebas keluar masuk. Dan ia perempuan. Masih muda. Tiba-tiba tinggal di rumah laki-laki.

Warga bisa salah paham. Dan Tiny tahu, dunia tidak selalu ramah pada perempuan kalau sudah soal praduga.

Xion mengambil map kecil dari rak dekat meja makan, lalu memakai sandal. Sebelum keluar, ia sempat melirik lagi ke arah Tiny. “Kalau kamu haus, di dapur ada air. Kalau butuh apa-apa, tinggal telpon aja. Rumah ini aman. Tetangga juga baik-baik.”

Tiny mengangguk pelan, menyambut perhatian Xion dalam bentuk paling Xion: to the point, tapi niat.

Setelah Xion keluar, rumah itu kembali sunyi. Tapi tidak sesepi tadi.

Tiny berdiri pelan, lalu berjalan pelan ke arah jendela. Tirainya tipis, membiarkan cahaya masuk samar-samar.

Ia mengintip ke luar. Melihat Xion yang sedang berjalan menyusuri gang kecil menuju rumah RT.

Langkahnya kalem. Bahkan dari belakang pun, Tiny merasa... tenang melihatnya.

Ia kembali duduk. Lalu tersenyum tipis, menggumam pelan, “Dia serius banget ya…”

Lalu tertawa kecil—sambil memeluk bantal sofa satu-satunya di ruangan itu. Bantal keras, kaku, dan polos.

Seperti pemilik rumahnya.

Tiny memandangi bantal keras yang sedang ia peluk. Sudut bibirnya naik. “Bantalnya aja pendiam,” gumamnya.

Tangannya mulai membolak-balik bantal itu. Tak ada motif. Tak ada hiasan. Bahkan warnanya pun abu abu seperti sofa.

“Rumah cowok banget,” lanjutnya, nada suaranya pelan tapi geli sendiri.

Ia berdiri lagi. Melangkah kecil sambil menelusuri ruang tamu itu. Sekarang matanya mulai lebih terbuka pada detail. Ada rak sepatu yang sangat tertata—isi sepatu Cuma empat pasang. Dua di antaranya sepatu formal.

Tiny mengerutkan kening. “Hidupnya teratur banget.”

Ia berjalan ke arah dapur. Membuka kulkas kecil satu pintu. Kosong.

Air mineral satu galon penuh di dispenser. Tapi bagian makanan? Hampir nihil. Cuma ada telur, sisa saus sambal, dan tiga tahu.

Tiny mengangguk-angguk sendiri. “Oke… ini artinya aku harus belanja.”

Lalu matanya menoleh ke rak atas. Ada beberapa kotak bumbu instan. Dan—yang membuatnya tertawa—mie instan rasa kari ayam dan soto.

“Ini sih cowok banget…” ujarnya sambil menutup kulkas.

Ia lalu membuka lemari kecil di bawah wastafel. Ada beberapa lap pel, cairan pembersih, dan… satu kotak kecil berisi peralatan rumah. Obeng. Palu. Selotip.

Tiny memegang kotak itu sebentar, lalu mengangguk mantap. “Suami aku beneran niat hidup sendiri, ya,” katanya sambil meletakkannya kembali.

Tak terasa, lima belas menit sudah berlalu. Tiny duduk kembali di sofa. Kali ini berselonjor santai.

Pintu rumah terbuka perlahan. Tiny menoleh cepat, refleks merapikan duduknya—padahal tak ada yang perlu dibereskan.

Xion masuk. Pelipisnya sedikit berkeringat, mungkin karena matahari siang yang masih terik. Kemejanya tak terlalu kusut, tapi jelas menunjukkan ia berjalan cepat.

Dan kacamata itu... hampir turun dari batang hidungnya.

Dengan satu gerakan khas—satu tangan naik ke tengah hidung, Xion membenarkannya perlahan. Gerakan itu... terlalu elegan untuk sekadar membenarkan kacamata.

Tiny terpaku sepersekian detik. Jujur saja—itu keren.

“Kamu ngapain aja?” tanya Xion santai, meletakkan map di meja.

Tiny langsung bangkit. “Keliling rumahmu. Nggak banyak sih, tapi... aku udah hafal isi kulkas kamu.”

Xion tersenyum tipis, lalu menanggapi, “Tadi kata Pak RT… nggak nyangka aja aku nikah.”

Tiny menaikkan alis, menyender ke dinding sambil menyilangkan tangan. “Nggak nyangka karena kamu pendiam? Atau karena kamu kelihatan kayak… nggak niat hidup romantis?”

“Mungkin dua-duanya.”

Xion berjalan pelan ke dispenser, menuang air putih ke gelas, lalu minum seteguk. “Terus beliau juga nanya… ‘Kapan adain nikahan di sini?’”

Tiny membulatkan mata. “Lho… maksudnya resepsi?”

Xion mengangguk ringan, meletakkan gelas ke meja. “Iya. Soalnya kemarin kita nikahnya kan bukan di Jakarta. Jadi warga sini nggak ada yang tahu.”

Tiny terdiam sebentar, lalu duduk di sandaran sofa. “Terus kamu jawab apa?”

Xion menarik napas. “Aku bilang, belum tahu. Soalnya kita juga masih adaptasi.”

Tiny mengangguk pelan. Ia juga belum siap membayangkan berdiri di depan pelaminan, pakai kebaya, salaman dengan puluhan orang asing yang tiba-tiba memanggil ‘Bu Xion’.

Xion duduk di pinggiran sofa, mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Ngomong-ngomong…” katanya pelan, “…aku lupa bilang sesuatu dari tadi.”

Tiny yang sedang membuka pouch-nya untuk mencari hand cream menoleh cepat. “Apa?”

“Kamar di rumah ini Cuma satu.”

1
Arisu75
Alur yang menarik
Vanesa Fidelika: makasih kak..

btw, ada novel tentang Rez Layla dan Gery Alicia lho..

bisa cek di..
Senyum dibalik masa depan, Fizz*novel
Potret yang mengubah segalanya, wat*pad
total 1 replies
Aiko
Gak bisa dijelaskan dengan kata-kata betapa keren penulisan cerita ini, continue the good work!
Vanesa Fidelika: aa seneng banget..makasih udah mau mampir kak. hehe

btw ada kisah Rez Layla dan juga Gery Alicia kok. silakan mampir kalau ada waktu..

Senyum Dibalik Masa Depan👉Fi*zonovel
Potret Yang Mengubah Segalanya👉Wat*pad
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!