Ketika di bangku SMA, Gaffi Anggasta Wiguna dan Bulan Noora selalu berjalan berdampingan layaknya sepasang kekasih yang penuh dengan keserasian. Di balik kedekatan yang mengatasnamakan pertemanan, tersembunyi rasa yang tak pernah terungkapkan. Bukan tak memiliki keberanian, melainkan Bulan Tengah mengejar seseorang. Anggasta memilih jalan sunyi, memendam dan mencoba tetap setia mendampingi sampai kebahagiaan itu benar-benar datang menghampiri perempuan yang sudah membuatnya jatuh hati. Barulah dirinya mundur pelan-pelan sambil mencoba untuk mengikhlaskan seseorang yang tak bisa dia genggam.
Lima tahun berlalu, takdir seakan sengaja mempertemukan mereka kembali. Masihkah cinta itu di hati Anggasta? Atau hanya bayang-bayang yang pernah tinggal dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Ketulusan Yang Dibutuhkan
"Kenapa kamu melakukan ini, Gas?"
Mata yang terfokus pada jalanan mulai menoleh sebentar ke arah Alma yang tengah menatapnya.
"Kamu yang memberitahu aku tentang skenario yang kamu buat. Artinya, aku juga harus ikut tanggung jawab." Begitu santai jawabannya.
"Aku enggak mau kamu terseret terlalu jauh, Gas."
Lampu merah sudah hidup dan mobil pun berhenti. Anggasta baru bisa menatap Alma dengan serius.
"Aku enggak mau kamu terus didesak oleh Opa kamu, Al." Perempuan di sampingnya itupun terdiam.
"Aku senang kok bantu kamu."
Alma membisu dengan mata yang masih tertuju pada Anggasta yang sudah mengusap ujung kepalanya. Teringat akan perkataan seseorang.
"Kamu hanya butuh seseorang yang tulus."
Kejadian di ruang makan kembali berputar. Di mana sang kakek tersenyum mendengar pengakuan palsu Anggasta.
"Kalau sama Anggasta, Opa enggak akan menentang."
Sorot mata bahagia terpancar sangat jelas di wajah renta sang opa. Terlebih Anggasta yang bersikap sangat hangat membuat wajah ceria yang jarang nampak kini mampu dia lihat dengan jelas.
"Opa, tolong rahasiakan hubungan Gagas dan Alma dari siapapun. Jangan sampai terekspos karena Gagas enggak ingin reputasi Alma semakin memburuk."
Pandangan Alma mulai dialihkan. Ketulusan itu hanyalah sebuah drama yang Anggasta ciptakan.
Anggasta hanya mengantar sampai depan kantor. Bukan karena tega, tapi atas permintaan Alma. Perempuan di tak ingin ada gosip baru nantinya.
"Makasih ya, Gas." Hanya anggukan disertai senyuman manis yang menjadi jawaban.
"Kenapa kamu baik sekali, Gas?"
Baru saja hendak melangkah ke area kantor, ponselnya bergetar dan nama sang asisten yang tertera di sana.
"Pak Haidar udah ada di depan ruangan Ibu."
Hembusan napas kasar keluar dari mulut Alma. Baru saja masuk kantor sayup gunjingan tentang dirinya terdengar.
"Ngapain sih Pak Haidar masih ngejar Bu Alma? Kayak enggak ada perempuan yang lebih cantik aja."
"Bu Alma tuh definisi perempuan beruntung yang menjadi cucu CEO. Meskipun tak memiliki kemampuan apapun."
Alma tersenyum kecil. Di mata orang lain dia selalu salah. Banyak orang yang mengira jika dia bekerja di perusahaan sang kakek dengan kemudahan. Pada nyatanya banyak sekali tekanan dari awal dia masuk sampai sekarang.
"Hindari semua yang membuat kamu sedih. Jangan temui juga jangan dengarkan."
