Bagi Luna, Senja hanyalah adik tiri yang pantas disakiti.
Tapi di mata Samudra, Senja adalah cahaya yang tak bisa ia abaikan.
Lalu, siapa yang akan memenangkan hati sang suami? istri sahnya, atau adik tiri yang seharusnya ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 – Saat Sakit, Saat Terlupakan
Senja sudah terbiasa dengan suasana rumah besar itu. Sunyi. Terlalu sunyi, meski penghuninya sebenarnya lebih dari dua orang. Ia baru saja selesai melipat cucian di ruang belakang ketika suara mobil terdengar berhenti di halaman. Dari arah jendela, ia bisa melihat lampu mobil Samudra yang baru saja masuk garasi.
Ada sesuatu yang berbeda. Biasanya, setiap kali Samudra pulang kerja, ia tampak gagah dan berwibawa dengan jas rapi serta langkah penuh percaya diri. Tapi sore itu, ketika pintu mobil terbuka, tubuh pria itu tampak lunglai. Ia berjalan perlahan, tangannya memegang kepala, wajahnya pucat pasi.
Senja buru-buru berlari ke arah pintu, pura-pura baru saja hendak mengambil sesuatu agar tidak terlihat seperti sedang mengintip. Begitu Samudra masuk ke ruang tamu, napasnya terdengar berat.
“Selamat sore, Mas Samudra…” Senja menyapa hati-hati.
Samudra hanya menoleh sekilas, bibirnya tersungging senyum tipis yang terlihat dipaksakan. “Sore, Senja.” Suaranya serak, lemah, jauh berbeda dari biasanya.
Ia langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa. Senja panik, ia menghampiri. “Mas Samudra sakit?”
Samudra tidak langsung menjawab. Ia menutup mata, mencoba mengatur napas. “Mungkin. Badan Mas rasanya berat sekali. Kepala juga pusing.”
Senja menelan ludah. Ia buru-buru memanggil Bi Ipah yang sedang menyiapkan teh di dapur. “Bi, Mas Samudra sakit.”
Bi Ipah keluar dengan wajah khawatir. “Astaghfirullah, Tuan pucat sekali. Mari saya buatkan air hangat dulu.”
Samudra membuka mata pelan, menoleh. “Luna ada di rumah?” tanyanya lemah.
Bi Ipah saling pandang dengan Senja. “Nyonya keluar sejak pagi, Tuan. Belum pulang sampai sekarang.”
Senja melihat wajah Samudra berubah kecewa, meski pria itu tidak berkata apa-apa. Senyum kecut yang ditahan muncul sesaat sebelum ia bangkit dengan susah payah. “Aku ke kamar dulu.”
Senja hendak membantu, tapi Samudra menolak dengan anggukan. Meski tubuhnya lemah, ia tetap berjalan sendiri menaiki tangga. Senja hanya bisa menatap punggung itu dengan perasaan campur aduk. Ada sesuatu di dalam hatinya yang perih, bukan karena ciuman malam itu, tapi karena ia tahu Samudra tampak kesepian.
Beberapa jam kemudian...
Pintu depan berderit. Luna masuk dengan langkah riang. Tangan kirinya membawa beberapa kantong belanjaan, sementara tangan kanannya sibuk menempelkan ponsel di telinga. Senyumnya lebar, tertawa manja dengan seseorang di seberang telepon.
Senja yang baru saja selesai menyapu ruang tengah terdiam. Ia memperhatikan kakaknya yang tidak sedikit pun terlihat kelelahan meski katanya pergi sejak pagi. Bahkan make-up di wajahnya masih sempurna.
Begitu menutup telepon, Luna mendesah puas. “Akhirnya! Semua sudah siap. Aku tidak sabar berangkat besok.”
Senja menahan diri untuk tidak bertanya. Tapi Bi Ipah yang sedang menaruh teh di meja tak sengaja bersuara, “Nyonya, Tuan sedang sakit. Beliau baru saja pulang dengan keadaan pucat sekali.”
Luna menoleh, alisnya terangkat. “Sakit?” ucapnya datar. Lalu, ia hanya mengedikkan bahu. “Paling hanya masuk angin. Biar saja, nanti juga sembuh sendiri.”
Senja terperangah. “Kak Luna… Mas Samudra benar-benar sakit. Wajahnya pucat, badannya lemah. Apa Kakak tidak mau lihat?”
“Senja,” suara Luna dingin, “aku ini sudah punya jadwal. Besok aku harus ke Bali seminggu. Tidak bisa dibatalkan. Apalagi tiket dan hotel sudah aku pesan. Jadi kalau suamiku sakit sedikit, itu bukan urusanku.”
Senja tercekat, tidak percaya mendengar kata-kata itu.
Namun, tak lama kemudian, suara langkah terdengar dari atas. Samudra keluar kamar dengan wajah pucat, tangannya masih menempel di dahi. Ia menuruni tangga perlahan.
