Kau sewa aku, Kudapatkan cintamu
Semua berawal dari selembar kertas perjanjian.
Ia hanya butuh uang, dan pria itu hanya butuh istri… meski sementara.
Dengan tebusan mahar fantastis, mereka terikat dalam sebuah **pernikahan kontrak**, tanpa cinta, tanpa janji, hanya batas waktu yang jelas. Namun, semakin hari, batas itu mulai kabur. Senyum kecil, perhatian sederhana, hingga rasa yang tak pernah mereka rencanakan… pelan-pelan tumbuh menjadi sesuatu yang tak bisa disangkal.
Penasaran dengan kisahnya? Yuk ikuti ceritanya...
jangan lupa kasih dukungannya ya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part. 8- KSA, KDC
Langkah Keira terasa berat saat keluar dari kampus. Suara mahasiswa yang bercakap-cakap di sekelilingnya pun nyaris tak terdengar.
Hanya satu kalimat yang terus terngiang di kepalanya. "Aku bisa pastikan kamu masuk universitas. Semua biaya aku yang tanggung. Sampai lulus."
Keira menggenggam erat tali tasnya, sementara wajahnya semakin menunduk. Hatinya berperang antara marah pada dirinya sendiri dan takut pada keputusan yang harus diambil.
Sesampainya di rumah, ia mendapati bibinya sibuk mencuci piring, dengan wajah yang tampak lelah. Sedangkan pamannya duduk di kursi ruang tamu, termenung dengan kertas koran berisi lowongan kerja yang sudah lusuh.
Keira menatap keduanya dari ambang pintu. Hatinya terasa perih. Ia tau, mereka memang sedang kesulitan. Dan dirinya… hanya menambah beban.
**
Malam itu Keira tidak bisa tidur. Ia duduk di ranjang, di terangi lampu kecil di meja belajar yang masih menyala. Cincin di jarinya pun berkilauan terkena cahaya lampu tersebut.
“Cincin ini… awal mula semuanya. Kalau aku pakai ini, mungkin aku akan punya hidup baru. Tapi… apa aku siap?” bisiknya lirih.
Air matanya pun menetes. Ia lalu teringat kedua orang tuanya. "Ayah, ibu… kalau kalian masih ada, pasti aku nggak akan segalau ini."
Ia lalu memeluk lututnya, bergelut dengan pikiran, sampai menjelang fajar.
____
_________
Keesokan harinya, Keira keluar rumah lebih pagi dari biasanya. Bukannya mencari pekerjaan atau bekerja paruh waktu lain, tapi ke kampus.
Dengan langkah ragu, ia memasuki area kampus dan kembali mencari ruang dosen Arga. Saat pintu terbuka, Arga menatapnya dengan ekspresi datar. “Kamu lagi?”
Keira menarik napas panjang, dan langsung menatap mata Arga. Wajahnya tegas meski ada sedikit getaran dalam suaranya. “Aku… sudah pikirkan tawaranmu.”
Arga mengangkat alisnya dan menunggu.
Keira menggenggam tangannya erat-erat, lalu berkata, “Aku setuju.”
"Kamu yakin?”
“Ya. Aku mau kuliah. Aku mau punya masa depan. Dan kalau syaratnya menikah denganmu… aku akan lakukan.”
Sudut bibir Arga terangkat tipis, sebuah senyuman samar yang sulit ditebak artinya. “Baiklah, Keira. Mulai sekarang… hidupmu tidak akan sama lagi.”
**
Beberapa hari setelah Keira menyatakan setuju, ia kembali dipanggil oleh Arga. Kali ini bukan di kampus, melainkan di sebuah kafe tenang yang berkelas, jauh dari hiruk pikuk mahasiswa.
Keira datang dengan perasaan campur aduk. Ia mengenakan blouse sederhana dan celana jeans, jelas berbeda dengan para pengunjung lain yang berpakaian elegan.
Tangannya terasa dingin, jantungnya pun berpacu dengan cepat. "Apa aku salah baju? Ah gak taulah, ribet!," Gumamnya.
Sementara itu, Arga sudah duduk di sudut ruangan, ditemani seorang pria paruh baya berkacamata yang tampak profesional. Di meja mereka, sudah ada map hitam yang tebal.
Glek!! “Apa-apaan ini?” tanya Keira sambil mendekat.
Melihat kehadiran Keira, Arga pun berdiri sebentar, lalu memberi isyarat agar Keira duduk. “Ini—perjanjian pra-nikah.”
“P-pra-nikah?” Keira terbelalak, lalu menatap map itu yang seolah berisi bom.
Pria berkacamata itu menunduk singkat, memberi salam sopan pada Keira. “Saya pengacara keluarga Pak Arga. Tugas saya menyiapkan kontrak agar semuanya jelas dan legal.”
Keira langsung menoleh cepat ke arah Arga. “Kontrak? Jadi aku ini… beneran kayak barang dagangan, ya?”
“Tidak. Justru ini untuk melindungi kamu," Jawab Arga tetap tenang.
“Melindungi aku… dari apa?” balas Keira seraya menahan napasnya.
Arga mengambil map di meja, lalu membukanya. “Dengar baik-baik. Di sini tertulis, aku akan membiayai kuliahmu sampai lulus, semua kebutuhan hidupmu, dan memberikan uang tunai sebagai jaminan.”
Mata Keira langsung melebar. “Uang tunai?”
“Ya. Jumlahnya tidak sedikit,” jawab Arga datar. “Sebagai tebusan. Supaya kau tidak merasa dirugikan.”
Keira tertegun. Dadanya berdebar tak karuan. Hatinya ingin menolak keras, tapi pikirannya tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa uang itu bisa mengubah hidupnya.
“Sebagai gantinya, kamu setuju menikah denganku dalam waktu dekat. Tidak ada hak atau kewajiban romantis yang harus kamu lakukan. Pernikahan ini… hanya formalitas,” tutur Arga.
Keira meremas roknya. “Formalitas? Jadi… aku ini hanya tamengmu?”
“Katakan saja begitu. Aku butuh pernikahan untuk menenangkan keluargaku. Kamu butuh masa depan. Ini win-win.”
Keira menggigit bibirnya, lalu melirik pengacara itu yang tetap duduk tenang seolah semua ini biasa saja.
“Jadi… kalau aku tanda tangan… semua ini akan langsung berlaku?” tanya Keira pelan.
“Ya,” jawab Arga. “Dan kamu akan segera menjadi istriku.”
Keira terpaku, tatapannya jatuh pada tumpukan kertas itu. Kata-kata Arga menggema di kepalanya.
Menjadi istriku...
Menjadi istriku...
Menjadi istriku...
BERSAMBUNG...
