Di tengah hiruk pikuk kota modern Silverhaven, Jay Valerius menjalani hidupnya sebagai seorang menantu yang dipandang sebelah mata. Bagi keluarga Tremaine, ia adalah suami tak berguna bagi putri mereka Elara. Seorang pria tanpa pekerjaan dan ambisi yang nasibnya hanya menumpang hidup.
Namun, di balik penampilannya yang biasa, Jay menyimpan rahasia warisan keluarganya yang telah berusia ribuan tahun: Cincin Valerius. Artefak misterius ini bukanlah benda sihir, melainkan sebuah arsip kuno yang memberinya akses instan ke seluruh pengetahuan dan keahlian para leluhurnya mulai dari tabib jenius, ahli strategi perang, hingga pakar keuangan ulung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Truk Tua dan Jejak yang Hilang
Pagi berikutnya, fajar baru seolah membawa energi yang berbeda ke dalam rumah Tremaine. Keputusasaan telah digantikan oleh ketegangan yang penuh harap. Bastian Tremaine, yang semalam tampak seperti pria yang kalah, kini bergerak dengan tujuan. Ia sudah menghabiskan waktu sejak subuh di telepon, mengurus dokumen awal untuk pengajuan tender.
"Jay, Elara, ayo berangkat," katanya tegas setelah menutup telepon terakhir. Tidak ada lagi nada meremehkan saat ia memanggil nama Jay. Yang ada hanyalah nada seorang komandan yang memanggil ahli strateginya.
Mereka bertiga masuk ke dalam mobil. Bastian yang menyetir, dengan Jay di sampingnya dan Elara di kursi belakang. Perjalanan itu membawa mereka ke pinggiran kota Silverhaven, ke sebuah kawasan industri tua yang tampak terlupakan oleh waktu. Pabrik-pabrik berkarat dan gudang-gudang kosong berjejer di sepanjang jalan yang retak.
"Kau yakin ini tempatnya, Jay?" tanya Bastian, skeptisismenya mulai kembali saat melihat lingkungan yang kumuh itu.
Jay hanya menunjuk ke sebuah plang nama yang hampir copot. "Jaya Teknik."
Bengkel itu persis seperti yang digambarkan Jay: tua, sepi, dan di ambang kebangkrutan. Tumpukan suku cadang bekas menggunung di halaman. Seorang pria tua kurus dengan kemeja flanel kumal keluar dari bawah sebuah truk rongsokan, mengelap tangannya yang berlumuran oli.
"Bisa dibantu, Pak?" tanyanya dengan nada lesu.
"Kami mencari Pak Tarno," kata Bastian.
"Saya sendiri," jawab pria itu.
"Kami dengar Anda punya beberapa kepala truk low-bed bekas untuk dijual," lanjut Bastian langsung ke intinya.
Mata Pak Tarno yang tadinya sayu, kini berbinar dengan campuran rasa bangga dan sedih. "Ah... si 'Raksasa Tidur'. Sudah lama tidak ada yang menanyakannya. Mari, ikut saya."
Ia membawa mereka ke bagian belakang bengkel, ke sebuah garasi besar yang tertutup terpal biru raksasa. Dengan sedikit susah payah, ia menarik terpal itu.
Ketika kain itu jatuh ke tanah, Bastian Tremaine menahan napas.
Di hadapannya, tertidur di bawah lapisan debu tebal, berdiri tiga kepala truk raksasa. Bukan truk biasa. Desainnya kokoh, garang, dengan ban yang lebih besar dari manusia dewasa. Meskipun tua dan sedikit berkarat, aura kekuatan mentah terpancar dari mesin-mesin itu.
"Ini..." bisik Bastian, seorang veteran dunia logistik. Ia berjalan mendekat, menyentuh bemper baja tebal salah satu truk. "Ini Foden-MAN. Seri militer dari Jerman Timur. Bagaimana bisa benda ini ada di Silverhaven?"
"Saya membelinya dari lelang surplus militer bertahun-tahun lalu," jelas Pak Tarno. "Berharap suatu hari ada proyek pertambangan besar. Tapi proyek itu tidak pernah datang."
Sementara Bastian terpesona oleh kekuatan kasar truk itu, Jay berjalan mengitarinya dengan tatapan seorang ahli. Ia menepuk salah satu ban, memeriksa sasis, lalu membuka kap mesin yang berat. Ia mengintip ke dalam jeroan mesin yang rumit.
"Turbo-intercooler V8-nya masih bagus," kata Jay tiba-tiba. Suaranya terdengar sangat yakin. "Tapi sistem hidrolik suspensinya pasti sudah lemah. Pak Tarno, apa pompa hidrolik merk ZF dan set katupnya yang asli masih Anda simpan?"
Pak Tarno, yang sedang menjelaskan sesuatu pada Bastian, berhenti bicara. Ia memutar kepalanya perlahan, menatap Jay dengan mulut ternganga.
"Bagaimana... bagaimana Anda tahu... anak muda?" tanyanya tergagap. "Tidak ada yang tahu spesifikasi detail mesin ini selain saya. Bahkan manualnya pun ditulis dalam bahasa Jerman."
Elara, yang berdiri di belakang, menutup mulutnya menahan keterkejutan. Ayahnya membeku, menatap menantunya seolah ia adalah hantu. Jay tidak hanya tahu tentang keberadaan truk ini; ia tahu persis isi di dalam mesinnya.
Jay hanya tersenyum tipis. "Hanya menebak."
Tebakan itu sudah cukup untuk melenyapkan sisa keraguan terakhir di hati Bastian. Ia segera berbalik ke Pak Tarno. Setelah negosiasi singkat namun alot—yang dimenangkan Bastian karena ia tahu Pak Tarno sangat butuh uang—mereka berhasil membeli ketiga truk itu dengan harga yang sangat murah, hanya sepersepuluh dari nilai pasaran sebenarnya.
Saat kembali ke dalam mobil, suasana terasa sangat berbeda. Harapan itu kini terasa nyata. Mukjizat pertama dari rencana Jay telah terbukti.
Bastian menatap jalanan di depan, tetapi pikirannya tertuju pada pria muda misterius di sampingnya. Ia tidak lagi melihatnya sebagai menantu. Ia melihatnya sebagai sebuah senjata rahasia, sebuah kunci keberuntungan yang ia tidak tahu mengapa bisa jatuh ke tangannya.
Ia memutar kemudi, mobil itu kini mengarah ke luar kota, menuju perbukitan hijau yang di kejauhan berubah menjadi siluet pegunungan yang tampak angker.
"Baiklah, Jay," kata Bastian, suaranya dipenuhi energi yang sudah lama hilang. "Truk sudah beres. Sekarang, tunjukkan pada kami jalur penebang kayu sialan itu."
Mobil itu melaju, meninggalkan kawasan industri yang sekarat di belakang, menuju jantung Gunung Hantu.