Seorang gadis remaja yang kini duduk di bangku menengah atas. Ia bernama Rona Rosalie putri bungsu dari Aris Ronaldy seorang presdir di sebuah perusahaan ternama. Rona memiliki seorang kakak lelaki yang kini sedang mengenyam pendidikan S1 nya di Singapore. Dia adalah anak piatu, ibunya bernama Rosalie telah meninggal saat melahirkan dirinya.
Rona terkenal karena kecantikan dan kepintarannya, namun ia juga gadis yang nakal. Karena kenakalan nya, sang ayah sering mendapatkan surat peringatan dari sekolah sang putri. Kenakalan Rona, dikarenakan ia sering merasa kesepian dan kurang figur seorang ibu, hanya ada neneknya yang selalu menemaninya.
Rona hanya memiliki tiga orang teman, dan satu sahabat lelaki somplak bernama Samudra, dan biasa di panggil Sam. Mereka berdua sering bertengkar, namun mudah untuk akur kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosseroo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepulangan yang di tunggu
Pesawat Rona baru saja mendarat di bandara. Ia berjalan sambil menarik koper, tak menyangka di pintu kedatangan ada sosok yang sangat familiar berdiri dengan tangan terlipat.
“Samudra?” Rona mengerutkan kening.
Cowok itu pura-pura cuek, “Hmph, lama banget sih perginya. Tau nggak lapangan basket jadi sepi gara-gara gak ada kamu.”
Rona melotot, “Ya ampun, elo rela jauh-jauh ke bandara cuma buat ngomel?”
Samudra mengangkat sebuah kantong kertas kecil, lalu menyodorkannya. “Ini, oleh-oleh spesial: bola basket mini edisi terbatas. Biar kalo kamu lagi jauh, aku tetap inget kita pernah mabar basket.”
Rona terdiam. Pipinya memanas. Ia cepat-cepat meraih hadiah itu, menunduk untuk menutupi senyum.
“…Loe aneh, Sam.”
Samudra menatapnya lembut, “Ya, aneh. Tapi cuma sama kamu.”
Rona sungguh tak habis pikir, apa yang membuat sahabat somplaknya itu berubah haluan. Pernah terbesit di pikir nya, apakah kepala samudra terbentur pohon nangka, ataukah jatuh nyungsep dari ranjangnya.
***
Hari pertama Rona masuk sekolah setelah pulang dari Singapura, mobil alphard hitam memasuki gerbang, suasana kelas langsung ramai. Banyak teman menyambutnya, dan tentu saja, Samudra sudah menunggunya disana.
Namun, tidak semua orang senang. Erina memperhatikan dengan tatapan penuh benci.
“Lihat tuh, kaya yang paling cantik aja. Sok kecakepan deh.” gumamnya pada temannya, saat Rona berjalan melewati nya.
"Duh, gue berasa denger bisik bisik jin ifrit disini, eh ternyata ada komplotan nya. Ya iya sih, gue emang cantik, cakep, berkarisma, banyak yang suka. Jadi bikin panas iya kan. haha." sombongnya dengan mengibaskan rambutnya ke belakang. Rona sengaja menjawab dengan angkuh, agar Erina semakin kebakaran jenggot.
Di jam istirahat, Rona dan Samudra latihan basket seperti biasa. Mereka tertawa lepas saat Samudra pura-pura kalah duel bola. Dari tribun, beberapa fansgirl Samudra mulai bergumam iri, begitu juga fansboy Rona. Suasana makin panas.
Erina yang menyaksikan dari bangku tribun menggenggam botol minumnya erat-erat, kala ia melihat Steve sudah bertengger disana menatap rona dengan tatapan memuja.
“Kalau begini terus, nggak ada yang bisa ngalahin dia. Gue harus bikin Rona jatuh pamor… biar semua orang lihat dia nggak sesempurna itu.”
Senyum licik pun muncul di wajah Erina, pertanda badai baru akan datang.
Suasana kantin siang itu ramai, tapi meja pojok dekat jendela hanya dihuni Rona dan temannya, mereka sibuk saling meledek.
“Na, kamu tau nggak?” Samudra berkata sambil menyendok sup.
“Apa lagi? Jangan bilang mau gombal norak kayak kemarin.”
Samudra tersenyum, “Aku cuma mau bilang… kalau makan bareng kamu, rasanya kayak lagi final match. Tegang tapi nagih.”
Sontak kata kata yang terlontar dari Samudra membuat Mely, Rita dan Cika terbatuk, dan berdehem.
Rona langsung menepuk dahi Sam dengan sendok, “Astaga, Sam… bisa nggak sih sehari aja nggak bikin aku mual?”
“Bisa,” jawabnya cepat.
Rona mengangkat alis, “Oh ya?”
Samudra mencondongkan badan sedikit, “Tapi aku nggak mau. Soalnya bikin kamu bete itu hobiku.”
"Kalian tuh lucu, kaya tom and jerry." celetuk Mely.
"Eh, Sam loe kalau suka bilang aja sih, gak perlu muter muter gombalnya." sanggah Cika.
"Iya, pake main tebak tebakan gombalan, dikira peserta ajang mencari cinta kali." tambah Rita.
Rona terdiam sepersekian detik, lalu tertawa keras. Beberapa murid di sekitar mereka melirik iri melihat keakraban itu.