Haidar sudah menatap Alma ketika perempuan itu sudah berada di depan ruangan.
"Aku ingin--"
"Ini kantor. Tolong tempatkan diri."
Haidar membisu mendengar kalimat yang begitu ketus. Alma berlalu begitu saja dan masuk ke dalam ruangannya. Alma menghela napas kasar. Kepalanya mulai pusing dan tulangnya kembali terasa sakit.
Rentetan pesan Haidar masuk. Tapi, tak ada satupun yang Alma baca. Perempuan itu sudah menyuruh orang untuk tidak membuat Haidar mendekat kepadanya.
Haidar mulai frustasi, pasalnya selama seminggu ini Alma sungguh sangat sulit ditemui. Nomornya saja diblokir. Haidar ingin sekali berbicara dengan perempuan itu. Di jam makan siang, dia sudah duduk di lobi. Menunggu seseorang keluar untuk makan siang. Dewi Fortuna seakan berpihak padanya. Orang yang dia tunggu keluar dengan ponsel yang menempel di telinga.
"Gaffi!"
Tatapan tajam lelaki itu beri. Haidar sudah menghampiri dengan wajah yang sangat serius.
"Gua mau minta tolong sama lu."
Senyum kecil terukir di wajah tampan Anggasta. Dia pun mengakhiri panggilannya dan menatap nyalang ke arah lelaki yang sangat dicintai Bulan.
"Merendahkan harga dirikah?" sindirnya dengan senyum remeh.
"Terserah lu mau menganggap apa. Tolong bantu gua ketemu Alma." Anggasta malah tertawa mengejek.
"Alma sudah menutup komunikasi," jelasnya lagi.
"Masih untung cuma komunikasi yang dia tutup. Coba kalau hubungan kerja lu di perusahaan itu dia putus. Dijamin nyokap lu akan bersujud di kaki Alma untuk minta maaf."
Jleb!
Kalimat yang keluar dari mulut Anggasta seperti belati panjang yang langsung menghunus ke hati. Lelaki yang dia kiri soft spoken ternyata memiliki sisi iblis yang mematikan.
"Berani nyakitin harus berani hadapin. Bukan kayak banci yang minta tolong sama orang yang lu benci." Kembali kalimat tajam Anggasta keluarkan.
Melenggang meninggalkan Haidar yang membeku di tempat. Dia pikir Anggasta akan membantunya karena aAnggasta selalu menolong Bulan. Ternyata ada sisi lain yang baru dia ketahui. Di mana Anggasta tak sebaik yang Bulan ceritakan.
✨
Wajah yang tak enak dipandang Anggasta tunjukkan. Jeno sudah bisa menebak ada sesuatu yang terjadi. Jeno memaksa Anggasta untuk bercerita.
"Orang yang sama yang selalu menjadi masalah untuk seorang Anggasta," ejek Jeno seraya tertawa.
"Gaffi!"
Kedua lelaki itu menoleh. Jeno menatap malas dan Anggasta menatapnya dengan sangat tak bersahabat.
"Tolong bantu Haidar. Dia hanya ingin minta maaf."
Senyum smirk pun Anggasta berikan kepada Bulan. Ujung matanya melihat ada seseorang yang ada di balik datangnya Bulan ke tempatnya dan Jeno makan siang.
"Oke, gua akan bantu lu. Tapi, setelah itu jangan pernah ganggu Alma lagi."
Bulan mengangguk dengan hati yang sedikit sakit mendengar ucapan Anggasta. Terasa sekali bahwa lelaki itu sangat menjaga Alma.
"Mudah banget lu luluh sama si Bulan? Itu sama aja lu masukin Alma ke kandang buaya." Jeno mulai bersungut setelah Bulan pergi, tapi Anggasta hanya tersenyum yang penuh dengan teka-teki.
Tetiba Anggasta mengajak Alma untuk makan malam. Perempuan itu sudah menatap Anggasta yang hanya direspon oleh senyuman yang begitu teduh.