“Luna.” Suaranya parau, nyaris tidak terdengar.
Luna menoleh, tersenyum manis, seolah-olah baru saja bertemu suami yang dirindukannya. “Sayang, kamu sudah bangun? Bagaimana badanmu?”
Samudra menatapnya dengan mata sayu. “Jangan pergi. Aku butuh kamu di sini. Aku sakit. Tolong rawat aku.”
Senja melihat dengan jelas bagaimana mata Samudra memohon. Ada luka yang terselubung di sana, luka yang mungkin sudah lama dipendam.
Namun Luna hanya tertawa kecil. Ia mendekati suaminya, menepuk bahu pria itu seolah menenangkan anak kecil. “Sayang, aku tidak bisa. Aku sudah berjanji dengan teman-teman. Kau tidak perlu khawatir. Senja bisa merawatmu.”
“Aku tidak mau Senja.” Samudra menggeleng lemah. “Aku ingin kamu. Istriku. Aku butuh kamu.”
Luna menghela napas, lalu mengerling kesal. “Jangan manja, Samudra. Aku juga butuh me time. Lagi pula, hanya sakit ringan. Senja ada di sini. Selesai.”
Tanpa menunggu jawaban, Luna berbalik, menaiki tangga untuk membereskan koper. Samudra terdiam, tubuhnya berguncang karena menahan emosi. Senja yang menyaksikan hanya bisa menutup mulut, menahan perasaan yang semakin campur aduk.
Beberapa menit kemudian, Luna sudah turun lagi dengan koper besar di tangannya. Wajahnya cantik, senyumnya lebar, seolah tidak ada yang terjadi.
“Samudra, aku titip rumah ya. Jangan khawatir, seminggu saja kok. Nanti aku pulang, kamu pasti sudah sehat.”
Samudra tidak menjawab. Ia hanya menatap Luna dengan tatapan kosong.
Luna melambaikan tangan seolah berpamitan manis, lalu berjalan keluar begitu saja. Pintu menutup dengan suara keras.
Keheningan kembali menyelimuti rumah itu. Senja menatap Samudra yang masih berdiri di tangga dengan tubuh gemetar. Wajah pucatnya semakin terlihat, dan matanya mulai berkaca-kaca.
Senja mendekat hati-hati. “Mas Samudra… aku minta maaf. Kak Luna...”
“Jangan.” Samudra memotong lirih, senyum pahit muncul di wajahnya. “Kamu tidak perlu minta maaf. Hal seperti ini sudah biasa. Dia memang begitu.”
Senja tertegun. “Maksud Mas…?”
Samudra menarik napas panjang, lalu duduk di sofa dengan tubuh lunglai. “Pernikahan kami… tidak seindah yang orang lihat. Selama ini Luna selalu hidup di dunianya sendiri. Dia tidak pernah peduli padak Mas. Setiap kali Mas sakit, pasti selalu sendirian. Setiap kali Mas ingin bercerita, dia tidak pernah mendengarkan. Semua yang dia pedulikan hanya dirinya sendiri.”
Kata-kata itu membuat Senja terdiam. Selama ini, ia selalu mengira rumah tangga kakaknya harmonis. Dari luar, Samudra terlihat begitu mencintai Luna, dan Luna, meski sering bersikap kasar di belakang, di depan orang lain selalu tampak sebagai istri yang manis.
“Aku tidak tahu,” Senja berbisik. “Aku kira kalian bahagia.”
Samudra menatap Senja dengan mata sayu. “Mas minta maaf. Seharusnya Mas tidak menceritakan ini padamu. Ini aib rumah tangga Mas.”
Senja cepat-cepat menggeleng. “Tidak, Mas. Aku berjanji tidak akan bicara pada siapa pun. Aku hanya… aku hanya kasihan pada Mas Samudra.”
Hening. Senja menatap pria itu dengan penuh iba. Wajah Samudra benar-benar lemah, tubuhnya gemetar. Ia ingin marah pada kakaknya, tapi yang bisa ia lakukan hanyalah satu hal.
“Kalau begitu,” Senja berkata pelan, “izinkan aku yang merawat Mas. Sampai Mas sembuh.”
Samudra menoleh, sorot matanya melembut. Ada kilatan lega yang jarang terlihat. “Kamu… mau?”
Senja mengangguk mantap. “Ya. Aku akan jaga Mas. Aku janji.”
Untuk pertama kalinya sejak sore itu, bibir Samudra membentuk senyum tulus, meski lemah. “Terima kasih, Senja. Mas benar-benar senang ada yang mau memperhatikan. Karena selama ini, setiap Mas sakit… selalu sendirian.”
Kata-kata itu membuat hati Senja serasa diremas. Ada luka yang dalam di balik senyum itu, luka yang tidak pernah terlihat orang lain. Dan saat itu juga, Senja bertekad apa pun yang terjadi, ia tidak akan membiarkan Samudra merasakan kesepian lagi.