Tak cukup sampai di situ, sepulang sekolah mereka langsung ke lapangan basket. Rona berusaha merebut bola, tapi Samudra dengan sengaja membiarkan dirinya kalah.
“Sam! Jangan pura-pura bego! Mainnya bener dong!” protes Rona.
Samudra tertawa sambil mengangkat tangan, “Kalau kalah sama kamu, aku seneng kok. Nggak ada ruginya.”
Rona menendang ringan kakinya, “Ih, ngeselin banget!” tapi senyum tipis di wajahnya tidak bisa disembunyikan.
Dari tribun, banyak pasang mata yang menyaksikan dengan iri, termasuk Erina dan Steve yang tak pernah lepas senyum.
Erina meremas buku catatannya sambil menahan emosi. Melihat Rona bahagia, hatinya mendidih.
“Cukup. Aku nggak akan tinggal diam,” bisiknya.
Keesokan harinya, rumor mulai beredar di lorong sekolah. Ada bisik-bisik yang menyebut Rona dekat dengan banyak cowok, bahkan memanfaatkan Samudra untuk popularitasnya.
Rona yang mendengarnya langsung mendengus, “Hah? Apa-apaan sih ini? Dari mana lagi gosip murahan kayak gini?”
Samudra menatapnya serius, “Biarin aja, Na. Orang bisa ngomong apa aja. Yang penting aku tau kamu nggak kayak gitu.”
Rona terdiam sejenak, hatinya hangat, tapi sekaligus kesal. Ia tahu, ada seseorang yang sengaja menebar gosip ini. Dan hanya satu nama yang muncul di kepalanya: Erina.
Di sebuah perpustakaan, rona sedang mencoba menenangkan diri dengan membaca buku, namun ketenangan nya terganggu karena kedatangan Steve beserta teman temannya.
"Ngapain loe kesini, gue lagi nggak mau ribut. Disini di larang ribut!"
"Na, aku tahu kok yang sengaja bikin gosip murahan itu Erina. maafin aku ya, dia cemburu karena aku ngejar kamu."
"Ck nggak penting juga penjelasan dari elo itu. Makanya, udah tahu dia cemburu, harusnya jauh jauh loe dari gue. Bikin risih!"
"Aku akan bantu benerin nama kamu Na." ucapnya, mencoba menggenggam tangan Rona namun langsung di tepis olehnya.
"Pergi loe, muak gue lihat muka loe!" desisnya, Rona terpaksa berdiri untuk meninggalkan tempat itu, namun di jegal oleh teman teman Steve.
"Steve, gue mau balik ke kelas. Paham gak sih!!" desisnya menahan amarah. "Kasih aku satu senyuman dulu."
"Stress emang loe!" geram Rona, lalu menimpuk wajah Sam dengan buku yang ia bawa dan mendorong teman teman Steve di depannya.
"Semakin garang, semakin membuat ku gila." lirih Steve, saat melihat punggung Rona menjauh pergi.
Suasana lorong sekolah mendadak senyap ketika Rona melangkah dengan tatapan tajam. Di tangannya, ia masih menggenggam kertas coretan gosip murahan yang menyebut dirinya “cewek haus perhatian.” Pandangan matanya langsung terhenti pada satu orang—Erina.
Rona menghampirinya tanpa ragu. Semua siswa yang melihat langsung menyingkir, tahu akan ada “pertarungan kata” yang tak bisa dihindari.
“Erina,” suara Rona terdengar dingin, menusuk. “Gue nggak butuh detektif untuk tau siapa dalang semua gosip murahan ini.”
Erina terperanjat sejenak, lalu mencoba tersenyum sinis.
“Gue nggak tau loe ngomong apa. Jangan asal nuduh kalau nggak ada bukti.”
Rona menatapnya lebih dekat, hampir tanpa jarak.
“Bukti? Gue bahkan tau alasan di balik semua ini. Loe cinta mati sama Steve, kan? Dan masalahnya… dia justru ngejar gue, bukan loe.”
Wajah Erina seketika memerah, antara malu dan marah.
“Jangan sok suci, Rona! Kamu cuma bikin orang terpesona dengan wajah manismu, padahal—”
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Rona mengangkat tangannya, mencengkeram dagu Erina.
“Cukup. Dengar baik-baik. Gue nggak pernah minta Steve ngejar gue. Dan gue juga nggak pernah takut sama ancaman kayak modelan elo. Jadi mulai sekarang, berhenti main kotor. Karena gue janji, kalau elo masih berani sentuh nama baik gue, gue akan buktikan… kekuasaan yang gue punya jauh lebih besar dari sekadar gosip murahan.”
Nada suara Rona begitu tegas dan penuh wibawa. Lorong sekolah hening, hanya terdengar detak jantung para siswa yang menonton.
Erina terdiam, matanya bergetar menahan rasa takut meski bibirnya masih berusaha menunjukkan perlawanan.
“Kita lihat aja, Rona. Gue nggak akan kalah semudah itu.”
Rona menatapnya sekilas, lalu berbalik pergi dengan langkah tegap. Semua orang yang menyaksikan tak bisa menutupi rasa kagum pada keberaniannya.
Peka dikit
terimakasih sudah di promosikan
Dah terima saja Rona