Dua insan itu sudah masuk ke sebuah restoran mewah. Sebuah meja sudah direservasi sebelumnya. Tubuh Alma seketika menegang karena ada Haidar dan Bulan di sana. Segera dia menatap Anggasta, dan lagi senyuman yang Anggasta berikan. Alma yang ingin pergi ditahan oleh lelaki yang mengajaknya.
"Kamu cukup duduk dan dengarkan," bisik Anggasta di telinga Alma.
Kembali mereka saling tatap. Ada hati yang terasa sesak ketika melihat perlakuan Anggasta kepada Alma yang terlihat tak biasa.
Alma sudah duduk berhadapan dengan Haidar, begitu juga dengan Bulan San Anggasta. Suasana begitu hening hingga deheman Anggasta membuat Haidar membuka suara.
"Al, aku minta maaf," sesalnya dan hanya ditanggapi senyuman kecil oleh Alma.
"Enggak seharusnya juga kamu mengorbankan reputasi--"
"Aku bukan orang jahat, Haidar. Aku cuma tidak ingin melihat ibumu kecewa dan pada akhirnya membencimu. Lebih baik aku yang semakin dibenci ibumu dengan tersiarnya kabar ini."
Ucapan Alma mampu menampar Haidar dengan sangat keras. Bulan pun terdiam tak bisa berkata.
"Juga aku tidak ingin Opa tahu karena jika itu terjadi kamu akan menjadi gelandangan. Tak akan ada perusahaan besar yang akan mau menerima kamu yang memiliki catatan hitam."
Semakin tak bisa berkutiklah Haidar. Anggasta sudah menatap Alma penuh bangga. Inilah yang dia inginkan. Alma mampu Mengutarakan isi hati bukan malah dipendam sendiri.
"Mulai sekarang, fokuslah pada kehidupan masing-masing. Dan berbahagialah dengan tunanganmu."
Tubuh Bulan seketika menegang. Segera diturunkan tangan kirinya dan itu tak luput dari pandangan Anggasta. Cincin yang pernah Bulan lepas, sudah kembali terpasang di jari manisnya.
"Dan Jangan pernah ganggu aku lagi," tekannya. "Setelah pertemuan malam ini aku bukan lagi Alma yang kamu kenal. Jika, kamu terus memaksa, aku bisa melakukan hal yang tak pernah kamu duga sebelumnya."
Wajah serius yang Alma tunjukkan membuat Haidar sedikit takut. Pasalnya, dia tak pernah melihat mimik seperti itu sebelumnya.
"Satu lagi, jika ibumu terus menggangguku. Aku bisa membunuhnya tanpa menyentuhnya."
...***BERSAMBUNG***...
Coba atuh tinggalin komentarnya ..
dari dulu selalu nahan buat ngehujat si bulan tapi sekarang jujur muak liat wanita oon yg mau aja diperbudak cinta sampe jadi nggak tau malu dan buta hadeh wanita jenisan bulan emang cocok ama laki-laki jenis Haidar sama2 rela jatuhin harga diri demi cinta kemaren sempet agak seneng liat karakternya pas lepasin Haidar sekarang jujur ilfil sudah dan nggak layak buat gagas terlalu berharga keluarga singa cuman dapet menantu sekelas si bulan
kalau cewe udah terluka
pilihan opa ngga ada yang meleset...
good job alma👍 gausah jadi manusia gaenakan nanti mereka yg seenak jidat kaya mamak nya si haidar
lagian tuh ya.... para karyawan gak punya otak kali ya , dimana dia bekerja bisa-bisanya merendahkan dan menggosip pimpinannya , pada udah bosan kerja kali ya .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lnjut trus Thor
semangat
psfshal diri ny sen d iri pun menyimpsn luka yg tsk bisa di gambar kan.
sya dukung gagas sma Alma..
saya pantau terus author nya